Nikmat di Lopintol
Kampung Lopintol di Distrik Teluk Mayalibit, Papua Barat, tak hanya memanjakan mata dengan pemandangan indah. Suguhan-suguhannya juga menerbitkan selera.
Berbagai hidangan berbahan dasar sagu hasil olahan para mama memberikan pengalaman kuliner mengesankan.
Hidangan berbahan dasar sagu itu berpadu nikmat dengan olahan kerang dan ikan bakar hasil ’balobe’ warga kampung. Tak ketinggalan, hidangan dilengkapi sambal colo-colo. Hmm… yummy..
Festival Pesona Bahari Raja Ampat, yang berlangsung 18-22 Oktober 2019, mengantar para peserta sampai ke Kampung Lopintol. Kampung yang dihuni 54 keluarga mayoritas Muslim hasil kawin-mawin suku Jawa dan suku-suku dari Sulawesi itu dapat dicapai dengan sekitar 1,5 jam perjalanan perahu cepat dari Waisai, ibu kota Papua Barat.
Sepanjang perjalanan di pagi yang mendung menuju kawasan Teluk Mayalibit, peserta ’puas’ diguncang-guncang ombak laut yang meninggi dengan hujan cukup deras. Beruntung, menjelang tiba di Lopintol, cuaca kembali cerah, mengembalikan keindahan Raja Ampat yang permai.
Seusai menikmati tari Salawaku dan suling tambur, hidangan lezat yang dipersiapkan para mama pun menanti para peserta festival. ”Semua khas Papua, dipersiapkan warga satu kampung untuk melayani ibu saja,” tutur Hanafi (38), warga asli Lopintol.
Di jajaran makanan berbahan sagu, ada camilan gani nu (sagu bakar) yang bercita rasa manis karena penggunaan gula aren. Gani nu dibuat dengan cetakan tanah liat yang disebut aba na atau forno. Bentuknya kotak dengan cekungan atau lubang-lubang di sisi kanan dan kiri saling berhadapan, masing-masing berjumlah 5 lubang.
Untuk membuatnya, sagu basah yang telah dikeringkan, ditapis dengan saringan, kemudian dicampur kelapa parut. Adonan lalu diletakkan dalam lubang-lubang forno yang sudah lebih dulu dipanaskan dan dilap kain basah.
Adonan kemudian ditambahi serutan gula aren. Setelah mengeras, sagu bakar diangkat menggunakan gata-gata atau penjepit dari kayu.
Ada juga baha-baha (sagu dadar) yang bahannya sama dengan sagu bakar, tetapi dibuat dengan cara lebih sederhana. Seperti mendadar telur di atas wajan pemanggang. Bedanya, sagu dadar rasanya lebih berani. Gula arennya lebih terasa menggigit.
Olahan Bia
Sebagai menu utama, ada papeda yang berpasangan dengan ikan kuah kuning. Selain cocok disantap bersama ikan kuah kuning, papeda juga pas disandingkan dengan sayuran pakis, daun melinjo, dan bunga pepaya.
Sebagai pilihan, juga disediakan sayur pakis santan bia dara, juga a gele. A gele ini adalah berbagai jenis dedaunan—seperti daun patatas, daun pepaya dan daun gedi—yang dimasak dengan cara direbus seperti lalapan khas Pulau Jawa. Lalu, disantap dengan sambal terasi.
Di jajaran lauk, ada habo kon (sagu bia kodok), kuliner tradisional berbahan sagu yang dicampur daging bia (kerang) kodok, dicetak menggunakan cangkang bia, sehingga bentuknya menyerupai bia kodok. Bia kodok adalah kerang besar yang cangkangnya berwarna hitam, berbentuk nyaris bulat, banyak ditemukan di kawasan mangrove.
