Daging Asap Se’i Penggugah Selera
Aroma sedap daging asap tercium menyeruak saat tiga porsi varian berbeda, olahan daging khas Provinsi Nusa Tenggara Timur, se’i, disajikan di atas meja. Ini pas menjelang waktu makan siang saat rumah makan Se’ilera di kawasan Bintaro, Jakarta Selatan, baru saja dibuka.
Suasana restoran masih lengang saat tiga pengendara ojek sepeda motor daring sudah mengantre, Rabu (23/10/2019). Mereka duduk menunggu pesanan makanan titipan pelanggan selesai dikemas dan siap diantarkan.
Ketiganya adalah pembeli pertama yang datang di pagi menjelang siang itu. Jam makan siang dan hari libur adalah saat-saat terpadat di restoran ini. Menu santap daging se’i sepertinya memang cocok menjadi salah satu alternatif pilihan makan berat di siang hari.
Ketiga varian daging se’i yang dijual di Se’ilera antara lain berbahan daging sapi, lidah sapi, dan daging ayam. Menu se’i daging lidah sapi menjadi ciri khas rumah makan ini jika dibandingkan dengan restoran atau tempat makan serupa, yang juga menjual se’i.
Harga se’i daging lidah sapi lebih mahal ketimbang dua jenis daging lainnya. Jika se’i sapi terbuat dari daging bagian sanding lemur (brisket), maka untuk daging ayam, Andina, sang pemilik rumah makan Se’ilera, menggunakan bagian paha.
Saat ditemui di rumah makannya, Andina dan sang suami, Adhi Ramadhan, mengaku minat pembeli memesan se’i lidah sapi lumayan tinggi walau harganya lebih mahal. ”Memasaknya jauh lebih lama karena untuk daging bagian lidah harus direbus terlebih dahulu beberapa jam supaya empuk dan bersari. Kalau langsung diasap seperti daging biasa hasilnya justru malah jadi keras,” ujar Adhi, yang dibenarkan Andina.
Selama hampir setahun, suami istri itu mencoba beragam resep dan cara membuat daging se’i. Sampai mereka mendapatkan cita rasa yang pas sesuai standar daging se’i aslinya asal NTT.
Proses pembakaran dan pengasapannya pun menggunakan kayu bakar khusus, terutama berasal dari pohon buah-buahan. Aroma asap dari kayu bakar pohon buah menurut mereka jauh lebih berkarakter.
Selain itu, untuk mengimbangi masakan se’i asli, pembakaran atau pengasapannya juga menggunakan perapian dari batang kayu kosambi (Schleichera oleosa). Kayu pohon jenis itu memang mudah didapatkan di daerah asli kuliner tersebut, tapi tidak di Jakarta.
Selain memberi aroma yang khas dan kuat, pengasapan dari pembakaran kayu kosambi juga memberi warna kemerahan pada daging se’i asli NTT. Meski demikian, se’i yang mereka produksi dan jual sekarang sudah cukup memenuhi selera dan kebutuhan penggemar.
Apalagi, dalam menyajikannya, Se’ilera juga berani berkreasi. Tiga macam daging asap divariasikan dengan tiga macam sambal, dua di antaranya sambal khas tradisional Nusantara. Selain sambal lu’at, rumah makan Se’ilera juga menyediakan pilihan sambal ijo khas Sumatera Barat dan sambal matah khas Bali.
”Soal variasinya terserah selera pelanggan. Semisal se’i lidah sapi diolah dengan sambal ijo atau se’i daging ayam dengan sambal matah. Bisa juga dibalik. Jadi tiga macam protein dan tiga macam sambal itu bisa ditukar-tukar sesuai keinginan,” ujar Adhi.
Beragam variasi tadi juga terasa semakin lezat saat disandingkan dengan nasi jeruk panas, tumis daun pepaya, serta kuah kaldu khas penyanding hidangan se’i. Saat dicicipi bersama nasi jeruk, sensasi aroma masamnya terasa makin memperkuat aroma daging asap.
Ujung-ujungnya semua itu justru malah semakin menambah nafsu makan. Seporsi tampaknya tak akan cukup. Apalagi, jika rasa penasaran masih ada saat ingin mencoba memvariasikan daging se’i tertentu dengan sambal lainnya.
