Terima Kasih Susy Susanti
Jangan pernah lelah mencintai Indonesia
Susy Susanti
Hong Kong, 15 Mei 1998. Tim bulu tangkis putri Indonesia memulai pertandingan Piala Uber melawan Inggris. Di Tanah Air, 13-14 Mei 1998, kerusuhan melanda dan banyak etnis Tionghoa menjadi korban. Mungkinkah bertanding sambil memikirkan keselamatan keluarga di Indonesia?
Melewati laga demi laga, tim putri Indonesia berhasil sampai final meski akhirnya kalah dari China 1-4. Tim bulu tangkis putra, bahkan, berhasil meraih Piala Thomas dengan mengalahkan Malaysia, 3-2.
Manajer tim bulu tangkis Indonesia, Agus Wirahadikusumah, membuka empat saluran telepon di kamar ofisial agar para pemain bisa menghubungi keluarganya. Agus juga menyediakan kediaman dan sejumlah rumah koleganya untuk menerima anggota keluarga pemain yang terancam keselamatannya (Kompas, 20 Mei 1998).
Segala kekhawatiran, haru biru, dan emosi yang bergejolak digambarkan lewat kedatangan bus para pemain di tengah pendemo di Hong Kong yang memprotes kerusuhan di Indonesia, ketegangan saat konsolidasi pemain, dan keputusan untuk bertanding dengan kembali mengenakan jaket putih bertuliskan merah: Indonesia.
Susy Susanti ada di antaranya. Di tengah segala bias SARA dan dampak buruk yang dia alami, ia bertanding dengan sepenuh hati. Untuk itulah, kita harus berterima kasih.
Melawan prasangka
Namun, film Susi Susanti- Love All tidak hanya menggambarkan perjuangan seorang Susy Susanti. Susy yang lahir, tumbuh, dan besar pada era Orde Baru ternyata juga membuat film itu bisa memotret suatu masa yang penuh prasangka terhadap etnis Tionghoa. Ironisnya, di sisi lain, justru banyak pahlawan bulu tangkis Indonesia keturunan Tionghoa.
Maka, menonton film ini kita seperti menapaki sejarah bangsa Indonesia. Segregasi sosial pribumi-nonpribumi yang sebenarnya diciptakan penjajah Belanda untuk memecah belah dalam Orde Baru muncul menjadi peraturan negara yang menyesakkan dada. Diawali dengan pedagang asongan yang marah karena Susy kecil (diperankan Moira Tabina Zayn) tidak membeli dagangannya hingga sulitnya mengurus surat bukti kewarganegaraan republik Indonesia (SBKRI) buat mereka yang disebut warga ”keturunan”.
Kesulitan mendapatkan SBKRI tidak hanya dialami para pelatih: Liang Chiushia (diperankan Jenny Zhang) dan Tong Sinfu (diperankan oleh Kin Wah Chew), tetapi juga para pemain, seperti Ivana Lie dan bahkan Susy Susanti. Prestasi Susy sebagai peraih medali emas olimpiade Barcelona 1992 tidak ada harganya ketika berhadapan dengan birokrasi.
Suatu belenggu yang sebenarnya pada masa Presiden Abdurrahman Wahid (1999- 2001) dihapus, tetapi belakangan mengeras dalam bentuk politik identitas yang membelah kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam konteks saat ini, film Susi Susanti-Love All menjadi pengingat bahwa bangsa Indonesia yang beragam suku, agama, ras, dan golongan perlu saling menghargai demi kesejahteraan bersama.
Kerja keras
Teladan lain yang bisa dipetik dari Susy Susanti adalah kerja keras untuk menjadi juara. Melalui Rudy Hartono (diperankan oleh Irwan Chandra) muncul kalimat yang memotivasi saat Susy jenuh berlatih, ”Bakat saja tidak cukup, butuh kerja keras serta kedisiplinan.”
Susy mengenal bulu tangkis pada usia dini, 5 tahun, dan mengasahnya di klub PB Tunas Tasikmalaya hingga menjadi juara tingkat junior. Susy pindah ke Jakarta dan berlatih di PB Jaya Raya saat berusia 14 tahun, 1985.
