Dwi Koen, Si Kartunis Lucu nan Berani
Nama almarhum Dwi Koendoro Brotoatmojo tidak hanya terkemuka sebagai kartunis. Ia juga dikenal sebagai ”bapaknya” Panji Koming, tokoh komik yang ia ciptakan.
Nama almarhum Dwi Koendoro Brotoatmojo tidak hanya terkemuka sebagai kartunis. Ia juga dikenal sebagai ”bapaknya” Panji Koming, tokoh komik yang ia ciptakan. Bertahun-tahun Dwi Koen menyoal bangsa lewat komik. Selama itu pula ia menyisipkan humor dan nyali dalam setiap goresan pena.
”Damainya bumi ini…. Ambooi,” kata Pailul, abdi dalem bertubuh kurus sambil bersantai di alam terbuka. Di sampingnya ada Panji Koming yang sedang bersantap siang.
Kedamaian itu tidak bertahan lama saat seorang priayi datang bersama bawahannya. Sang priayi berkata, ”…Kekayaan alam! Kita tebas hutan! Kita gali tanah di sini… Kita sedot panas perut bumi!”
Pailul pun cepat-cepat menarik Panji dan berlari menjauh. Ia lalu menyuruh Panji untuk menggali tanah bersama-sama. Panji yang tidak paham dengan sikap Pailul memilih patuh.
Keduanya membuat lubang yang cukup dalam. Mereka lalu selonjoran di dalam lubang dan kembali bersantai. ”Siul burung… Desah angin membelai…,” kata Pailul.
”Dengkulmu, Lul!” kata Panji memotong ucapan Pailul.
Komik tadi terbit di harian Kompas edisi 23 Desember 1984. Cerita tersebut menyentil eksploitasi alam yang dilakukan para ”priayi” bangsa. Rakyat biasa seperti Pailul dan Panji bisa apa? Ya, hanya bisa tergusur dan merelakan alamnya diambil alih, lalu rusak.
Kisah itu hanya satu dari 1.920 edisi Panji Koming yang dibuat Dwi Koen. Panji Koming pertama dimuat di Kompas pada 14 Oktober 1979, lalu berjalan terus hingga 2019. Komik strip legendaris tersebut tak lagi menghiasi lembar koran setelah Dwi Koen berpulang pada 22 November 2019 karena sakit stroke.
Baca juga : Kartunis ”Panji Koming” Berpulang
Panji Koming dibuat dengan mengambil latar Kerajaan Majapahit. Masa itu dinilai sesuai dengan kondisi politik Indonesia saat komik dibuat. Permasalahan bangsa terkini disentil secara kritis melalui komik, khususnya kritik terhadap penguasa.
Dwi Koen tidak segan menyampaikan gagasan yang tergolong ”berani” melalui Panji Koming. Padahal, ia hidup di masa Orde Baru, masa ketika kritik terhadap pemerintah adalah tabu. Ia membalut kritik pedasnya secara rapi, santun, kadang dengan nelangsa, dan kerap dengan humor yang mengocok perut.
Panji Koming edisi 27 Januari 1985 adalah ekspresi gemas Dwi Koen terhadap para ”priayi negara”. Candi Borobudur baru saja dibom kala itu dan menghancurkan sembilan stupa. Namun, para priayi tampak tak terganggu dengan peristiwa tersebut.
”Jagad Dewa Batara…,” tangis Panji sambil memeluk sisa patung yang hancur. Di sebelahnya ada Pailul yang marah-marah. ”Terkutuk banget manusia yang bikin remuk patung ini!”
Tak lama kemudian, seorang priayi yang dipanggil Denmas menghampiri mereka. Katanya, ”Masih untung nggak rusak berat.”
”…Berantakan begini, Denmas….”
”Masih untung bisa disusun kembali.”
Denmas pun berpaling dan berjalan menjauh sambil ”bersyukur” soal patung yang rusak. Ia tidak sadar akan patung batu di hadapannya saat berpaling. Wajah Denmas pun menghantam patung dengan keras hingga jatuh terduduk.
”Masih untung bukan patungnya yang ringsek… Sebab, kalau patungnya, banyak orang yang bakal kesakitan berabad-abad pula,” kata Pailul.
