Pemangsa Cahaya
Mengikuti cerita film bersekuel selalu menarik sekalipun rentang waktu antara seri awal dan lanjutannya terpaut sangat jauh. Sejumlah pertanyaan yang dulu muncul setelah menonton film seri pertama akhirnya akan terjawab.
Walau terpaut hampir empat dekade, kisah horor dalam film interpretasi novel berjudul sama karya Stephen King, Doctor Sleep, memberi kepuasan tersendiri. Apalagi tokoh utama dalam film yang mulai tayang awal pekan November 2019 di Indonesia itu juga masih sama.
Film Doctor Sleep berkisah tentang kelanjutan nasib dan jalan hidup sang tokoh utama, Danny Torrance (Ewan McGregor). Pada seri awal, The Shining (1980), Danny diceritakan masih kecil. Dia dan ibunya menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga oleh ayahnya sendiri, seorang pencandu alkohol.
Sekuel kedua yang disutradarai Mike Flanagan ini ternyata lumayan ”sukses”, setidaknya mampu mengundang apresiasi dan pujian dari sang penulis novelnya, Stephen King. Apresiasi sama sebelumnya tidak ditunjukkan oleh King kepada sutradara The Shining, Stanley Kubrick. King justru cenderung kecewa ketika itu.
Menariknya, dalam film Doctor Sleep, Flanagan justru menghidupkan kembali beberapa adegan ikonik dan peristiwa fenomenal dalam The Shining. Beberapa adegan mengerikan di Hotel Overlook, seperti banjir darah yang keluar dari lift atau ketika sosok ayah mengejar Danny dan ibunya dengan membawa kapak besar, atau keberadaan sejumlah sosok hantu terutama di kamar hotel nomor ”237”.
Semua kejadian di hotel tadi adalah sesuatu yang traumatis dan sebenarnya ingin dilupakan Danny dewasa. Dia mencoba melanjutkan kehidupannya. Namun, pasca-kematian ibunya, Danny justru sempat berubah menjadi sosok mirip mendiang ayahnya, pemabuk dan suka kekerasan.
Pascakematian sang ibu, hidupnya semakin kacau. Meski begitu, Danny dikisahkan berhasil mengatasi ketakutannya akan sosok-sosok hantu jahat, yang dia temui di hotel waktu kecil. Dia dibantu sahabat masa kecilnya, seorang koki hotel, yang juga punya kemampuan istimewa sama.
Sebagai The Shining alias orang yang diberkati dengan ”cahaya”, mereka bisa berkomunikasi lewat pikiran alias telepati. Kemampuan telepati dan kekuatan supranatural Danny lainnya itulah yang lantas juga membawa dirinya berkenalan dengan seorang gadis kecil, Abra (Kyliegh Curran).
Abra dengan kekuatan ”cahaya” yang jauh lebih besar berupaya menghubungi Danny lewat kekuatan pikirannya untuk meminta pertolongan. Secara tak sengaja Abra mengetahui kejadian pembunuhan mengerikan, yang menimpa anak-anak berkemampuan spesial seperti dirinya.
Semua itu dilakukan sekelompok makhluk, seperti vampir yang hidup dari menghirup esensi kekuatan ”cahaya” berbentuk kabut asap putih dari para korbannya. Kelompok jahat berkekuatan supranatural bernama ”The True Knot” itu dipimpin seorang wanita cantik, seksi, tetapi sadis, Rose the Hat (Rebecca Ferguson).
Dengan memangsa korbannya, para makhluk jahat itu mendapat tambahan kekuatan serta umur panjang. Dalam sejumlah dialog, mereka diketahui bahkan sudah hidup selama ratusan tahun. Nyawa Abra sendiri terancam lantaran Rose dan kelompoknya malah tergiur ingin menghirup ”cahaya” milik Abra yang sangat besar dan diyakini mampu menyuplai mereka selama bertahun-
tahun.
King yang puas
Sang pemilik cerita alias penulis sekuel novel, The Shining terbit tahun 1977 dan Doctor Sleep terbit 2009, jauh lebih puas dengan hasil kerja Flanagan. Stephen King dalam sebuah interview, seperti dikutip situs berita CNBC.com, menyebut apa yang dilakukan Flanagan mampu ”menebus” kekecewaannya atas garapan Kubrick dulu.
”Saya baca naskah (Flanagan) dengan sangat-sangat berhati-hati. Dari situ saya berkata kepada diri sendiri, segala hal yang pernah membuat saya sebal pada versi Kubrick di The Shining seolah sudah tertebus. Mike Flanagan, kami pernah bekerja sama dalam film Gerald’s Game. Saya sangat menyukai semua filmnya,” puji King.
Secara keseluruhan, ketegangan dan keseraman yang digambarkan dalam film ini memang benar-benar terjaga. Boleh jadi alur cerita memang bisa leluasa dipaparkan sang sutradara lantaran film ini memiliki durasi sekitar 150 menit.
Bagi mereka yang tidak terbiasa dengan cerita horor ala Stephen King, bisa jadi bakal tersiksa atau merasa bosan. Akan tetapi, bagi
para penggemar film horor sejati, kengerian-kengerian yang terbangun dalam kisah-kisah garapan King pastinya akan selalu mengasyikkan dan memberi kenikmatan tersendiri.
Apalagi dalam sekuel kali ini Flanagan seolah menghadirkan dua film, yang dipadukan sekaligus dijalin dalam sebuah jalan cerita penuh ketegangan. Memang sangat menarik mengikuti alur kisah, yang menunjukkan bagaimana cerita masa lalu bisa terjalin dan bahkan menjadi alternatif solusi untuk menuntaskan persoalan pada masa kini.
Mengutip kantor berita Associated Press, Flanagan sendiri mengakui, dirinya mengalami kesulitan luar biasa saat menginterpretasi novel King ke dalam naskah yang dia tulis. Sebagai fans fanatik karya-karya horor King sejak kecil, dirinya merasa harus bisa untuk tidak mengecewakan idolanya itu. Terbukti Flanagan justru sukses ”merekonsiliasikan” dua kisah novel King dalam filmnya. (DWA)