Cerita Dua Sungai
Sungai adalah ”roh” Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Selain keindahan alam, salah satu yang selalu menarik perhatian dan menabalkan kenangan tentang kota itu adalah pasar terapung.
Saat pertama kali ke Banjarmasin, terbayang dalam benak kemasyhuran pasar terapung. Pada era 1990-an, salah satu stasiun televisi swasta nasional selalu menampilkan pasar terapung sebagai iklan. Di situ diperlihatkan seorang perempuan paruh baya tengah berada di pasar terapung dan mengacungkan jempol.
Rasa penasaran akan keberadaan pasar terapung itu langsung terbayar begitu tiba di Banjarmasin, akhir Agustus lalu. Ketika itu tengah berlangsung Festival Wisata Budaya Pasar Terapung.
Pada pembukaan festival ditampilkan parade jukung (perahu) pedagang pasar terapung. Sekitar 100 pedagang terlibat dalam parade itu. Di tengah Sungai Martapura, mereka membentuk beberapa formasi jukung yang mengundang decak kagum wisatawan.
Parade jukung pasar terapung sore itu mengesankan, tetapi belum memuaskan rasa penasaran pada keberadaan pasar terapung yang sebenarnya. Untuk melihat pasar terapung yang masih asli itu, kita perlu ke Desa Lok Baintan di Kecamatan Sungai Tabuk, Kabupaten Banjar.
Lok Baintan dapat dicapai dari Banjarmasin dengan naik kelotok (perahu bermotor) menyusuri Sungai Martapura.
”Kalau mau ke Lok Baintan, kita berangkat besok pagi. Berangkatnya habis shalat Subuh. Kalau kesiangan, pasarnya sudah bubar,” kata Rudi (42), juragan kelotok yang ditemui di Dermaga Patung Bekantan, Banjarmasin.
Mudik
Keesokan harinya, saat langit pagi masih gelap, kami bertolak meninggalkan Dermaga Patung Bekantan. Suara mesin kelotok memecah keheningan subuh.
Untuk ke Lok Baintan, kelotok berlayar melawan arus, ke arah hulu Sungai Martapura. Berperahu ke arah hulu biasa disebut mudik dalam bahasa lokal. Kelotok melaju membelah air sungai berwarna kecoklatan. Air yang semula mengalir tenang segera beriak-riak. Beberapa perahu kecil yang melintas dibuat terombang-ambing.
Sepanjang perjalanan mudik sungai itu, kehidupan sehari-hari warga di Sungai Martapura menarik perhatian. Ada yang mandi, mencuci, mencari ikan, latihan dayung, dan memanen ikan di keramba jala apung. Sungai tetap berperan vital bagi warga yang tinggal di bantaran sungai itu.
Kedekatan dengan sungai terlihat dari bangunan rumah penduduk yang sebagian masih berada di bibir sungai. ”Kalau dulu, rumah warga menghadap sungai. Namun, setelah ada jalan, rumah warga membelakangi sungai,” ujar Rudi.
Setelah menempuh perjalanan sungai selama 1 jam 15 menit, tepat pukul 07.00, kami pun tiba di Pasar Terapung Lok Baintan. Suasana pasar terapung masih ramai. Di atas beberapa perahu, pedagang menawarkan aneka barang dagangan. Ada buah-buahan, sayuran, ikan kering, suvenir, kue, dan makanan.
Keriuhan pasar terapung pagi itu seperti layaknya pasar tradisional di darat. Antara pedagang dan pembeli terjadi tawar-menawar. Hanya saja, yang datang berbelanja umumnya adalah wisatawan. Tak kurang dari 20 kelotok datang membawa wisatawan pagi itu.
”Pedagang yang berjualan agak kurang dari biasanya karena ada 100 pedagang yang ikut festival dan berjualan di Banjarmasin,” kata Analiah, pedagang yang menjajakan soto Banjar, gado-gado, dan sate di Pasar Terapung Lok Baintan.
Aktivitas berdagang di atas sungai sudah dilakukan sejak dulu oleh masyarakat Banjar. Sebelum ada jalan darat, sungai merupakan jalur utama transportasi dan pusat kegiatan dagang. Kehidupan dan keseharian masyarakat tak bisa dipisahkan dari sungai. Ada harmoni antara manusia dan sungai.
”Kami sudah turun-temurun berjualan di pasar terapung. Kalau dulu, yang berbelanja adalah warga di sekitar sini juga. Sekarang, yang berbelanja kebanyakan adalah wisatawan,” tutur Analiah yang melanjutkan tradisi berjualan dari ibunya.
