Rumah Antimonoton
Rumah Gayatri Wibisono (47) di kawasan Bintaro, Jakarta Selatan, terlihat cantik, bergaya, dan bisa dipastikan tak pernah monoton. Dalam waktu-waktu tertentu, tatanan dan pengaturan interior di dalam rumahnya itu bisa dan akan selalu berganti seiring dengan munculnya kreativitas si pemilik rumah.
Ada banyak perpaduan elemen gaya desain interior plus sentuhan personal dari ibu tiga putri ini. Mulai dari yang berelemen shabby chic, tradisional dan etnis, dengan sentuhan natural, hingga ekletik, yang serba campur baur. Selain itu, ada juga yang berbau sedikit lawasan atau vintage, dengan sentuhan elemen rustic.
Semua gaya desain interior tersebut berpadu padan dalam balutan sedikit aksen bernuansa warna biru. Biru adalah warna kecintaan perempuan yang juga pemilik sebuah galeri desain interior langganan beberapa selebritas itu.
”Buat saya, warna biru itu representasi kreativitas dan ide. Seperti juga laut dan langit, keduanya sama-sama berwarna biru dan juga tak terbatas. Begitu pula seharusnya ide dan kreativitas kita. Selalu tak terbatas, apalagi dibatasi,” ujar Gayatr saat ditemui di kediamannya, Kamis (7/11/2019) pagi.
Kediaman Gayatri di Bintaro berupa rumah berlantai dua, dengan luas tanah 300 meter persegi dan luas bangunan 370 meter persegi. Ada empat kamar di lantai atas dan satu kamar asisten rumah tangga di lantai bawah. Rumah itu berada di salah satu pojok kompleks dan menghadap arah selatan. Halaman rumah Gayatri asri dengan sejumlah tanaman hias hijau dan bunga.
Hari itu ia sibuk bolak-balik menata ruang tamunya untuk keperluan pemotretan. Ada saja terlihat ide baru muncul dari pikirannya. Beberapa kali dia juga meminta tiga asisten rumah tangganya mengambil atau memindahkan barang-barang untuk ditata.
Menurut Gayatri, dia seperti itu sejak kecil. Setiap melihat ruangan di kepalanya, otomatis akan selalu muncul beragam ide tentang bagaimana menata dan mempercantiknya. Kedua orangtuanya paham tentang kebiasaannya itu.
Mereka merelakan rumah diacak-acak untuk kemudian ditata dan dihias kembali menjadi cantik sesuai selera anaknya itu. Gayatri bukan berasal dari keluarga seniman, apalagi desainer interior. Ayahnya adalah wartawan senior dari salah satu surat kabar nasional sore terkemuka.
Saat berkuliah di Jurusan Hukum, Gayatri kurang bersemangat. Dia lebih suka tinggal di rumah indekos untuk menata kamarnya. Tak puas dengan itu, dia juga bahkan ”menginvasi” kamar-kamar rekan satu indekosannya untuk juga dia tata dan percantik. Beberapa teman kuliah beda rumah indekos pun juga kerap meminta bantuannya.
Kebiasaan itu terus berlanjut sampai lulus kuliah, bekerja, dan kemudian menikah. Saat akhirnya Gayatri dan sang suami memiliki rumah sendiri, dia sangat bersemangat. Ia seolah menemukan kemerdekaan mutlak untuk merancang dan menghias rumah tinggalnya.
Sepanjang lima tahun terakhir tinggal di rumah tersebut, Gayatri benar-benar total berkreasi dan bereksperimen. Suami dan anak-anaknya pun sangat paham dan bahkan ikut menikmati hasil kesibukannya itu. Mereka juga kerap memberi masukan.
Desain interior dan penataan rumahnya dia tuangkan dalam buku berjudul Easy Retreat Style, The Sense of Comfort Living. Dalam buku berdesain hardcover dan kertas berjenis art paper itu, Gayatri menceritakan perjalanan dan proses kreatifnya, lengkap dengan foto-foto ilustrasi berwarna.
Alamiah dan sederhana
Gayatri tampak senang bermain-main dengan kesederhanaan yang tetap elegan dan berkelas. Hal itu tampak jelas di rumahnya saat ini. Selain gemar memasukkan unsur- unsur etnis dan tradisional, Gayatri juga banyak memasukkan unsur natural berupa tanaman dan bunga dalam pot ataupun vas untuk dihadirkan, terutama di ruang tamu dan ruang keluarganya.