Cara pembuatannya relatif mudah. Daging bia kodok rebus dicampur adonan sagu kering, kelapa parut, bawang merah, cabai, ketumbar, garam, serta gula merah. Setelah itu adonan dimasukkan ke dalam cetakan yang sudah dibersihkan, lalu dipanggang sampai matang. Habo kon bercita rasa gurih - asin.
Ada menu bia lainnya, yaitu sate bia dara yang disandingkan dengan bumbu kacang seperti halnya orang Jawa menikmati sate ayam. Teksturnya kenyal, namun empuk, dengan bumbu bawang putih dan ketumbar yang kuat.
Menurut Mama Mol dari Kampung Maruway yang hari itu didaulat menjadi salah satu koki di Lopintol, bia dara agak sulit ditemukan di Lopintol. Karena itu, secara khusus dia membawa bia dara dari kampungnya yang berjarak 1-1,5 jam dari Lopintol.
”Sate bia dara ini enak sekali. Resep tradisional Raja Ampat,” katanya. Meski lezat, perlu berhati-hati mengonsumsi sate bia dara karena bila terlalu berlebihan kandungan vitamin B 12 pada bia bisa menimbulkan efek ruam dan gatal-gatal pada kulit bahkan diare.
Ikan bakar
Menu lain yang tak boleh dilewatkan adalah ikan bakar. Salah satu andalan Lopintol adalah ikan kembung yang oleh masyarakat setempat disebut ikan lema.
Uniknya, ikan lema tidak diperoleh dengan cara dipancing, tetapi dengan cara menggiringnya menggunakan cahaya lampu petromaks. Masyarakat Lopintol menyebutnya dengan istilah balobe, yaitu memancing ikan dengan menggunakan lampu yang sangat terang. ”Biasanya tengah malam,” ujar Hanafi.
Sebelum dibakar, ikan lema dibersihkan dari sisiknya. Bagian dalamnya juga dikeluarkan, lalu dicuci bersih dengan air mengalir. Setelah itu ikan dikucuri perasan lemon dan dilumuri garam, lalu diletakkan di atas api bara yang menyala.
Ikan kemudian diolesi dengan bumbu, terdiri dari bawang merah, kecap dan garam. Api untuk membakar harus dijaga tetap stabil agar ikan matang sempurna. Daging ikan lema segar yang matang sempurna terasa manis serta pulen. Ada juga ikan kerapu dan kakap merah bakar yang tak kalah sedap.
Hari itu, ikan bakar disantap dengan sambal colo-colo dan perasan jeruk nipis. Sambal yang konon berasal dari Sulawesi itu, kini juga ditemukan di Papua. Bahannya berupa bawang merah, cabai rawit merah, cabai rawit hijau, dan tomat yang diiris, lalu ditambahkan kecap manis dan perasan jeruk nipis.
Selain pas sebagai teman santap ikan bakar, sambal ini juga pas disantap bersama tumis kangkung bunga pepaya, udang asam manis, ikan masak kuah kuning, dan olahan seafood lainnya. Sedapnya....
Selain ikan lema, Lopintol adalah penghasil berbagai jenis ikan seperti bubara, kakap merah, kerapu, hingga tenggiri yang sebagian diolah menjadi stik ikan.
Sebagai penutup, ada hidangan bernama talobod atau pisang kukus santan. Rasanya manis, gurih dan wangi karena penggunaan daun pandan. Sebagai pengusir haus, ada minuman cendol sagu yang menyegarkan.
Hari itu, peserta juga penasaran menikmati ulat sagu yang disediakan. Ulat sagu didapat dari larva kumbang merah kelapa jenis Rhynchophorus ferrugineus (red palm weevil) yang hidup di batang sagu yang membusuk. Selain dimakan hidup-hidup, ulat sagu juga bisa dibakar atau dijadikan sate. Teksturnya kenyal.
”Kalau banyak turis ke sini, kami senang karena kami jarang dikunjungi. Padahal, sebenarnya banyak spot wisata di dekat sini,” kata Hanafi.
Yuk, pelesir ke Lopintol!