Setelah hampir satu jam berada di Pasar Terapung Lok Baintan dan menikmati suasana keriuhan pasar tradisional itu, kami memutuskan kembali ke Banjarmasin. Perut juga sudah terasa penuh setelah diisi sepiring soto Banjar.
Perjalanan pulang lebih cepat karena kelotok berlayar mengikuti arus Sungai Martapura. Hari sudah terang benderang, pemandangan aktivitas warga di sepanjang sungai pun terlihat lebih jelas dan beragam.
Perjalanan menyusuri sungai membangun kesadaran akan pentingnya menjaga kelestarian sungai dan lingkungan di sekitarnya.
Sungai bukan hanya nadi kehidupan, melainkan juga roh pariwisata. Di sepanjang Sungai Martapura, orang bisa menikmati wisata budaya, wisata kuliner, wisata religi, hingga wisata sejarah.
Berbagai wisata itu bisa dinikmati dalam satu paket wisata, yaitu wisata susur sungai. Satu perjalanan wisata dengan banyak nuansa. Tanpa sadar, semilir angin yang menerpa tubuh perlahan-lahan berkurang, ternyata kelotok sudah hampir tiba kembali di Dermaga Patung Bekantan.
Alami
Setelah menyusuri Sungai Martapura, tak lengkap rasanya ke Banjarmasin jika tidak mengarungi pula Sungai Barito untuk melihat bekantan di habitatnya. Satwa dilindungi tersebut bisa dijumpai di Taman Wisata Alam Pulau Bakut, yang berada di wilayah Kabupaten Barito Kuala.
Pulau Bakut merupakan pulau konservasi bagi bekantan, si monyet berhidung panjang. Pulau dengan luas 15,58 hektar tersebut berada di tengah Sungai Barito. Tepat di atasnya melintas Jembatan Barito dengan panjang lebih dari 1 kilometer (km). Lokasi pulau tersebut berjarak sekitar 20 km dari Banjarmasin.
Bekantan biasanya baru keluar saat mencari makan pada pagi dan sore hari. Karena itu, menjelang sore, kami pun meluncur ke Taman Wisata Alam Pulau Bakut dengan menggunakan sepeda motor. Sinar mentari masih cukup terik dan terasa menyengat di kulit.
Tiba di dermaga bawah Jembatan Barito, pengunjung harus naik kelotok untuk menyeberang ke Pulau Bakut. Dari Desa Marabahan Baru di Kecamatan Anjir Muara ke Pulau Bakut cuma butuh waktu lima menit untuk menyeberang.
Pulau Bakut banyak ditumbuhi pohon bakau dan sejenisnya. Semuanya masih natural. Rimbun pepohonan itu segera menghalau sinar matahari sehingga suasana berubah sejuk begitu kami tiba di sana. Menarik napas dalam-dalam di tengah pulau konservasi bekantan itu terasa melegakan dan sungguh menghilangkan penat.
Setelah melewati gerbang masuk, terlihat jembatan dari kayu ulin. Jembatan itu dibuat menembus pepohonan untuk mengitari sebagian kawasan pulau. ”Panjang jembatan ulin ini sekitar 700 meter,” kata Bakrie, petugas jaga di Taman Wisata Alam Pulau Bakut.
Jembatan kayu ulin itu tak hanya kokoh, tetapi juga sangat menarik. Para pengunjung pun kerap berhenti di beberapa titik untuk berfoto.
”Ternyata tempatnya bagus. Foto-foto di sini pasti bagus kalau diunggah ke Instagram,” kata Julmiati (22), mahasiswi dari Banjarmasin.
Di sepanjang jembatan itu terdapat empat shelter dan dua menara pantau. Semuanya dibuat dari kayu ulin. Menurut Bakrie, ketinggian dua menara pantau itu sama, yaitu 18 meter. Dari atas menara, pengunjung bisa melihat pemandangan pulau dan sekitarnya. Jika beruntung, bisa juga melihat polah bekantan dari situ.
Bekantan dikenal sebagai hewan pemalu dan cenderung menghindar dari manusia. Dari atas menara pantau, sore itu terlihat beberapa bekantan bergelayutan di dahan pohon. Namun, tampang mereka tak begitu jelas terlihat karena jarak yang cukup jauh dari pandangan mata.
”Jumlah bekantan di pulau ini sekitar 70 ekor. Mereka terbagi dalam empat kelompok,” ujar Bakrie.
Senja mulai turun, pengunjung pun mulai meninggalkan Pulau Bakut. Sebentar lagi, taman wisata alam itu akan ditutup untuk hari itu.
Sebelum meninggalkan pulau, pastikan kita tidak meninggalkan jejak sampah. Cukuplah jejak foto yang jadi kenangan.