Gairah Kebaruan Semesta Kuliner
Beragam inovasi dilakukan pelaku usaha kuliner skala mikro, kecil, dan menengah. Era disrupsi menggeser metode penjualan secara konvensional. Bukan sekadar merangkul teknologi, rasa, warna, hingga merek pun dibuat semenarik mungkin untuk menggaet konsumen.
Sekitar 10 pengojek daring berkerumun di sekeliling kasir di sebuah teras sempit, Rabu (23/10/2019). Fitriyani (24) agak kewalahan melayani mereka membayar pesanan. Jam baru menunjuk pukul 10.30, bunyi notifikasi masuknya order melalui telepon seluler tak usai berdering.
Rumah kecil di Kelurahan Klender, Kecamatan Duren Sawit, Jakarta, itu disulap menjadi gerai. Di dalam rumah itu, dua pegawai memasak dengan tiga wajan besar. Dua karyawan lain mengemas makanan. Celemek kecil untuk konsumen disertakan dengan kalimat jenaka: ”Besok Diet Lagi”.
Meski pesanan amat ramai, tak tampak meja dan peralatan makan. Itulah gerai Kepiting Nyinyir yang memang hanya menyediakan layanan pesan-antar. Gerai itu memutarbalikkan asumsi bahwa bisnis kuliner harus dilengkapi ruang bersantap.
”Awalnya sederhana. Kami survei makanan apa yang paling banyak disukai masyarakat,” ucap Gilang M Nugroho, pendiri Kepiting Nyinyir. Bermodalkan Rp 3 juta, usaha itu dimulai tahun 2016 di petak lahan seluas hanya 6 meter persegi di Kelurahan Klender. Pengojek berduyun-duyun memesan makanan.
”Sepeda motor dan pejalan kaki susah lewat. Pengurus RT sering datang untuk menegur kami. Akhirnya kami diusir,” kata Gilang.
Kepiting Nyinyir lalu pindah ke lokasi yang saat ini ditempati. Usaha ini terus berkembang, bahkan kini sudah bisa membuka cabang di Kemanggisan, Bintaro, dan Bekasi dengan jumlah total pegawai 58 orang. Setiap gerai rata-rata menerima 75 pesanan per hari kerja dan mencapai dua kali lipat pada akhir pekan.
Makanan favorit di gerai ini adalah Nyinyir Bertiga, terdiri dari kepiting, cumi, udang, kerang, dan jagung. Harga seporsi masakan untuk tiga hingga empat orang itu Rp 212.000.
”Kenapa namanya Kepiting Nyinyir? Karena kami ingin dinyinyirin, tetapi dalam konteks yang positif,” ujar Gilang seraya tersenyum. Saat baru dibuka, Kepiting Nyinyir tak dijalankan dengan mudah. Ia cukup bersyukur jika mendapatkan lima order saja per hari.
Selama dua bulan pertama, Gilang mengandalkan hanya lima pengojek pangkalan. Ruang menikmati makanan ia tiadakan sebagai pemula untuk menghindari persaingan dengan restoran mapan. Gilang juga mengamati tren pesan-antar makanan yang semakin mudah.
”Masyarakat semakin mager (malas gerak). Maka, media sosial jadi etalase,” kata Rachman A Rahim, pendiri lain Kepiting Nyinyir. Ia mengunggah foto masakan, aktivitas di dapur, dan promosi. Kini, akun Instagram kepiting_nyinyir sudah diikuti 107.000 warganet.
Kepiting Nyinyir bekerja sama dengan operator ojek daring, Go-Jek, hingga penjualannya meningkat. Usaha itu meraih Go-Jek Awards 2017. ”Sekarang, kami susah libur. Enggak pernah gajian juga, tetapi setiap hari tanggal muda, ha-ha-ha,” ucap Gilang.
Inovasi kuliner juga ditunjukkan Misyellin Debora dengan mendirikan Ponut Donat Kentang. Ia sudah membuka enam gerai di Jakarta dan Bekasi. Misyellin memilih bisnis penganan demi kepraktisan. Meja dan kursi tak dibutuhkan karena pembeli bisa santai makan sambil berjalan-jalan.
