Saat ”Om-om” Metal Bersatu
Petir musik Loudness menyambar para penikmat heavy metal era 1980-1990-an, bereaksi ke tubuh, memanggil memori musik masa lalu.
Di Hard Rock Cafe Jakarta gemuruh menggelegar saat legenda musik heavy metal dari Jepang, Loudness, menggelar konser ”Thunder in the East”. Petir musik Loudness menyambar para penikmat heavy metal era 1980-1990-an, bereaksi ke tubuh, memanggil memori musik masa lalu.
Konser band Loudness, Selasa (12/11/2019), menjadi ajang reuni penikmat musik metal zaman dahulu. Sejak sore, puluhan metalhead senior dari Jakarta dan luar kota bergerombol di depan pintu masuk Hard Rock Cafe. Hampir semua adalah pria paruh baya yang pas dipanggil ”om”.
Penampilan mereka bersih, rapi, dan wangi. Biar lebih sah sebagai ”anak metal”, mereka memakai kaus hitam bergambar band-band rock atau metal era tahun 1980-an, seperti Manowar, Dokken, Queensryche, Slaughter, Rush, dan band sejuta umat, Metallica. Beberapa sengaja membeli kaus resmi khusus konser Loudness Thunder in the East. Ada juga yang salah kostum, mengenakan batik. Mungkin dia tak sempat berganti baju seusai kerja.
Loudness adalah simbol kejayaan musik heavy metal Asia sekaligus kebanggaan warga sisi timur dunia era 1980-an. Ketika itu, musik glam rock menjadi tren. Para musisi glam rock ini gondrong, merias wajah, menata rambut. Loudness menjadi pendatang yang mengejutkan.
Biar lebih sah sebagai ”anak metal”, mereka memakai kaus hitam bergambar band-band rock atau metal era tahun 1980-an.
Loudness tampil satir dengan dandanan mirip para personel band Poison atau Motley Crue. Hanya, musik mereka lebih kencang. Modal utama Loudness adalah permainan atraktif gitaris Akira Takasaki serta suara melengking dan jernih dari vokalis Minoru Niihara.
Musik Loudness gampang menyelip di antara musik-musik rock yang diputar di radio-radio. Kala itu, lagu ”Let It Go” sangat populer hingga jadi lagu wajib yang harus dimainkan dalam beberapa kompetisi band metal di Indonesia.
Bagi penggemar metal era 1980-an, di antara Led Zeppelin dan band lokal seperti Elpamas atau Power Metal, selalu ada Loudness di tengah-tengahnya. Sepanjang karier selama hampir 30 tahun, Loudness merilis total 30 album (beberapa di antaranya dirilis dalam versi bahasa Jepang dan versi bahasa Inggris). Terakhir, mereka merilis album Rise To Glory (2018).
Nama konser Loudness, Thunder in the East diambil dari judul album kelima mereka yang dirilis 1985. Kata Thunder dan East jelas mewakili jati diri mereka.
Setelah berganti-ganti formasi band, sejak 2000 Loudness tampil solid dengan personel Akira Takasaki (gitar), Minoru Niihara (vokal), Masayoshi Yamashita (bas), dan Masayuki Suzuki (drum). Masayuki Suzuki menggantikan posisi drumer Munetaka Higuchi yang meninggal karena kanker hati pada 2008.
Menua, tetapi muda
Dulu Loudness tampil di depan puluhan ribu penonton yang memenuhi stadion tempat konser. Kini Loudness tampil lebih intim di tempat konser dengan jumlah penonton terbatas, seperti gedung pertunjukan dan kafe-kafe. Di Indonesia, Loudness manggung di Hard Rock Cafe Jakarta dan Hard Rock Cafe Bali. Masayuki Suzuki, yang masih dalam masa penyembuhan penyakit stroke ringan, diganti drumer tur Ryuichi Nishida.
Tepat pukul 21.00, Loudness naik panggung. Penonton merapat ke depan, sebagian di antaranya memilih tetap duduk di kursi bar sambil menyeruput minuman. Minoru melambaikan tangan dan musik langsung dimainkan. Lagu pertama, ”Soul on Fire” terbukti membakar jiwa-jiwa yang rindu pertunjukan musik cadas.
