Dekonstruksi Makna dan Cara
Mencermati karya-karya yang dipamerkan dalam UOB Painting of the Year 2019, bisa jadi mempertanyakan kembali dua pandangan yang bertentangan. Lebih utama mana, gagasan atau karya?
Mencermati karya-karya yang dipamerkan dalam UOB Painting of the Year 2019, bisa jadi mempertanyakan kembali dua pandangan yang bertentangan. Lebih utama mana, gagasan atau karya?
Ada yang mengatakan lebih utama gagasan sebab karya artistik tanpa gagasan hanya benda mati yang kosong. Tidak bicara apa-apa karena dia tidak berjiwa. Sebutlah ini sebagai kelompok konseptual yang mementingkan gagasan.
Juga ada yang membantahnya, lalu mengatakan bahwa gagasan cemerlang tanpa dibarengi dengan karya artistik hanyalah utopia. Rupa menjadi penting sebagai manifestasi gagasan.
Menyimak lukisan-lukisan pemenang dan finalis UOB Painting of the Year 2019
yang dipamerkan di Museum Nasional sampai 31 Oktober mendatang, dua gagasan tadi kembali menemukan ruang diskusinya. Karya yang mengundang diskusi itu antara lain ”Eat Pray Love” kaya Dwi Januartanto.
Karya ini berupa tiga karung bekas yang di-jembreng, lalu di atasnya terdapat sulaman tali rafia membentuk frasa ”makan makna” dalam huruf kapital, yang bentuknya mengingatkan kita pada kelompok band Metallica. Pada setiap karung tergambar jagung, ikan lele, dan ayam.
Bisa jadi, orang akan melihat ini sebagai karung bekas belaka tanpa makna. Tetapi sebentar, justru kesederhanaan yang disertai beragam detail pada karya ini mengandung makna yang dalam. Media tadi dipilih Dwi berdasarkan penghayatan sosial ekonominya. Dia adalah seniman sekaligus petani.
Teks ”makan makna” sengaja dibuat dari tali rafia dengan disulam, bentuknya menyerupai logo teks band populer, untuk menggambarkan fenomena migrasi narasi global-lokal dalam bahasa lambang,”
”Dalam rutinitas sehari-hari, karung bekas digunakan sebagai wadah memanen hasil bumi, pupuk, tanah, dan sebagainya. Tetapi, rafia biasa digunakan untuk menjahit saat karung telah terisi. Karung bergambar sengaja dipilih dengan tujuan mengonstruksi gambaran pertanian jagung dan spanduk warung penyetan Lamongan. Teks ”makan makna” sengaja dibuat dari tali rafia dengan disulam, bentuknya menyerupai logo teks band populer, untuk menggambarkan fenomena migrasi narasi global-lokal dalam bahasa lambang,” papar Dwi sebagaimana tertulis dalam katalog pameran.
Karya Dwi yang menggondol penghargaan Gold Winner ini dapat dilihat sebagai gugatan terhadap kedaulatan pangan. Sebagaimana ungkapan yang kerap berseliweran di media sosial bahwa kita ini mengikuti falsafah padi, makin berisi makin menunduk, tetapi menyantap beras impor saat makan. Paradoksal.
Bagi dewan juri, karya ini mencerminkan pendekatan konseptual yang kuat dengan memanfaatkan teknik dan material yang sederhana. Konsep itu adalah menangkap isu kedaulatan pangan lokal secara kritis.
Kontekstual
Seniman adalah juru ungkap bagi mayoritas. Dia membunyikan tanda sebagai representasi perasaan, pikiran, gugatan, atau keluhan banyak orang. Meskipun sah-sah saja jika dia menyuarakan dirinya sendiri. Dalam pameran UOB Painting of the Year 2019 ini, kontekstualitas sebagai suara mayoritas tadi yang mengemuka.
Karya Anagard bertajuk ”Welcome Perdamaian, Goodbye Kedengkian” jelas sekali pesannya. Dia mengangkat hal prinsip yang belakangan ini menjadi pemecah sosial, yakni keberagaman.
