Film menjadi medium penting untuk menitipkan pesan moral sekaligus memotret dinamika masyarakat. Film ”Love for Sale 2” membedah problematika rumah tangga dan asmara dengan cara yang manis.
Oleh
Mohammad Hilmi Faiq
·4 menit baca
Ditinggal saat lagi sayang-sayangnya. Tampaknya itu menjadi formula sutradara sekaligus penulis skenario Andibachtiar Yusuf dalam menggarap Love for Sale, baik yang pertama maupun kedua. Formulasi ini efektif mengangkat nilai cerita film.
Pada Love for Sale yang rilis 2018, korbannya adalah Richard (Gading Marten), lajang usia 40-an yang tuna-asmara. Dia tergoda menjadi pelanggan aplikasi Love.inc yang mempertemukannya dengan Arini Kusuma (Della Dartyan). Kehadiran Arini mengguncang sekaligus menghangatkan kehidupan Richard yang dingin. Ketika tengah hangat-hangatnya itu, Arini minggat. Dia seperti setengah jelangkung: datang karena dipesan, pergi tanpa pesan.
Kali ini, dalam Love for Sales 2, korbannya satu keluarga, keluarga Rosmaida (Ratna Riantiarno), janda anak tiga. Cerita berangkat dari Indra Tauhid yang akrab disapa Ican (Adipati Dolken), lajang usia 32 tahun, anak kedua Rosmaida dan satu-satunya yang belum menikah. Sebagai keluarga Minang perantauan, Ros ingin Ican segera menikah. Baginya, lembaga pernikahan akan membuat hidup Ican lebih bahagia.
Namun, tidak demikian dengan Ican. Dia merasa ingin lebih bebas, tapi pada saat yang sama tak ingin mengecewakan ibunya. Dilema itulah yang akhirnya membawa dia memesan pacar gadungan lewat Love.inc. Arini, yang berganti nama menjadi Arini Chaniago, datang ke tengah keluarga Ros dan ditangkap sebagai sumber kebahagiaan keluarga itu, bukan saja untuk Ican.
Della, yang bergelar Miss Photogenic pada Miss ASEAN 2013, memerankan Arini dengan cantik seperti sebelumnya. Siapa pun yang ingin mempunyai senyum indah tampaknya harus belajar dari dia. Sebab, dalam film ini, dia lebih banyak tersenyum daripada berdialog. Senyumnya yang indah itu berhasil menghidupkan mood pada banyak adegan.
Film ini menyuguhkan dinamika dari enam karakter. Selain Ros, Ican, dan Arini, muncul Ndoy (Aryo Wahab) dan Buncun (Bastian Steel), yakni abang dan adik Ican. Lalu istri Ndoy, Maya (Putri Ayudya). Jika dalam Love for Sale cerita berpusat pada Richard dan Arini, kali ini episentrumnya bergeser pada Ros. Lima tokoh lainnya ibarat planet dan bulan yang mengitari Ros sebagai matahari.
Tepat kiranya Andibachtiar mengajak Ratna sebagai Ros. Pengalamannya berteater selama puluhan tahun, terutama dalam Teater Koma yang kini berusia 42 tahun, sungguh sangat membantu. Kematangan akting Ratna menjadi daging film ini. Jika tanpa Ratna, film ini menjadi sangat hambar. Kecuali, Andi melipatgandakan proporsi Adipati Dolken sebagai Ican, yang kebetulan kali ini perannya tidak begitu menonjol meskipun tetap meyakinkan.
Bukan solusi
Andibachtiar mencoba sedekat mungkin dengan realitas, yang dengan demikian film ini mudah menggapai hati penonton. Ciri khas orang Minang yang religius dibawa Andibachtiar ke dalam beberapa adegan, bahkan sampai harus ada kutipan hadis. Bagi beberapa orang, barangkali ini berlebihan karena menjerumuskan film ke dalam khotbah moralitas. Andibachtiar tak cukup menggambarkan religiositas masyarakat Minang lewat simbol dan aktivitas pengajian.
Di balik semua itu, pesan yang amat penting dari film ini justru drama pernikahan. Bahwa pernikahan bukan solusi mencari kebahagiaan. Ketika banyak orangtua dan keluarga dekat memberi tekanan kepada setiap lajang cukup usia untuk menikah, mereka kadang lupa bahwa tidak semua orang bisa bahagia saat menikah.
Dorongan itu justru membuat Ican tertekan, apalagi mengingat syarat yang diajukan ibunya: Minang, cantik, taat beragama, dan sayang mertua. Dalam kehidupan nyata, tekanan seperti ini kerap dialami para lajang cukup usia. Maka, masa-masa ketika ada kesempatan kumpul keluarga besar seperti saat Idul Fitri, Natal, atau reuni keluarga, lajang seperti itu berpeluang besar menjadi korban perundungan oleh orang-orang yang merasa lebih tahu formula hidup bahagia. Padahal, sejatinya, hidup mereka juga tak bahagia.
Yang ironis, kadang para penekan ini tidak pernah melakukan hal yang dia sarankan. Sebutlah Daeng Ibrahim (Yayu Unru) yang ikut-ikutan menekan Ican untuk menikah, sementara dia sendiri melajang sampai tua karena kalah cepat menyatakan cintanya kepada Ros saat muda.
Love for Sale 2 seolah meneguhkan pandangan bahwa menikah bukan satu-satunya cara untuk berbahagia. Film ini menunjukkan dua wajah sekaligus dalam lembaga pernikahan. Kebahagiaan digambarkan lewat keluarga Ndoy. Mereka demikian bahagia menjalani biduk pernikahan meskipun pada awalnya Ros tidak pernah berkenan dengan menantunya yang janda itu.
Sementara lewat keluarga Buncun, Andibachtiar berpesan sebaliknya. Buncun harus menerima kenyataan ditinggalkan istri dan anaknya. Ada pesan ganda di sini. Pertama, pernikahan tidak menjadi bahagia. Kedua, apa pun yang dilakukan serampangan akan berakhir berantakan.
Buncun ditinggal istri dan anaknya saat sedang sayang-sayangnya. Begitu juga dengan Ros dan Ican saat ditinggal Arini.