Loudness bukan lagi remaja usia dua puluhan yang menaklukkan musik dunia. Kini mereka adalah para pemusik paruh baya, meski tetap berjiwa muda. Akira Takasaki (58) yang selalu dan selamanya menjadi maskot Loudness tampil setia dengan rambut gondrong acak-acakan dan jenggot disemir blonde serta topi bisbol.
Masayoshi Yamashita (57) tampil santai dengan kaus hitam dipadu dengan sneakers Diesel putih. Ryuichi Nishida (55) yang berpostur tinggi tampil dengan ikat kepala layaknya ksatria Jepang.
Maafkan bahasa Inggris saya… yang penting kalian mudeng, kan?
Minoru Niihara (59) tidak melawan fakta bahwa dia sudah menua. Meski tampil dengan jaket denim hitam yang lengannya dipotong dan celana panjang beraksesori logam, secara fisik dia kurang cocok menjadi orang terdepan di sebuah band heavy metal. Tanpa rambut gondrong masa lalu—kini ia tampil cepak—Minoru terlihat seperti om-om ekspatriat Jepang yang bekerja di perkantoran elite Jakarta.
”Maafkan bahasa Inggris saya… yang penting kalian mudeng, kan?” Kata Minoru Niihara seusai mengakhiri lagu kedua.
Minoru lalu berteriak mengajak penonton bersiap-siap menggila. Penonton girang karena tahu sebentar lagi salah satu lagu terbaik Loudness akan dimainkan. Akira Takasaki lalu memainkan intro lagu ”Crazy Nights”, salah satu lagu andalan di album Thunder in the East.
Penonton mengangkat dan mengepalkan tangan. Selanjutnya, paduan suara ”hey, hey, hey” bersahutan mengawali lagu. Emosi penonton terbakar dalam gerakan terkontrol. Jika terlalu bersemangat jingkrak-jingkrak, bisa-bisa pegal linu esok hari.
Sebagian terus mengangkat tangan di depan panggung, tetapi ada juga yang diam berdiri di pinggiran, sambil meletakkan plastik belanjaan di kakinya. Yang jelas, kepala mereka sama mengangguk-angguk sepanjang konser.
Tiga puluh menit pertama pertunjukan, pononton menyaksikan bagaimana energi dahsyat terbentuk dari lagu-lagu yang dimainkan, seperti”I’m Still Alive” (album Rise to Glory), ”Like Hell” dan ”Heavy Chains” (Thunder in the East).
”Ngeteh” dulu
Akira Takasaki yang mulai panas kian liar memainkan jari-jari di gitar Killer KG-Prime Signature 8118 warna hijau favoritnya. Lengkingan vokal Minoru Niihara yang terjaga sepanjang pertunjukan adalah harta karun tak ternilai bagi Loudness. Pada usia menjelang 60 tahun, suaranya belum kendur. Meski begitu, untuk menjaga pita suaranya, di sela-sela lagu Minoru menyempatkan minum teh hangat dan teh lemon hangat yang disediakan pramusaji.
Loudness membuat jeda dengan menampilkan solo drum Ryuichi Nishida. Sandy, drummer grup Pas Band tidak mengalihkan pandangan menyaksikan solo drum tersebut. Aplaus penonton menggema ketika Ryuichi menyelesaikan aksi panggungnya.
Ini benar-benar malam yang gila, setidaknya seperti yang dinyanyikan oleh Loudness...
Seusai jeda, Loudness mengerem laju dengan lagu balada sepanjang masa mereka, yaitu ”In My Dreams”, kemudian disusul ”So Lonely” (keduanya dari album Hurricane Eyes). Tanpa ada komando, koor berjemaah melantunkan bait per bait menemani Minoru bernyanyi.
Konser selama 1 jam 31 menit itu diakhiri dengan encore lagu”In The Mirror” dan ”S.I.D”. Malam itu, para om bersatu dan bernostalgia memanggil kenangan masa lalu yang menyenangkan.
Ini benar-benar malam yang gila, setidaknya seperti yang dinyanyikan oleh Loudness… Rock and Roll Crazy Night!.