Karya seni rupa Bali berbasis tradisi hingga kontemporer pertama kali dipamerkan berangkai di Museum Puri Lukisan, Museum Seni Neka, Museum ARMA, dan Bentara Budaya Bali.
Oleh
NAWA TUNGGAL
·4 menit baca
Karya seni rupa Bali berbasis tradisi hingga kontemporer pertama kali dipamerkan berangkai di Museum Puri Lukisan, Museum Seni Neka, Museum ARMA, dan Bentara Budaya Bali. Inilah Bali Megarupa yang meretas jalan ”Nangun Sat Kerthi Loka Bali”, pemajuan kebudayaan melalui pembangunan semesta berencana Bali.
Sebuah seni pertunjukan Tarirupabunyi Kidung Bali Megarupa karya Nyoman Erawan disajikan pada malam pembukaan Bali Megarupa di Museum ARMA, Ubud, Bali, Selasa (22/10/2019). Pameran ini diselenggarakan hingga 10 November 2019. Erawan menyuguhkan alur kehidupan layaknya gerak air dari hulu menjadi arus, kemudian terjadi campuhan atau percampuran aliran, dan berakhir di muara.
”Air di muara menuju lautan dan air itu bergerak kembali ke hulu menjadi air yang bening,” ujar Erawan.
Tarirupabunyi digelar di panggung terbuka Museum ARMA (Agung Rai Museum of Art). Sebuah instalasi bambu berbentuk bola besar karya Wayan Sujana Suklu menjadi latar sekaligus panggung pementasan.
”Air di muara menuju lautan dan air itu bergerak kembali ke hulu menjadi air yang bening,” ujar Erawan.
Ada deretan anak tangga menuju puncak instalasi itu. Ketinggiannya tidak kurang dari 7 atau 8 meter. Seorang penampil menari di atas bola bambu itu dan dari situ air tertumpah. Inilah hulu yang memulai dinamika air sebagai sumber kehidupan semesta dengan keriuhan napas dan tarian semua makhluknya. Erawan menyuguhkan ragam peristiwa di dalam seni pertunjukan itu.
Bali Megarupa merupakan program Dinas Kebudayaan Provinsi Bali yang sekarang dipimpin I Wayan Adnyana. Pada malam pembukaan itu, Adnyana menyampaikan, Bali Megarupa menjadi agenda tahunan yang setidaknya akan diwujudkan lima tahun ke depan.
”Bali Megarupa memanggungkan capaian ekspresi seni rupa Bali, baik sebagai pribadi maupun komunal lintas batas,” kata Adnyana.
Adnyana menyebutkan, ada 103 perupa yang dilibatkan untuk menampilkan karya yang dipamerkan di empat lokasi itu. Karya untuk setiap lokasi disesuaikan dinamika Hulu, Arus, Campuhan, dan Muara. Semuanya dirangkai dalam satu tema besar, yaitu Tanah, Air, dan Ibu.
”Bali Megarupa memanggungkan capaian ekspresi seni rupa Bali, baik sebagai pribadi maupun komunal lintas batas,”
Museum Puri Lukisan menyuguhkan karya seni rupa dengan dinamika Hulu. Berikutnya, karya dengan dinamika Arus di Museum Seni Neka, Campuhan di Museum ARMA, dan Muara di Bentara Budaya Bali. Para kuratornya meliputi I Made Susanta Dwitana, Wayan Jengki Sunarta, Warih Wisatsana, dan Wayan Sujana Suklu.
Ketua Tim Kreatif Bali Megarupa Made Kaek Dharma Susila menyebutkan, pilihan tema ini mempertemukan berbagai pemikiran rentang jalan Bali Megarupa ke depan. Salah satu wujud konkret yang ingin dicapai, seni rupa Bali kembali diperhitungkan di ranah kompetisi baik secara regional di Asia Tenggara maupun global.
Adnyana sebelumnya menyinggung perihal di tahun 1931, karya seni rupa Bali pernah dihadirkan di perhelatan de l’Exposition Coloniale den Paris di Paris, Perancis. Ini menunjukkan bahwa karya seni rupa Bali sejak masa itu sudah diperhitungkan di kancah global.
”Seni rupa kemudian bahkan mampu menghidupi sekian banyak masyarakat di Bali,” kata Adnyana.
Saat ini di Bali ada 1.493 banjar atau desa adat. Dimungkinkan di setiap banjar itu ada 10 warganya yang menggantungkan nafkah dari seni rupa. Dari sini terhitung kemungkinan sebanyak 14.930 warga hidup dari berkah seni rupa Bali.
Ekspresi
Di Museum Puri Lukisan dipajang karya dari sebanyak 25 perupa yang mengembangkan ekspresi dari seni tradisi Bali. Kurator Susanta Dwitanaya memberikan catatan Pada Mulanya Adalah Garis. ”Ia (garis) adalah muasal. Ia adalah guratan pertama pembentuk segala imaji yang menubuh menjadi rupa,” begitu Dwitanaya.
”Pameran ini menghadirkan pemetaan dan pembacaan yang menyeluruh,”
Kemudian ada pula gaya klasik Nagasepaha Buleleng, Kerambitan, dan sebagainya. Gaya lukisan itu bersifat komunal dan memiliki karakter yang diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya. ”Pameran ini menghadirkan pemetaan dan pembacaan yang menyeluruh,” ujar Dwitanaya.
Kurator Wayan Jengki Sunarta dengan pendekatan subtema Arus di Museum Seni Neka menekankan, penggalian-penggalian yang bersifat individual memungkinkan terjadinya pengayaan seni rupa Bali. Untuk subtema ini, sejumlah karya ditampilkan 27 perupa.
Perupa Pande Alit Wijaya Suta menggunakan teknik guratan garis tidak lagi seperti pada teknik seni tradisi Bali untuk membuat bentuk. Ali memenuhi kulit dan wajah dari figur lukisannya dengan garis sebagai ornamen. Garis mengisi bentuk.
Perupa I Wayan Sudarna Putra secara inovatif memungut garis dari media bahan anyaman bambu. Kemudian ia membentuk tubuh Garuda Pancasila sebagai karya seni rupa. Sudarna tidak melulu larut dalam guratan garis sebagai goresan. Bilah potongan kecil bambu untuk anyaman itu juga garis yang bisa ditata membangun bentuk rupa. Ini pilihan atas penggalian individual dan pengayaan teknik yang menarik.
Warih Wisatsana memberikan catatan kuratorialnya untuk subtema Campuhan di Museum ARMA. Sejumlah karya ditampilkan 22 perupa.
”Dinamika Campuhan seni rupa Bali sesungguhnya adalah fenomena serupa di bidang lainnya,” kata Warih.
Ia mengibaratkan, fenomena hadirnya minimarket 24 jam. Kehadirannya meminggirkan pasar-pasar tradisional atau pasar rakyat yang memiliki ruang dan waktu sosial tersendiri. Benturan adalah keniscayaan. Benturan di antara yang lokal dan global, profan dan sakral, dan seterusnya.