Bisa dibayangkan betapa berat kehidupannya. Usia muda meninggalkan rumah, tinggal di asrama, dan hidup hanya untuk bulu tangkis dari Senin sampai Sabtu. Pagi berlatih, siang sekolah, dan sore hingga pukul 19.00 berlatih lagi. Kerja keras untuk menjadi juara digambarkan dari mencuci baju sendiri hingga latihan pukulan sampai 500 kok.
Di luar itu, Susy dewasa, yang diperankan Laura Basuki, menjalani pelbagai aturan lain yang tak kalah ketat: dari asupan makan hingga jam istirahat. Sim F, sang sutradara, dengan cerdik menyorot piring Susy dan para atlet dengan menu empat sehat lima sempurna. Sementara jam istirahat—terutama setelah di pelatnas—digambarkan dengan jenaka: Susy yang keluar asrama hingga lewat jam malam terpaksa melompat tembok agar tidak ketahuan.
Bakat yang disertai dengan tekad dan keringat akhirnya memang berbuah lebat. Susy adalah atlet dengan segudang prestasi. Ia juara PON 1993, SEA Games lima kali, World Cup enam kali, All England empat kali, dan masih banyak lagi. Bersama Alan Budikusuma (Dion Wiyoko) yang kemudian menjadi suaminya, Susy menjadi atlet Indonesia pertama peraih medali emas Olimpiade.
Peran ayah
Di balik kesuksesan Susy, penghargaan layak kita sampaikan kepada sang ayah, Risad Haditono. Mantan juara PON bulu tangkis yang tidak bisa lanjut karena cedera lutut adalah sumber inspirasi dan penyemangat Susy.
Lewat ayahnya (diperankan oleh Iszur Muchtar) dijelaskan konsep love all yang menjadi bagian dari judul film. Love all bukan sekadar angka 0-0 yang mengawali skor pertandingan, tetapi juga cinta kepada semua: pelatih, program latihan, saat bertanding, bahkan lawan. ”Kita menjadi hebat karena punya lawan hebat. Kalau kita bisa mengalahkan lawan, berarti kita lebih hebat,” kata Risad dalam bus Sinar Tasik ke Jakarta.
Dalam hal menampilkan kondisi tahun 1970-1990-an, film ini pantas mendapat pujian. Suasana periode itu juga muncul, misalnya, lewat pengendara vespa, lagu yang sedang populer, hingga tarian breakdance yang ”hits” kala itu.
Namun, tak ada gading yang tak retak. Kritik muncul karena ada beberapa fakta yang tidak pas dalam film. Soal MF Siregar yang hadir di Barcelona, misalnya, kenyataannya adalah habis operasi jantung sehingga tidak mungkin berangkat. Siregar bahkan tidak berani melihat pertandingan di televisi.
”Delapan puluh lima persen film itu benar, hanya 15 persen yang diubah supaya menarik secara sinematografi,” jawab Susy ketika ditanya kontroversi ini, Selasa (5/11/2019), di XXI Plaza Senayan. Ia hadir dalam acara ”nonton bareng” bersama Susy Susanti dan Alan Budikusuma.
Petang itu, studio 4 Plaza Senayan dipenuhi mereka yang berusia 40-an, orang- orang yang dulu ikut kecewa menyaksikan Susy kalah dan bersorak kala menang. Mereka umumnya sudah menonton film ini, tetapi ingin ketemu Susy.
”Saya juga sudah nonton di Metropolitan Mall, Bekasi. Ke sini karena pengin dapat tanda tangan lagi di foto Susy yang saya peroleh 30 tahun lalu,” kata Nine Pamela (42), penggemar Susy.
Studio 4 pun menjadi perayaan kebersamaan Susy dan para penggemarnya. ”Terima kasih sudah datang. Semoga menjadi penguat untuk tidak lelah mencintai Indonesia,” ujar Susy.
Terima kasih juga, Susy....