Penghakiman
Menurut kurator Bentara Budaya Jakarta, Efix Mulyadi, Dwi Koen kerap menyisipkan penghakiman moral (moral judgment) di akhir kolom komik. Penghakiman itu berupa kesialan yang dialami tokoh penguasa, seperti digigit Kirik si anjing atau kejatuhan buah kelapa. Dwi Koen ia nilai sebagai orang yang berani karena tak segan mengkritik dan menyentil pejabat.
”Panji Koming memakai cara-cara cerdik sejak awal. Sesungguhnya Dwi Koen meneruskan konsep Panakawan pada wayang. Dalam hal ini, rakyatlah yang paling punya hak untuk berpendapat, hingga mengamati perilaku petinggi,” katanya pada acara Bincang-bincang Menyoal Panji ”Dwi Koen” Koming, di Jakarta, Jumat (22/11/2019).
Acara tersebut merupakan bagian dari pameran ”Komedi Priyayi Panji Koming Karya Dwi Koendoro”. Pameran digelar di Bentara Budaya pada 19-24 November 2019.
Baca juga : 40 Tahun Menggelitik Indonesia
Menurut dia, Panji Koming mewakili kegundahan pembaca yang tidak bisa bersuara. Makna Panji Koming tidak lagi sebatas sastra mingguan bagi pembaca. Komik itu mewadahi gagasan Dwi Koen yang kemudian menjadi gagasan kolektif publik.
Keberanian Dwi Koen didukung oleh kekuatan karakter-karakter ciptaannya. Selain Panji Koming dan Pailul, ada lagi Denmas Aryakendor, Bujel, Nimas Dyah Gembil, dan Ni Woro Ciblon, dan Dukun. Masing-masing punya peran untuk mengemas gagasan Dwi Koen menjadi cerita yang santun, bisa dicerna pembaca, dan tentu tidak menyinggung penguasa otoriter.
”Komik ini berhasil karena pemenuhan tiga aspek, yaitu karakter, karakter, dan karakter. Panji Koming adalah salah satu masterpiece Dwi Koen,” kata Efix.
Berubah
Setelah berpuluh tahun, Panji Koming mengubah pakem penyampaian cerita saat masa Orde Baru usai. Menurut kartunis dan dosen desain komunikasi visual Institut Kesenian Jakarta (IKJ), Beng Rahadian, Dwi Koen menggambar sejumlah tokoh politik secara lebih jelas. Sebelumnya, Dwi Koen menggambarkan mereka melalui tokoh lain yang ia ciptakan.
”Ada kegamangan (dari Dwi Koen) karena dunia berubah begitu cepat. (Industri) Kartun begitu terbuka di era Reformasi. Saya pikir, Pak Dwi Koen ingin Panji Koming berada di perkembangan zaman tersebut,” kata Beng.
Perubahan itu sempat dinilai mengecewakan oleh generasi muda. Sebab, penggambaran tokoh secara jelas membuat Panji Koming sama dengan komik-komik lain. Kendati demikian, ia menilai, Panji Koming adalah satu-satunya komik yang kental akan aspek Nusantara. Ia belum menemukan komik lain dengan padanan serupa.
Menurut dia, Dwi Koen tidak hanya punya kemampuan mumpuni untuk menggambar. Ia juga punya keterampilan untuk menyampaikan cerita berlapis dengan sederhana, tetapi tidak menihilkan kedalaman gagasan. Dengan kedalamannya, Panji Koming mampu membuat pembaca memikirkan cerita tersebut untuk waktu yang lama. Komik pun jadi punya makna.
Komik bermakna, menurut Beng, makin sulit ditemukan di era digitalisasi. Absurditas komik masa kini dinilai lebih ”sederhana”. Dalam sekali baca, pesan dalam komik tersebut mudah terlupa. Tidak ada hari esok untuk memikirkan ulang makna pada komik.
”Pak Dwi Koen bukan hanya role model untuk menggambar, tapi juga bertutur. Story telling adalah hal yang penting untuk menyampaikan makna komik. Ia punya semuanya dan bisa menyampaikan pesannya dengan baik melalui gambar yang baik,” ujar Beng.