Bagi penggemar lari, aktivitas ini bukan sekadar olahraga lagi. Sebagian pelari juga membutuhkan gaya saat menjalaninya. Pada kondisi ini, lari tidak bisa dianggap sebagai olahraga murah.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·5 menit baca
Pada dasarnya, pelari yang mau berlari hanya butuh pakaian, sepatu, kaus kaki, dan niat (juga air putih untuk hidrasi). Lari yang semula disebut sebagai olahraga termurah kini berubah gelarnya jadi olahraga mahal. Orang-orang rela membelanjakan uang jutaan rupiah demi performa yang bagus di lintasan.
Coba sesekali tengok akun para pelari atau runners di media sosial. Beberapa menghias feed Instagram dengan gambar yang fokus pada barang tertentu. Ada yang mengunggah foto bertema sepatu lari ternama hingga jam pintar (smart watch) yang menunjukkan catatan waktu terbaik si pelari.
Ada juga yang punya gaya berbeda. Beberapa suka mengunggah foto barang kelengkapan lari (racer pack) yang disusun rapi. Barangnya beragam, seperti jersey, kaus kaki, sepatu, dan nomor peserta atau marathon bib. Ada juga yang menambahkan topi, kacamata, earphone, dan jam pintar di foto.
Unggahan itu jadi menarik bukan hanya karena publik tengah dilanda demam gaya hidup sehat. Publik pun tertarik karena harga barangnya tidak murah. Sebuah jam pintar ”kelas menengah” minimal dijual dengan harga Rp 1 juta. Jam langganan para pelari, seperti Garmin, harganya bisa belasan hingga puluhan juta rupiah. Kendati demikian, sejumlah orang tidak keberatan merogoh kocek dalam-dalam. Itu dilakukan demi kenyamanan, kepercayaan diri, dan kepentingan memperbarui diri dengan teknologi terbaru.
Peserta Borobudur Marathon 2019 Powered by Bank Jateng dari Langsa, Aceh, Helfan (22), mulanya berlari seadanya. Ia mengenakan kaus bola dan sepatu futsal untuk lari. Tidak ada sepatu atau aksesori mahal di badannya.
Setelah menekuni olahraga lari selama empat tahun, perlengkapan olahraga Helfan kini jauh lebih mutakhir. Ada jam tangan Garmin Forerunner 235 di tangan kirinya. Harga jam minimal Rp 3 juta. ”Saya perlu smart watch untuk pantau kecepatan lari supaya stabil. Ini juga bisa mencatat jarak yang sudah ditempuh. Dulu saya lihat waktu lari dengan ponsel. Tapi, lama-lama saya risi dan beralih ke smart watch,” kata Helfan, di Magelang, Jumat (15/11/2019).
Jam itu ia pandang sebagai barang multifungsi. Selain memantau waktu tempuh lari, ia juga bisa mengecek jumlah kalori yang terbakar dan kadar hidrasi tubuh. Masih ada sejumlah fitur lain di jam tersebut. Namun, Helfan belum mengulik semua fitur yang ada.
Manfaat smart watch juga dirasakan Ade Novita (43), peserta Borobudur Marathon 2019 dari Tangerang. Fitur di jam Garmin Fenix 5X miliknya menyediakan program latihan lari berjenjang. Program itu membantunya berlatih dengan teknik yang terarah.
”Dulu, saya berlari kencang hingga bisa naik ke podium di ajang maraton, tetapi selalu berakhir kelelahan. Saya pakai jam ini supaya bisa pantau detak jantung dan aspek kesehatan lain. Ini membuat saya lari sesuai dengan kemampuan tubuh,” kata Ade.
Ade mengatakan, mengenakan smart watch untuk olahraga sudah jadi satu dengan gaya hidupnya sebagai pelari. Jam pintar dengan harga jutaan tidak hanya fungsional, tetapi juga estetik layaknya fashion statement. Di sisi lain, jam yang sedikitnya berharga Rp 6 juta itu juga ia nilai sebagai investasi.
Para pelari pun tidak sedikit yang menggemari jam pintar. Sejumlah pelari tampak mengenakan jam pintar saat mengambil race pack beberapa hari sebelum Borobudur Marathon 2019, seperti Garmin dan Suunto. Apabila dihitung, jumlah pemakainya mungkin puluhan hingga ratusan.
