Sejarah sneakers yang digandrungi banyak orang saat ini tak bisa dipisahkan dari penemuan karet vulkanis pada 1893. Di Tanah Air, sneakers pernah mati suri pada 2009 sebelum populer kembali mulai 2015.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
Perhelatan Urban Sneaker Society (USS) 2019 usai Minggu (10/11/2019) malam. Namun, histeria sebagian publik terhadap sepatu atau sneakers tampaknya masih akan berlangsung hingga beberapa waktu ke depan. Sejak populer beberapa tahun lalu, sneakers kini semakin kukuh sebagai aksesori wajib para penyuka mode.
Kelahiran sneakers tidak bisa dipisahkan dari kisah ilmuwan Charles Goodyear yang menemukan karet vulkanis pada 1893. Karet vulkanis dibuat dengan memanaskan karet dan belerang, lalu dicetak dalam cetakan khusus. Selain bisa dicetak ke beragam bentuk sesuai keperluan, karet ini juga lembut dan tahan air.
Goodyear lantas membuat hak paten atas penemuannya beberapa tahun kemudian di Amerika Serikat. Setelah itu ia mendirikan perusahaan ban kendaraan bernama The Goodyear Tire and Rubber Company.
Seiring berjalannya waktu, karet vulkanis digunakan untuk bahan produksi sepatu. Sol berbahan karet vulkanis dinilai punya traksi kuat sehingga cocok untuk olahraga lapangan, misalnya basket dan papan seluncur. Inilah cikal bakal lahirnya sneakers yang mendunia.
Sneakers mulai dijual kepada publik pada abad ke-20. Mengutip Vogue, perusahaan The United States Rubber Company mengembangkan sepatu kanvas bersol karet vulkanis, Keds, yang kemudian dijual pada 1916. Tren sepatu kanvas dilanjutkan oleh Converse dengan meluncurkan sepatu tipe All Star.
Industri sneakers semakin ramai saat Rudolf Dassler dan Adi Dassler bergabung. Keduanya bekerja bersama sebelum akhirnya berpisah dan membuat perusahaan sepatu masing-masing. Rudolf Dassler membuat sepatu Puma, sedangkan Adi Dassler membuat Adidas.
Lambat laun, sneakers tidak lagi dikenakan di lapangan olahraga saja. Publik mulai memadukannya dengan celana dan jaket denim pada tahun 1950-an. Ibaratnya, itulah streetwear anak-anak muda saat itu. Mode tersebut semakin populer setelah dikenakan para figur publik, salah satunya Marilyn Monroe.
Sneakers merupakan barang mode paling trendi di AS kala itu. Orang-orang menyukainya karena nyaman dipakai, modis, dan penggunanya bisa bergerak bebas. Di sisi lain, sepatu melambangkan perlawanan atas cara berpakaian yang mengekang.
Beberapa dekade kemudian, Nike membuat gebrakan dengan menggandeng pebasket Michael Jordan pada 1980-an. Kolaborasi keduanya pun melahirkan sepatu Nike Air Jordan yang digemari hingga sekarang.
Nike bahkan berkolaborasi dengan sejumlah figur dan membuat Nike Air Jordan lainnya. Misalnya, Nike Air Jordan 1 ”Fragment” hasil kolaborasi dengan Hiroshi Fujiwara, seorang musisi, desainer, dan godfather of streetwear asal Jepang.
Pengaruh hip hop
Menjamurnya tren sneakers di Indonesia tidak bisa dipisahkan dari pengaruh musik hip hop. Pasalnya, hip hop bukanlah musik yang berdiri sendiri, melainkan satu kesatuan dengan aspek-aspek yang menyertainya, salah satunya mode.
Sejumlah musisi pun turut berperan dalam tren ini. Beberapa di antaranya ialah Jay Z yang bekerja sama dengan Reebok dan Kanye West bersama Adidas. Kolaborasi West dengan Adidas melahirkan sepatu trendi bernilai jutaan rupiah, yaitu Adidas Yeezy.
Menurut Chief Marketing Officer USS 2019 Jeffry Jouw, tren sneakers di Indonesia dimulai sekitar tahun 2004. Namun, tren itu berkembang secara terbatas di sejumlah kelompok masyarakat saja. Belum banyak informasi seputar sneakers yang beredar di publik kala itu. Tren tersebut eksis hingga akhirnya mati suri pada 2009.
”Sneakers kembali populer sekitar tahun 2015-2016. Semakin banyak masyarakat yang tahu dan mengenakan sneakers. Ini semua pengaruh dari media sosial,” kata Jeffry di Jakarta, Jumat (8/11/2019). Ia merupakan pendiri komunitas Urban Sneaker Society sekaligus influencer seputar mode hypebeast di media sosial.
Tren ini berkembang pesat di Jakarta dan sekitarnya. Antusiasme publik terhadap sepatu bisa dipantau dari perhelatan USS selama empat tahun terakhir. Pada tahun pertama, jumlah pengunjung USS adalah 10.000 orang, tahun kedua 15.000 orang, dan tahun ketiga 22.000 orang. Pada tahun keempat, USS 2019 didatangi oleh lebih dari 50.000 orang dengan nilai transaksi melebihi Rp 20 miliar.
Sementara itu, perkembangan tren sneakers di luar Jakarta dinilai belum signifikan. Kendati demikian, potensi pertumbuhannya sudah tampak. Itu sebabnya, Jeffry dan tim USS berencana menyelenggarakan acara serupa di Surabaya, Jawa Timur, pada 20 Desember 2019.
Saat diwawancara terpisah, mahasiswa asal Surabaya dan penggemar sneakers, Daniel (20), setuju bahwa tren sepatu belum berkembang besar di sana. Komunitas penggemar telah ada, tetapi terbatas.
Harga jutaan
Tren ini dibarengi dengan sorotan publik soal hedonisme dan konsumerisme. Pasalnya, sneakers ternama tidak dijual dengan harga murah. Para sneakerhead—sebutan buat penggemar sepatu—bahkan rela merogoh kocek dalam-dalam dan membayar jutaan rupiah demi sepatu.
Sebagai gambaran, harga eceran sepasang Nike Air Jordan 1 secara umum adalah Rp 2,8 juta-Rp 3 juta. Jika dijual kembali, harganya bisa jauh melampaui itu. Nike Air Jordan dengan ukuran 41-43 (golden size) bahkan bisa dijual kembali seharga Rp 7 juta hingga Rp 8 juta. Di sisi lain, harga jual kembali Nike Air Jordan 1 ”Fragment” yang diproduksi terbatas bisa mencapai Rp 50 juta.
”Banyak yang mau membayar mahal atas dasar kebanggaan. Kalau dianalogikan, sneakers itu seperti jam tangan mewah atau mobil untuk para lelaki. Buat perempuan, sneakers itu ibarat lipstik atau tas. Barang-barang itu bisa memulai pembicaraan dan pertemanan di antara beberapa orang,” kata Jeffry.