Begitu pun dalam karya ”Welcome Perdamaian, Goodbye Kedengkian” yang memenangi UOB Painting of the Year 2019 ini.
Anagard yang bernama asli Adres Bustianto selama ini dikenal sebagai seniman jalanan. Dia sering terlibat dalam proyek pembuatan mural atau grafiti. Teknik yang biasa dia gunakan adalah cetak stensil. Begitu pun dalam karya ”Welcome Perdamaian, Goodbye Kedengkian” yang memenangi UOB Painting of the Year 2019 ini.
Dalam karya berdimensi 176 cm X 95,5 cm itu, Anagard menampilkan sosok gagah berpakaian penari. Seperti penari topeng, tetapi dilengkapi topeng mirip reog. Menggunakan bawahan batik parang rusak, sosok gagah tadi menyodorkan kepala unggas yang identik dengan puncak Gereja Ayam di Magelang.
”Perlu diingat bahwa sosok dalam karya ini tidak mewakili suku mana pun. Itu gambaran bahwa kita manusia Indonesia,” kata Anagard.
Dia menjelaskan, karya ini terinspirasi oleh bangunan Rumah Doa Bukit Rhema, Magelang, Jawa Tengah. Baginya, bangunan ini simbol perdamaian bagi umat dan golongan. Sebenarnya bagian atas bangunan ini berupa kepala merpati yang juga menyimbolkan perdamaian, tetapi masyarakat lebih mengenalnya sebagai Gereja Ayam.
”Melalui karya ini, saya mencoba mengungkap makna cinta dalam keragaman, di atas semua perbedaan,”
Semangat pembangunan rumah doa tersebut sebenarnya bermula dari gagasan untuk membuat tempat doa bagi semua agama. Oleh karena itu, sekarang ini tengah direncanakan untuk membangun mushala, pura, dan tempat doa untuk agama-agama lain. Agustus lalu, pengelola Rumah Doa Bukit Rhema meresmikan kapel bertajuk Kapel Bunda Maria Segala Bangsa.
”Melalui karya ini, saya mencoba mengungkap makna cinta dalam keragaman, di atas semua perbedaan,” kata Anagard.
Karya Anagard sangat kontekstual ketika kita masih berada di pusaran residu politik yang menjadikan agama sebagai bahan ”meliyankan” orang. Padahal, semestinya agama justru menjadi unsur penting kohesi sosial. Sebab, agama mana pun selalu mengutamakan kemanusiaan, persatuan.
Bertarung
”Welcome Perdamaian, Goodbye Kedengkian” kini diterbangkan ke Singapura untuk diadu dengan karya pemenang UOB Painting of the Year dari negara lain, seperti Malaysia, Thailand, dan Singapura. Kans memenangi kompetisi bergengsi di Asia Tenggara ini sangat besar. Paling tidak, dalam delapan kali kompetisi, perwakilan Indonesia sudah lima kali menang. Tahun lalu, karya Suvi Wahyudianto yang bertajuk ”Angst” juga menang di ajang yang sama.
Karya yang bersumber dari ingatan dan pengalaman personal terhadap kasus Sampit itu Suvi susun dari resin, plastik, pigmen, dan enamel. Karya yang melulu berwarna merah darah tersebut menggedor kesadaran banyak orang.
Karya Suvi, Anagard, dan Dwi mencoba keluar dari tradisi seni rupa konvensional. Melukis bukan lagi diartikan sebagai menggores atau menabur cat atau medium basah di atas kanvas atau bidang datar lainnya. Konvensi ini banyak ditinggalkan oleh seniman kontemporer. Karya Suvi lebih kompleks dari pengertian tadi. Karya Dwi malah sama sekali tidak beririsan dengan pengertian konvensional tersebut. Karya Anagard juga mencoba keluar dari pakem itu.
Baca juga : Lini Narasi Baru Museum
Dengan kata lain, perupa-perupa ini mencoba keluar dari jebakan pakem sekaligus menggugat pakem itu sendiri. Di sinilah kontemporisasi terjadi. Yang utama, karya harus mampu merepresentasikan gagasan, bagaimanapun bentuknya. Mereka mendekonstruksi makna sekaligus cara.