Menempa Kain Peradaban
Kesantunan dalam pemakaian menjadi filosofi Desainer Edward Hutabarat ketika mengolah ulos, wastra Nusantara yang disebutnya sebagai kain peradaban.
Kesantunan dalam pemakaian menjadi filosofi Desainer Edward Hutabarat ketika mengolah ulos, wastra Nusantara yang disebutnya sebagai kain peradaban. Inovasi dilakukan dengan mempertahankan identitas, kualitas, sekaligus kesederhanaannya.
Di tangan Edward Hutabarat, kali ini kesederhanaan—dan kerumitan—ulos bisa dinikmati dalam paduan dengan lurik di pergelaran yang bertajuk ”Ulos in Innovation”.
Tepian kolam dirasa sesuai bagi suguhan koleksi busana yang memang diperuntukkan untuk dipakai ”jalan” ketika bepergian ke kota-kota besar di dunia, seperti Tokyo atau New York.
Dalam balutan cahaya 300 lampion, keindahan ulos ditonjolkan di lintasan peraga yang sengaja mengambil lokasi di tepian kolam renang di The Dharmawangsa, Jakarta, Kamis (17/10/2019). Tepian kolam dirasa sesuai bagi suguhan koleksi busana yang memang diperuntukkan untuk dipakai ”jalan” ketika bepergian ke kota-kota besar di dunia, seperti Tokyo atau New York.
Meski sudah berinovasi lebih modern, kain tenun asal Sumatera Utara ini tampil cantik tanpa meninggalkan kesakralan. ”Enggak ada yang sempurna di tanah Batak tanpa dia diulosi seperti saya. Demikian sakralnya ulos,” kata desainer bersapaan Edo ini ketika membuka peragaan busana yang dilaksanakan bertepatan dengan Hari Ulos Nasional.
Motif yang ditampilkan pun masih sama seperti motif tenun ulos yang dikenal turun- temurun di tanah Batak. Dengan lipatan, cutting, dan finishing yang istimewa, segera menyeruak keindahan tujuh motif ulos, yaitu ulos sibolang, mangiring, pinuncaan, sadum, ragidup, harungguan, dan bintang maratur.
Banyak alternatif
Berpadu harmonis dengan kain tenun lurik asal Klaten, Jawa Tengah, tenunan ulos yang dikerjakan superhalus dan rapi ini bermetamorfosis menjadi busana kimono untuk koleksi Spring Summer 2020. Sebagai busana pria dan perempuan, ulos hadir dalam banyak alternatif pada 52 tampilan, mulai dari atasan, gaun panjang, gaun cocktail pendek, luaran, selendang, hingga tas.
Siluet busana sengaja dibuat simpel sehingga keindahan uloslah yang berbicara. Ulos, misalnya, dipotong sederhana sebagai gaun sack dress, leher dibuat bulat, kancing depan lurus, dan bisa dilengkapi ikat pinggang.
Tenunan ulos juga hadir dalam lembaran-lembaran selendang yang tampil begitu saja, tidak dimodifikasi. Akan tetapi, dikenakan dalam padu padan busana yang tetap bernuansa elegan.
Ketika ulos ditonjolkan, tenun lurik bukannya hadir tanpa keindahan. ”Biarin tenun yang bicara. Selendangkan peradaban kita. Supaya cantik dan menghangatkan, saya tempa khusus motifnya. Saya beri tambahan lurik. Saya ingin membagikan inspirasi dan formula dalam mengolah tenun,” ujar Edo.
Sebagai dalaman, tenun lurik, antara lain, utuh hadir dalam wujud jumpsuit. Tenunan lurik halus berupa garis-garis hitam putih bisa tampil menawan karena permainan potongan serong yang memunculkan garis-garis diagonal. Garis diagonal ini bisa serupa panah yang menuju ke bawah diibaratkan sebagai bumi, sedangkan panah ke atas sebagai langit.
Kehadiran garis-garis dari tenunan lurik juga sangat berperan untuk memberi kesan modern. Kehalusan lurik ternyata sangat pas ketika dikombinasikan dengan ulos yang terkesan tebal dan berat.
Dalam koleksi ”Ulos In Innovation”, lurik banyak digunakan sebagai pelapis di bagian dalam. ”Di sini tata krama itu hadir, luar dalam haruslah apik, bagus! Murah, tetapi bagaimana membuatnya jadi mahal. I love stripes. Koleksi batik saya pun signature-nya selalu ada garisnya,” tambah Edo.
Rumbai yang biasa hadir di ujung tenun sebagai bagian dari sisa benang yang tidak tertenun menjadi bagian dari inovasi karena dianyam sangat rapi. Warna-warni tenun ulos ini didominasi pewarnaan alami, seperti penggunaan indigo untuk warna biru.
Tepat setahun lalu, Edo juga menggelar peragaan busana berbahan tenunan ulos di kampung leluhurnya di Tarutung, Tapanuli Utara. Kala itu, 100 nenek perajin ulos batak berjalan sebagai model di landas peraga dengan kain ulos menjuntai di bahu. Peragaan busana Spring Summer 2019 pun lalu digelar di rumah adat tua Sopo Partukkoan.
Di tanah Batak, Edo sekaligus memohon izin untuk mengangkat ulos inovasi kepada leluhur. Makam ayah, ibunda, dan nenek Edo juga berada di Tarutung. Edo pun berziarah ke makam penghuni pertama Pulau Samosir, Makam Sidabutar. Sembari berziarah, ia membawa empat model pria yang memakai ulos ragidup dan ulos pinuncaan.
Ulos ragidup merupakan ulos yang derajatnya paling tinggi dan tidak boleh dipakai sembarangan. Ia harus dipakai oleh pria atau perempuan yang sudah berkeluarga, yang telah memiliki anak laki-laki dan berketurunan banyak. Orang yang layak memakai ulos ragidup pun ditentukan lewat upacara adat
”Yang saya lakukan bukan untuk pesta adat, melainkan untuk meramaikan fashion dunia. Tetapi, saya tidak melupakan kesantunan, fungsi keanggunan, dan keindahan. Bagaimana bisa dikenakan dengan tas impor dan sepatu impor mahal,” ujar Edo.
Inovasi baru
Untuk koleksi Spring Summer 2020 kali ini, Edo kembali menghadirkan inovasi baru ulos dengan ramuan yang sama seperti Spring Summer 2019, tetapi dengan tampilan baru. Inovasi yang dilakukan terutama bertujuan untuk mengangkat ulos ke ranah yang lebih modern dengan inspirasi dari kimono.
Edo membidik pasar Jepang. ”Dalam kimono, terlihat dia mengglobal, tetapi dia berakar,” ujarnya.
Motif asli ulos tetap digunakan, tetapi motif-motif tersebut dipotong lalu dicampur dengan motif atau tenun lain sehingga lahir kain inovasi. Agar mengglobal, ulos memang harus siap bercampur dengan motif mana pun. Ia tetap menjadi sakral ketika motifnya utuh dan dipakai dalam proses adat.
”Tampilkan akar itu dengan kualitas, tampilkan akar itu dengan santun. Bagaimana mengangkat peradaban lama itu supaya blending dengan peradaban baru,” kata Edo yang sudah menempa ulos ke panggung dunia sejak 1985.
”Kembangkan dia dengan hati. Dan dia akan menjadi bagian kekayaan bangsa ini.”