Stan Garmin di Borobudur Marathon 2019 Expo pun acap kali didatangi para pelari penyuka jam pintar. Dalam dua hari pertama stan dibuka, sedikitnya ada delapan jam yang terjual. ”Kebanyakan pembeli sudah punya jam pintar. Mereka datang untuk membeli jam model baru,” kata salah seorang penjaga stan.
Helfan tidak setuju dengan pernyataan ”lari adalah olahraga termurah”. Menurut dia, lari menjadi mahal karena industri mode olahraga berkembang. Ini sejalan dengan berkembangnya minat publik terhadap gaya hidup sehat nan trendi. ”Sekalinya terjun ke dunia itu (lari), pasti ada keinginan untuk memperbarui barang-barang. Itu yang membuat lari jadi olahraga mahal,” katanya.
Mulanya, ia memandang lari sebagai olahraga yang sederhana. Ia berlari apa adanya dengan kaus bola dan sepatu futsal. Setelah mendapat rekomendasi busana olahraga yang nyaman dari komunitas lari, ia perlahan membeli barang-barang baru.
Sementara itu, peserta Borobudur Marathon 2019 asal Langsa, Aceh, Arifa (27), setuju bahwa lari bukan olahraga murah. Ada dorongan untuk membeli barang-barang baru, seperti sepatu, pakaian, kaus kaki, dan kacamata hitam. Selain menunjang kenyamanan tubuh saat lari, barang itu pun memompa kepercayaan dirinya di lintasan lari. ”Sebagai pelari, saya sebenarnya juga perlu jam pintar. Tapi, saya tahan keinginan beli jam karena belum perlu. Sejauh ini saya masih bisa pantau waktu tempuh di ponsel,” kata Arifa.
Selain busana dan jam, pelari juga harus pintar-pintar menyusun anggaran beli sepatu. Sepatu tidak cukup dibeli sekali. Para pelari dianjurkan mengganti sepatu yang telah dipakai berlari sejauh 600-700 kilometer. Sepatu tersebut harus diganti karena solnya menipis. Apabila tetap nekat dipakai berlari, apalagi untuk maraton atau lomba, kemungkinan pelari mengalami cedera pun jadi tinggi.
Selama empat tahun berlari, Arifa telah mengganti sepatu larinya lima kali. Harga rata-rata sepatunya ialah Rp 2 juta. Ia pun berpikir untuk menyisihkan uang dan membuat anggaran khusus agar hobi larinya tetap terakomodasi. ”Di tahun-tahun awal mulai lari, saya selalu membeli barang-barang terbaru yang ada di pasar. Tapi, itu pemborosan. Lebih baik uangnya dialokasikan untuk ikut event maraton. Uang transportasi dan akomodasi harus disiapkan karena saya berasal dari daerah,” katanya.
Di sisi lain, pelari Riefa Istamar tidak sepenuhnya setuju bahwa olahraga lari itu mahal. Menurut dia, segala jenis dan merek pakaian, kaus kaki, dan sepatu bisa digunakan untuk berlari. Pakaian tersebut pun tidak harus baru. ”Selama semua itu nyaman, kita bisa pakai untuk lari. Sebenarnya, lari itu olahraga yang murah. Tapi, manusia kadang banyak maunya dan membuat olahraga ini jadi tidak murah lagi,” kata Riefa.
Ia menyarankan agar para pelari tidak membandingkan barang-barang yang melekat di tubuhnya dengan pelari lain. Pasalnya, kebutuhan setiap pelari terhadap kenyamanan suatu barang berbeda. Ukuran setiap orang terhadap barang mahal dan murah pun berbeda.
Ia menambahkan, ada beberapa pelari yang mau membayar lebih demi mendapat sesuatu yang lebih. Misalnya, sepatu lari yang ringan, sesuai bentuk kaki, dan punya teknologi khusus pasti lebih mahal dibandingkan dengan sepatu biasa. Jam pintar juga menyediakan beragam fitur canggih, tetapi konsekuensinya adalah pelari harus rela membayar mahal. ”Tidak semua pelari harus pakai jam. Pakai aplikasi di ponsel bisa, kok. Semua bisa diakalin sebagai pilihan alternatif,” katanya.