Dari yang Terbuang
Berbekal dari yang terlupakan dan terbuang, tercipta kesempatan bagi produk mode untuk bertahan lebih lama. Dengan sentuhan kreativitas, dilambari kesadaran akan kelestarian bumi, produk yang sudah tidak diinginkan bisa kembali dicintai.
Sampah industri mode telah sampai pada tataran mengkhawatirkan. Menurut riset Ellen MacArthur Foundation pada 2017, industri mode menyumbang setengah juta ton mikrofiber ke laut setiap tahun. Angka ini setara dengan 50 miliar botol plastik. Setidaknya limbah tekstil berjumlah setara satu truk telah dibuang setiap detik.
Setiap tahun, kerugian akibat pakaian yang tidak pernah dipakai atau didaur ulang diperkirakan mencapai 500 miliar dollar AS. Apabila tidak ada upaya perbaikan, pada 2050, industri mode bakal menelan seperempat anggaran emisi karbon dunia.
Fakta tersebut sedikit demi sedikit telah mengetuk pihak-pihak yang berkecimpung di dunia mode, mulai dari desainer, produsen, hingga konsumen untuk melakukan sesuatu. Sejumlah pergelaran busana dalam Jakarta Fashion Week (JFW) 2020 menggaungkan semangat untuk mengurangi sampah mode dengan caranya masing-masing.
Di antaranya persembahan Tinkerlust yang menggandeng label Alex(a)lexa, Jenahara, dan Sebe11as by Hakim Satriyo & Riyam Dayani serta kolaborasi Humbang Kriya x Purana & Windy Chandra. Tinkerlust.com adalah marketplace daring yang memperjualbelikan barang preloved alias bekas.
Salah satu pendiri Tinkerlust, Aliya Amitra, menuturkan, koleksi yang dijual di Tinkerlust dimodifikasi dan didesain ulang sehingga terlihat baru dan lebih menarik atau istilahnya upcycling. ”Dengan cara ini, kita akan memperpanjang umur produk mode tersebut. Daripada jadi limbah, barang-barang tersebut justru jadi warna baru dalam koleksi kami,” ujarnya.
Koleksi yang diperagakan di JFW 2020 dengan tajuk ”A Story of Second Chances”, Rabu (23/10/2019), itu merepresentasikan keinginan untuk memberi kesempatan kedua kepada produk-produk mode yang mungkin sudah tidak diinginkan. Ketiga desainer seakan meniupkan napas baru bagi busana-busana tersebut. Mereka tidak menggunakan material baru, tetapi mengambil bahan-bahan yang tidak terpakai di dalam gudang.
Monique Natalia Soeriaatmadja dari lini Alex(a)lexa memberikan sentuhan unsur mode jalanan, tetapi nyaman dikenakan. Kemeja, rok, dan celana dipercantik dengan tambahan aksen patchwork berbentuk koral warna-warni. Motif polkadot ditabrakkan dengan garis-garis pada busana bernuansa monokrom.
Siluet simpel untuk modest wear kontemporer sebagai ciri khas juga muncul dalam busana yang didesain ulang Jenahara Nasution dari jenama Jenahara. Dia memberikan sentuhan minimalis pada busana yang ada, seperti tali-tali motif kotak-kotak yang menjuntai pada atasan, juga tambahan aksen rantai, sehingga terlihat lebih atraktif.
”Pesan koleksi ini sangat kuat. Aku mengajak teman-teman untuk membuka lagi lemari baju, mana yang sudah tidak dipakai lagi, bisa didesain ulang menjadi seperti baru lagi,” ujar Jenahara.
Adapun Sebe11as menyajikan warna-warna terang dan berani, seperti fuchsia, biru neon, dan oranye yang diberi aksen manik-manik atau potongan yang didekonstruksi. ”Kami juga tidak membeli bahan baru, hanya memakai koleksi Tinkerlust dan material yang kami punya. Lebih menantang sehingga kami harus memutar otak agar tidak malah menghasilkan sampah baru. Misalnya, pada baju preloved ada sedikit bercak. Kalau dipotong, jadi limbah baru,” ujar Hakim Satriyo.
Agar dampaknya semakin luas, ketiga desainer menggaet muse dan influencer yang mengenakan rancangan mereka saat peragaan busana. Bahkan, Jenahara juga mendesain ulang baju-baju milik mereka, di antaranya milik Anissa Thaib, Munir Agile, Andra Alodita, Ucita Pohan, dan Kallula.
Kembali ke akar
Jenama Purana berkolaborasi dengan kelompok pegiat kain Humbang Kriya di bawah binaan Rumah Kreatif Sinar Mas mengusung koleksi bertema ”Roots” dengan konsep ramah lingkungan. ”Roots” memanfaatkan kain yang dibuat masyarakat Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara.
Ada 34 tampilan yang disuguhkan Purana di landasan peraga JFW 2020, Kamis (24/10). Dia juga berbagi panggung dengan desainer Windy Chandra yang mengusung 14 tampilan.
”Koleksi kali ini judulnya ’Roots’ karena semua akan dikembalikan ke akar, yaitu alam. Saya dan Humbang Kriya sama-sama berusaha untuk bergerak ke sustainable fashion. Kami pakai daun, bunga, dan akar tumbuhan untuk dicap ke kain,” kata Nonita Respati, pendiri Purana.
Pewarna alami diperoleh dari biji kopi, kulit jengkol, kulit kayu putih, kayu meranti sisa pembuatan mebel, daun jati, tanaman hisik-hisik, dan sanduduk. Lahirlah palet warna yang kesannya membumi pula, seperti coklat, hijau palem, putih tulang, kuning mostar, abu-abu, hingga dusty pink.
Padu padan motif sederhana, warna kalem, dan kompleksitas potongan pakaian menyajikan siluet busana menarik. Baju-baju bertumpuk dan potongan flare tidak membuat si pemakai terlihat berat. Sebaliknya, kesan ringan bak dibawa angin terasa setiap model melangkah.
Salah satu koleksi menampilkan luaran seringan bulu dari bahan organza. Warnanya putih bersih dengan aksen kuning emas di bagian kaki. Potongan pada busana itu memberi efek drapery di bagian dada hingga paha. Di balik luaran itu tersembunyi tank top putih polos dan celana pendek bermotif.
Ada pula busana hybrid di koleksi Nonita. Busana ini berupa sarong pants yang bisa berubah bentuk tergantung cara memakainya. Celana itu bisa menjadi sebuah jumpsuit apabila ditarik sampai atas. Jumpsuit tersebut lalu bisa dipadukan luaran tipis dengan kain yang ”jatuh”. Baju hybrid itu juga bisa menjadi celana jika dililitkan sampai pinggang.
Hybrid sarong pants tersebut menarik jika ditelaah elemennya. Sekilas, celana tersebut seperti balon yang tampak ringan dikenakan. Di bagian paling bawah ada kain organza yang membungkus tungkai kaki secara transparan. Di bagian tengah menyembul batik karya masyarakat lokal dan bagian atasnya ditutup dengan kain yang memeluk pinggang hingga paha seperti celemek.
Seperti ketiga desainer sebelumnya yang harus memutar otak untuk membuat konsep ramah lingkungan, Nonita pun mengakui tantangan yang tidak mudah dilakukan. Banyak klaim yang harus dipertanggungjawabkan ketika karyanya dilabeli mode berkelanjutan.
”Upaya menjadi 100 persen berkelanjutan di dunia mode itu sulit, tetapi kami berusaha semampu kami,” ucap Nonita.