”Kami memang sengaja memadupadankan sambal-sambal tradisional khas daerah lain dengan daging se’i. Jadi ada semacam fusi antarkuliner khas daerah-daerah di Nusantara. Sejauh ini, pelanggan suka,” ujar Andina.
Keunikan lain, di Se’ilera hidangan daging dan sayur disajikan di atas piring kayu berbentuk persegi panjang. Tampilannya yang cantik seperti itu tentu saja sekaligus bisa memuaskan selera para warganet, yang gemar memperbarui status foto-foto kegiatan kuliner mereka di akun media sosial masing-masing.
Koka Sikka
Jika ingin mencoba kelezatan se’i yang lain, bisa mencari alternatifnya, antara lain di kawasan Pasar Santa, Jakarta Selatan. Sejak mulai buka awal tahun lalu, Astrid Amalia dan rekannya, Eric Oktorian, menyajikan se’i daging sapi dan ayam sebagai andalan mereka di kedai Koka Sikka.
Nama Koka Sikka sendiri berasal dari nama pantai (Koka) dan salah satu kabupaten (Sikka) di NTT. Dengan mengusung nama itu, Astrid dan Eric seolah berharap membawa nuansa dan suasana asli tempat muasal masakan se’i sehingga bisa dirasakan sendiri oleh para pelanggan di Jakarta.
”Menurut saya, meskipun se’i ini masakan khas daerah, rasanya bisa diterima lidah orang mana pun. Pada dasarnya memang rasa smoked beef itulah yang terasa familiar,” ujar Amel, sapaan akrab Astrid Amalia.
Pilihan daging sapi dan ayam pun diambil dengan pertimbangan semakin banyak orang bisa menikmati. Bagian daging brisket sapi memang cocok lantaran tekstur dan cita rasanya yang empuk dan bersari. Bahkan lebih bersari ketimbang daging se’i NTT asli, yang jauh lebih kering dan berserat.
Sama seperti Se’ilera, Koka Sikka juga menggunakan kayu bakar khusus berasal dari pohon buah-buahan, seperti apel, rambutan, atau mangga. Aroma yang dihasilkan pada daging dengan pengasapan kayu-kayu jenis itu dinilai terbilang mendekati versi asli, yang diasapi dengan kayu kosambi.
”Daging sapi diasapi 8-12 jam di atas tungku di ruang tertutup, sementara daging ayam sekitar 8 jam. Daging ayam kami pilih sebagai variasi saja di samping daging sapi. Tadinya kami juga menyediakan lidah dan iga sapi, tetapi karena kesulitan stok akhirnya tidak diteruskan daripada mengecewakan pelanggan,” lanjut Amel.
Di Koka Sikka, daging se’i juga disandingkan dengan sambal khas NTT, sambal lu’at, dan dua macam sambal lain, sambal matah dan sambal balado. Sambal lu’at sendiri dibuat dari beberapa bahan, seperti cabai, bawang, daun kemangi, dan jeruk nipis.
Selain tentu saja pedas, sambal lu’at di Koka Sikka juga terasa dominan asam. Namun, menurut Amel, tingkat kepedasan dan keasaman sambal lu’at di Koka Sikka sedikit dikurangi sehingga tidak sepedas atau seasam sambal aslinya.
Sementara untuk sandingan sayurannya, Koka Sikka menyediakan pilihan tumis daun singkong dan bunga pepaya. Mencicipi hidangan se’i di Koka Sikka juga tak kalah menjadi pengalaman berkuliner yang penuh kelezatan dan kepuasan.
Walau sudah sedikit dikurangi, derajat keasaman dan kepedasan sambal lu’at tetap terasa menyengat garang di lidah. Awalnya kita merasa sambal itu masih dalam tingkat yang wajar walau lama kelamaan rasa pedas semakin menyeruak dan membuat hidung mulai berair dan sensasi mulut yang terbakar.
Namun, justru di situlah letak kenikmatan menyantap se’i. Aroma asap pada daging menggelitik indera penciuman terlebih dulu, lalu daging nan empuk dan rasa asap yang lekat menyerbu mulut. Ditingkahi tumis yang sedikit getir dan sambal yang pedas, cita rasanya hadir dengan lengkap. Selain itu, juga ada kaldu tulang sapi yang ringan membasuh lidah dari aneka rasa tadi.
”Senang rasanya bisa ikut menyajikan masakan khas suatu daerah dan membuatnya bisa dinikmati oleh lebih banyak orang,” ujar Amel.