Ponut yang buka sejak Desember 2015 itu sudah mempekerjakan 12 karyawan. Gerai-gerai itu umumnya berada di mal. Tersedia delapan macam donat dengan harga Rp 8.000-Rp 10.000 per potong. Donat favorit adalah klasik dengan gula halus.
Penjualan Ponut pun meningkat dari 300 potong saat pertama kali buka menjadi sekitar 1.500 potong per hari. Misyellin belum terpikir membuka kedai. ”Kami masih fokus membuka cabang-cabang baru. Donat langsung dibuat di gerai,” ujarnya.
Lain lagi cara kafe jamu Acaraki. Sejak Juli 2018, Acaraki mengantar jamu menjadi mode minuman baru. Minuman tradisional itu diangkat dengan cara kekinian. Jony Yuwono, pendiri kafe jamu Acaraki, menyajikan menu melalui racikan ala barista di Kemang dan Kota Tua, Jakarta.
Embusan hawa di ruang berpendingin di Acaraki Kemang mengusir gerah di sore yang masih saja terik, Rabu (23/10). Kafe dengan panjang 15 meter dan lebar 10 meter itu berinterior trendi. Sekitar lima pramusaji berseragam putih dilengkapi apron.
Mereka rapi seperti pegawai kedai kopi modern. Abege-abege nongkrong sambil menyesap beras kencur yang disajikan dengan gula dan krim. Nama jamunya pun keren, Saranti. Minuman itu disajikan dalam gelas dengan tatakan kain berenda dan sedotan aluminium.
Lain lagi dengan Dutch Jamu yang mirip cold brew coffee. Padahal, minuman dingin itu adalah kunyit asam atau beras kencur dipadu ekstraksi air lebih dari delapan jam. ”Jamu bisa dipesan dengan rasa ringan, pekat, bahkan dicampur susu, soda, hingga es krim,” kata Jony.
Kopi baru
Ratna Somantri, tea specialist, menjelaskan, kalangan milenial sangat gandrung dengan segala yang superlatif. Mereka pasang foto di Instagram untuk menambah koleksi like. Oleh karena itu, kedai-kedai teh berkreasi menyediakan menu dengan nama-nama menarik.
”Misalnya, ’Sing A Summer Song’. Teh juga dipadukan buah naga yang dikeringkan sehingga warnanya mirip Fanta,” ucap Ratna. Warna-warni ini menggugah narsisme netizen untuk mengunggahnya ke media sosial. Situasi yang melahirkan tren baru: tea is the new coffee (teh adalah kopi yang baru).
Kreativitas juga ditunjukkan pegiat aplikasi kuliner. Mereka menjalin jejaring dengan penjual makanan sehingga usaha itu lebih bergairah. Dari Halte ke Halte (DHKH) yang didirikan Bowo, misalnya, membuat penjualan makanan dan minuman semakin hiruk-pikuk.
Aplikasi itu menyebarluaskan kelezatan kuliner penjaja santapan di kios, gerobak, dan tenda yang tak mampu berpromosi. ”Ada yang di terminal, stasiun, dan halte. Konten pertama baru diunggah pada Maret 2019 dan followers (pengikut) DHKH sudah mencapai 42.000 warganet,” ujar Bowo.
Ajakan icip-icip kuliner lokal juga digalakkan Belanga Indonesia yang didirikan Sica Harum sejak tahun 2017. Komunitas itu beranggotakan Sobat Icip Belanga yang menggelar pertemuan setiap bulan untuk menikmati kuliner khas dari sejumlah provinsi, seperti papeda, sate bandeng, dan ilabulo.
Berdasarkan hasil survei Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia 2018 terhadap 1.000 mitra usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) Go-Food dari Go-Jek, ditemukan bahwa mitra UMKM Go-Food berkontribusi Rp 18 triliun terhadap perekonomian Indonesia.
Dengan metode perhitungan yang sama, kontribusi itu pada tahun 2017 tercatat sebesar Rp 6,9 triliun. Survei itu melibatkan mitra UMKM Go-Food di sembilan kota. Selain itu, 55 persen responden UMKM mengalami kenaikan klasifikasi omzet sejak mereka bergabung dengan Go-Food.
Dengan merangkul inovasi teknologi, para pelaku usaha kuliner ini terbukti ikut menggeliatkan perekonomian.