Tak Sekadar Boneka Kertas
Lukisan-lukisan bertemakan boneka-boneka kertas itu bukan sekadar tercipta dari hasil imajinasi perupa. Boneka kertas itu pula muara dari segenap lelaku panjang sang seniman.
Selama setahun penuh, sang seniman melebur dan turut beraktivitas dengan penari yang ditokohkan ke dalam boneka itu. Ia seraya mencipta karya-karya fotografinya. Dari karya-karya fotografi itu dibuatlah fantasi boneka-boneka kertas.
Boneka-boneka kertas ini ditata ke dalam ragam adegan, kemudian dilukis. Melukis secara realisme boneka-boneka kertas. Itulah perjalanan panjang yang bermuara menjadi lukisan. Karya-karya itu bertutur tentang dramatari klasik Bali yang dikenal sebagai Gambuh. Dramatari Gambuh hidup sejak masa Raja Baturenggong, Gelgel, Klungkung, Bali, abad ke-15.
Seniman muda asal Padang, Sumatera Barat, Ipan Lasuang (27), lulusan Institut Seni Indonesia Yogyakarta, itulah yang menempuh perjalanan panjang untuk melahirkan karyanya itu.
Ipan menyuguhkan 12 lukisan boneka kertas tersebut dalam pameran tunggalnya di CG Artspace Rumah Miring, Jakarta, 26 Oktober-4 November 2019. Di ruang pamer bagian terdepan dipajang dua lukisan berjudul ”Harapan” (2019), dengan media akrilik di atas linen berukuran 150 x 250 sentimeter.
Di lukisan itu ada latar pemandangan Gunung Batur di Bali. Ipan melukis selembar kain putih panjang terbentang mulai dari kaki gunung hingga mengangkasa melewati puncak gunung.
”Itulah doa, seperti dituturkan Ipan,” ujar Christiana Gouw, pemilik dan pengelola CG Artspace Rumah Miring, Kamis (31/10/2019).
Ipan mengemas keindahan dan kebudayaan Indonesia, juga kerisauannya terhadap masa depan negeri ini ...
Doa seperti selembar kain putih yang dipanjatkan ke atas gunung hingga mengangkasa entah sampai di mana. Ipan juga menyertakan lukisan transparan seorang laki-laki dalam wujud boneka kertas di hamparan pemandangan gunung tersebut.
Sosok laki-laki itu memiliki kemiripan dengan yang ada di lukisan lain di dekatnya. Ipan memberi judul lukisan itu ”Total Actor (I Wayan Bawa)”, 2019, dengan media akrilik di atas linen berukuran 150 x 100 sentimeter.
I Wayan Bawa ternyata menjadi sosok penting di dalam beberapa lukisan Ipan. Ia sebagai penerus generasi dramatari Gambuh yang tersisa di Bali.
I Wayan Bawa diwujudkan sebagai boneka kertas beserta tokoh-tokoh lain di seputar aktivitas dramatari Gambuhnya. Ipan menjadikannya sentral, seperti tertuang di dalam lukisan berjudul ”Harapan”.
”Ipan mengemas keindahan dan kebudayaan Indonesia, juga kerisauannya terhadap masa depan negeri ini yang mulai dikungkung radikalisme,” kata Christiana.
Ipan di dalam setiap lukisannya memainkan realisme boneka kertas yang berlekuk-lekuk itu. Ia menunjukkan kematangan dalam menggarap warna pencahayaan.
Bahkan, dalam beberapa karya lukisan lainnya, Ipan menyertakan nyala lilin-lilin di antara boneka-boneka kertas. Sinarnya menerpa setiap lekuk kertas hingga dimainkan Ipan untuk menciptakan gradasi warna menuju warna gelap bayangan.
Pembingkaian ulang
Ipan dinilai berhasil melakukan pembingkaian ulang terhadap seni tradisi dramatari Gambuh. Setidaknya, hal ini dipaparkan seniman asal Bali, yang kini juga ditunjuk menjabat Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, Wayan Kun Adnyana.
”Ipan melibatkan diri secara langsung di tengah aktivitas dan suasana latihan para penari,” ujar Kun Adnyana.
Petualangan suka duka, haru biru, dan dipenuhi kabut misteri tercipta.
Ipan melebur ke tengah keluarga I Wayan Bawa dan komunitas penari Gambuh. Gambuh sebetulnya menyajikan cerita Panji dari abad ke-11 di masa Kerajaan Jenggala dan Daha di Tanah Jawa.
Alkisah, Panji atau Inu Kertapati sebagai putra mahkota Kerajaan Jenggala terlibat jalinan asmara yang rumit, namun selalu berakhir bahagia dengan putri Kerajaan Daha, Galuh Candrakirana.
Keduanya bertemu, tetapi kemudian terpisahkan. Satu sama lain kemudian menjalin pencarian yang membuka rangkaian kisah panjang dan beraneka.
Petualangan suka duka, haru biru, dan dipenuhi kabut misteri tercipta. Namun, kisahnya berakhir bahagia di saat keduanya bisa bertemu kembali.
Cerita panji pada masanya berkembang luas, tidak hanya di Jawa dan Bali. Pada masa Kerajaan Majapahit, cerita panji tersebar hingga ke Malaysia, Thailand, Laos, ataupun Kamboja.
Cerita panji mengalami adaptasi dengan lingkup budaya yang menaunginya. Di Malaysia di tahun 1961 pernah difilmkan sebagai kisah Panji Semirang, kemudian di Thailand, Laos, dan Kamboja, masih bisa ditemui cerita panji menjadi inspirasi cerita rakyat setempat.
Seperti di Bali, cerita panji diadaptasikan sebagai dramatari Gambuh sejak abad ke-15 di masa Kerajaan Klungkung itu. Menurut Kun Adnyana, dramatari Gambuh bahkan menjadi dramatari yang sakral (wali) dan semisakral (bebali).
”Ipan melahirkan sosok boneka kertas yang berkarakter dari sebatas simbol imajinasi ke arah metafora baru,” ujar Kun Adnyana.
Setidaknya, Ipan sebagai seniman muda telah menunjukkan proses kreatif yang tidak instan. Ipan menunjukkan ritus baru dalam proses melukis yang tidak sekadar memindah rupa ke dalam kanvas.