Spekulasi tentang Ingatan
Siapa yang paling berhak atas curry burger? Negara-negara seperti Amerika, Inggris, Jerman, India, dan Jepang bisa berdebat sengit, saling klaim. Hebohnya, kelimanya merasa paling berhak atas makanan yang berbahan utama roti dan daging cincang itu. Satu hal yang mereka lupakan, seluruh klaim itu hanya berupa potongan-potongan ingatan yang spekulatif.
Elia Nurvista menciptakan ruang debat dalam sebuah film pendek berjudul Safeguarding the Curry Burger. Film berdurasi 29,47 detik itu diputar berulang-ulang dalam ruang pameran Art Bali bertajuk ”Speculative Memories” yang berlangsung pada 13 Oktober 2019-13 Januari 2020 di AB-BC Building, Nusa Dua, Bali.
Pameran yang diikuti 32 seniman dari Indonesia, Australia, Kanada, Jepang, Selandia Baru, dan Amerika Serikat ini diresmikan Kepala Badan Ekonomi Kreatif Triawan Munaf. ”Kita ingin Bali menjadi tempat yang strategis untuk perkembangan seni kontemporer,” kata Triawan.
Amerika mengklaim burger sejak lama menjadi makanan paling populer di negeri mereka. Inggris merunut cikal bakal burger berasal dari roti isi bernama sandwich, tetapi Jerman melacak kota Hamburg telah memperkenalkan burger sejak awal abad ke-18. Sementara India merasa bahwa varian makanan curry terbanyak ada di negara mereka, tentu saja termasuk curry burger. Terakhir orang-orang Jepang meyakini bahwa curry burger telah mereka muliakan dengan membuat museum curry.
Simulasi debat yang makin mengeras ini berujung pada tudingan bahwa Amerika dengan gerai fastfood yang menjual burger menjadi simbol serangan kapitalistik di seluruh negara. Kesuperan negara itu tak hanya diperlihatkan lewat pamer kekuatan perang dan film-filmnya yang heroik, tetapi juga gerai-gerai fastfood yang hegemonik. Di situ tak hanya ada klaim, tetapi juga gugatan terhadap dominasi kultural.
Dominasi kultural itulah yang membuat perangkat-perangkat tradisi (adat) kian hari kian meredup. Lewat karya bertajuk ”Pejuang Adat”, Marmar Herayukti membangun perahu kayu dengan seluruh elemen adat di atasnya, sedang mengarungi lautan mahaluas penuh gelombang. Celakanya, haluan perahu (adat) itu nyaris menghunjam permukaan air.
”Banyak orang kini merasa direpotkan oleh adat,” kata Marmar. Dengan cara yang berbeda, perupa I Wayan Sudarna Putra, juga I Wayan Sujana Suklu, merekonstruksi ingatan-ingatan yang berasal dari serpih-serpih tradisi menganyam.
Sudarna menciptakan berbagai rupa artwork dari bambu yang dianyam berdasarkan ingatannya tentang kelankat. Kelankat tak lain berupa sebentuk anyaman dari bilah-bilah bambu paling sederhana, tetapi memiliki fungsi ritual yang teramat penting dari ritus-ritus di Bali. Sudarna kemudian berekspresi lebih jauh dengan membebaskan diri dari ikatan sistem nilai, pola, dan bentuk. ”Pokoknya saya bekerja saja dengan ingatan tentang kelankat itu,” katanya.
Jika dilihat dari ketinggian karya berjudul ”Dari Sabang sampai Merauke” itu, mengimajinasikan tentang kepulauan Indonesia. Dari pintu masuk gedung pameran, Anda seolah dihadang oleh hamparan pulau-pulau yang dianyam menjadi satu kesatuan bernama Indonesia. Hadangan pulau-pulau bambu itu terkadang berubah bentuk menjadi wahana untuk memasuki sebuah ”wilayah” baru yang berisi keragaman ”kultural”.
Instalasi
Sesungguhnya sebelum benar-benar memasuki ruang pamer, perupa Sujana Suklu membangun instalasi bambu yang ia beri judul ”Alfabet Moles”. Sudah pasti bambu menjadi elemen paling naratif dalam tradisi (Bali). Seluruh narasi di dalamnya dibangun semasa kultur agraris menjadi sandaran filosofis kehidupan di ”Pulau Dewata”. Suklu mengatakan, karyanya masih akan terus bertumbuh seiring dengan perjalanan pameran Art Bali.
Kesan itu memberi pertanda bahwa ruang-ruang kosmologi yang coba ia terjemahkan lewat kolom-kolom bambu terbuka terhadap berbagai interpretasi. Orang-orang bisa keluar dan masuk, lalu memberinya makna sesuai dengan referensi dan bekal ilmu pengetahuannya. Kosmologi, kata Suklu, juga terbentuk pada ruang-ruang personal, berupa molekul-molekul yang kemudian membentuk raga manusia secara utuh. ”Bali kupikir juga seperti itu,” katanya.
Seolah bertolak belakang dengan elemen-elemen natural, seniman Ashley Bickerton memungut berbagai material industri yang dibawa gelombang di dekat rumahnya. Elemen-elemen itu bisa berupa sandal, botol plastik, aneka serpih mainan, sikat gigi, sisir, dan beragam benda-benda industri lainnya. Benda-benda itu kemudian ia tempelkan di atas hardboard yang diberi latar belakang gambar menyerupai pantai.
Ashley tak berhasrat membangun cerita, tetapi membiarkan saja benda-benda industrial itu menumpahkan narasi dirinya. Mungkin sebuah sandal punya cerita sendiri sebelum dibuang dan terhanyut mengarungi lautan untuk kemudian terdampar. Ashley menggugat ”rezim industrialis-kapitalis” dengan cara menciptakan ironi yang berasal dari memori benda-benda yang ia temukan di sekitarnya.
Gugatan yang lebih ”spiritualistik” terdapat pada karya Jumaldi Alfi bertajuk ”Digital Spiritualisme, I Like to See Myself as A Prophet #2”. Jumaldi menggambar di atas kain linen sosok-sosok manusia tersamar di balik guyuran tulisan-tulisan Arab. Ia memprotes tafsir tunggal terhadap ayat-ayat suci, yang justru menimbulkan berbagai friksi pada kehidupan nyata. Apalagi tafsir itu kemudian didorong oleh teknologi digital lewat kanal media sosial, maka dalam sekejap tafsir tunggal itu menciptakan kekisruhan. Tafsir tunggal itu, sesungguhnya pula telah membunuh ingatan-ingatan kolektif, yang telah lama dipraktikkan dalam ritus-ritus religi.
Kurator pameran, Ignatia Nilu, mengatakan ”Speculative Memories” berangkat dari gagasan mengenai penggalian narasi garis waktu, khususnya dari aspek kesejarahan dalam berbagai pendekatan yang ditafsir dalam ”ingatan-ingatan spekulatif”. ”Gagasan ini tidak lepas dari penyajian realitas yang dikonstruksi oleh metode kognitif dan empiris,” kata Ignatia.
Ruang tafsir yang demikian luas membuat 32 seniman terpilih bergerak dari wilayah-wilayah arketif-religi sampai kepada memori benda-benda industri-kapitalistik. Karya-karya mereka tak hanya bercerita, tetapi menafsir ulang narasi-narasi yang hidup dalam memori kolektif menjadi sajian karya ”baru” yang lebih personal sekaligus aktual.