”Unsur natural saya wakilkan lewat keberadaan unsur kayu. Buat saya, unsur kayu harus selalu ada dalam setiap desain. Selain itu, di rumah ini saya juga menerapkan sebagian dinding, terutama di lantai satu, dengan bentuk batu bata yang tampak menonjol,” ujarnya.
Gayatri juga mengaku sangat menggemari rincian. Semakin banyak rincian yang terekspos, itu akan semakin baik baginya. Dengan alasan sama pula, dia lebih menyukai penerapan teknik bubut kayu saat membuat setiap produk furnitur rancangannya di rumah tersebut.
Teknik yang sama dipakai membuat railing tangga menuju lantai atas. Selain teknik bubut, kayu-kayu, terutama di produk furniturnya, juga dia biarkan tidak menjalani proses finishing, seperti penghalusan atau pengecatan dengan pelitur.
Bagi Gayatri, mebel dengan serat-serat kayu yang tampak telanjang serta berwarna alami kayu kusam justru menjadikannya berkarakter dan alamiah. Hal tersebut bisa dilihat dari salah satu meja kopi penyanding sofa di ruang tamunya.
Bagian kaki meja kopi tersebut dibuat dengan teknik bubut terlihat sangat kokoh walau dengan diameter yang tak terlalu proporsional dibandingkan dengan permukaan mejanya. Meski begitu ketidaksempurnaan seperti itulah yang dinilai Gayatri justru menghadirkan keindahan tersendiri.
Hampir semua mebel di rumah Gayatri dibuat secara pesanan. Gayatri merancang sendiri meja atau kursi yang akan dia pakai di rumahnya atau juga di galeri pamernya. Rancangan yang dibuatnya itu lantas dia serahkan kepada tukang kayu langganan kepercayaan untuk kemudian diwujudkan sesuai dengan keinginan.
Tanpa sekat
Sebagai salah satu lokasi favorit keluarganya, Gayatri merancang ruang tamu, ruang keluarga atau area makan, serta dapur, dengan sama sekali tanpa sekat. Sebagai satu-satunya penanda batasan di antara ketiga ruang tadi, Gayatri memasanginya dengan ubin berbeda dari ubin utama keramik warna putih.
Penanda-penanda itu berupa lantai keramik bercorak dan berwarna pastel di ruang tamu dan ruang tengah. Sementara di bagian dapur, dia menandai area tersebut dengan memasang lantai warna biru bertekstur, yang biasa dipakai di lantai kolam renang. Dengan penanda-penanda itu, orang bisa tahu di posisi mana dia tengah berada.
Dengan begitu, ruangan terasa lapang. Semua anggota keluarga dapat berkumpul dan bercengkrama di lantai bawah dengan bebas. Mereka boleh jadi ada di ujung-ujung ruangan, tetapi masih dapat saling memandang dan berinteraksi seolah di dalam satu ruangan yang sama.
Kesan lapang juga semakin terbantu dengan keberadaan sebagian langit-langit rumah, yang sengaja dibangun tinggi. Juga dengan tambahan jendela kaca berbingkai besar yang berada di dinding lantai dua.
Sementara itu, di antara area makan dan ruang tamu terdapat pintu kaca lebar berbingkai kayu, yang memisahkan ruang dalam rumah dengan area teras terbuka di sudut samping belakang rumah. Sebagian area teras berlantai keramik dengan sofa dan meja serta piano, sementara sebagian lagi berlantai tanpa ubin yang hanya ditutup karpet rumput sintetis.
Area teras ini biasa dipakai bermain teman-teman anak Gayatri yang tengah berkunjung. Kondisinya yang terbuka membuat cahaya matahari dan udara dapat dengan mudah masuk dan bersirkulasi ke dalam rumah, terutama
jika pintu kaca tengah dibuka lebar.
Dalam setiap desainnya, Gayatri juga selalu berupaya memasukkan beragam unsur etnis serta kerajinan tradisional. Hal itu bukannya tanpa tujuan. Dia merasa berkewajiban untuk terus berupaya memperkenalkan beragam kerajinan tangan tradisional Tanah Air, terutama ke generasi saat ini.
”Saya ingin mengedukasi mereka agar tetap mau memajang dan menggunakan produk-produk kerajinan Nusantara. Mereka harus tahu Indonesia itu pusatnya kerajinan terlengkap di dunia. Jangan sampai kekayaan tradisi kita punah. Upaya itu, menurut saya, harus dimulai dari rumah kita masing-masing sejak sekarang,” pungkas Gayatri.