Konten Digital Kian Kenyal
Sutradara Andi Bachtiar Yusuf tampak santai mengenakan kaus oblong dan celana bermuda warna merah jambu di salah satu mal di kawasan Pondok Labu, Jakarta Selatan, Senin (18/11/2019) siang. Sesekali dia berkomunikasi dengan beberapa kru film untuk bersiap memulai pengambilan gambar hari terakhir di lokasi itu. Sudah sekitar 20 hari rumah produksi Capo Dei Capi miliknya melakukan kegiatan ”shooting” di sana.
Mereka terikat kontrak kerja sama menggarap musim pertama satu judul serial daring, Star Stealer, yang akan ditayangkan sebanyak 10 episode berdurasi masing-masing sekitar 30 menit di platform Viu. Platform Viu selama ini sangat tenar di kalangan penggila film-film asal Negeri Ginseng Korea Selatan.
”Sekarang lagi banyak tawaran kerja sama menggarap web series. Selain diajak, gue juga bisa mengajukan pitching (naskah) ke perusahaan jasa video streaming, yang jumlahnya juga sekarang terus bertambah,” ujar Yusuf. ”Secara bisnis lumayanlah. Kalau setahun gue bisa garap lima judul (web series) aja, sudah enak banget, tuh.”
Sementara itu, produser, sutradara, dan penulis naskah film Salman Aristo juga tengah sibuk dengan garapannya. Perusahaan pengembang naskah cerita dan konten film berbasis riset, Wahana Kreator Nusantara, yang dia dirikan kini tengah didapuk bekerja sama dengan pemain baru penyedia jasa tontonan streaming.
Bersama sang istri, Gina S Noer, Salman memproduseri 10 episode serial web orisinal (original webseries) bergenre komedi keluarga, Saiyo Sakato. Menurut rencana, serial daring itu akan tayang di platform GoPlay. Dua sutradara dilibatkan dalam pembuatan serial, yang saat ini sudah masuk tahap pascaproduksi.
GoPlay adalah bisnis penyedia jasa tayangan konten digital, kerap disebut Over-The-Top (OTT), yang baru beberapa bulan lalu diluncurkan Gojek. Pasar Indonesia saat ini tengah dibanjiri kehadiran beragam jenis OTT, seperti Netflix (Amerika Serikat) dan Iflix dari Malaysia.
Selain itu, juga ada Maxstream milik Telkomsel serta HOOQ yang banyak menayangkan film Indonesia. Konglomerat media Tanah Air, MNC, juga dikabarkan baru menandatangani kerja sama dengan platform video streaming iQiyi milik perusahaan internet raksasa Baidu asal China.
Di luar negeri, pemain-pemain raksasa macam perusahaan jasa hiburan dan film Disney, November nanti, bakal merilis OTT-nya sendiri, Disney+. Tak ketinggalan perusahaan raksasa produsen gawai Apple, dengan Apple TV+.
”Kebutuhan akan konten sekarang ini lagi tinggi-tingginya. Apalagi, ibaratnya sekarang hampir setiap hari ada OTT baru. Tak sekadar konten, mereka juga butuh film-film lokal berkualitas tinggi,” ujar Salman.
Pihak OTT tak jarang meluncurkan produk tayangan terbaru mereka langsung satu musim, rata-rata terdiri dari 10-13 episode. Akibatnya, para pengguna jasa layanan dapat menonton langsung keseluruhan episode di satu musim sesaat setelah diluncurkan tanpa terputus (binge watching).
Mereka tak harus menunggu lama untuk mengetahui kelanjutan cerita sebagaimana saat menonton serial di televisi. Jika dalam episode awal jalan cerita terasa tak menarik, penonton bisa beralih ke serial lain. Kelebihan lainnya, orang bisa menikmati film di mana dan kapan saja lewat streaming online dari gawai sendiri.
Lebih lanjut, secara hitung-hitungan bisnis, baik Salman maupun Yusuf merasa rumah-rumah produksi mereka jauh lebih terjamin secara finansial. Hal itu lantaran pembiayaan lebih pasti. Mereka bisa mengambil margin keuntungan 15-20 persen. Bisnis konten digital ini makin kenyal.
”Jadi, bentuknya seperti komisi. Kalaupun harus menalangi, gue berani cari pinjaman dulu, termasuk ke bank. Jaminannya, kan, lebih jelas. Ada kontrak kerja dan kepastian produk filmnya akan ditayangkan di mana. Berbeda dengan film bioskop, setelah jadi kita, kan, enggak tahu berapa banyak orang akan datang menonton,” papar Yusuf.
Pendapat senada disampaikan sutradara film Keluarga Cemara, Yandy Laurens. Kondisi seperti itu bisa menjadi pilihan terbaik untuk berkarya saat ini. Belum lagi film yang diproduksi bioskop juga masih bisa dibeli hak tayang atau siarnya oleh OTT setelah selesai diputar di bioskop. Hal itu tentu saja menjadi pendapatan ekstra, terutama bagi para produsen film.
Jangkau mancanegara
Karya-karya film, baik serial web maupun film orisinal, juga bisa ditayangkan ke konsumen atau penonton pelanggan OTT di luar negeri.
”Kami tak menyangka web series orisinal pertama kami, Switch, sangat diminati penonton di negara-negara Timur Tengah seperti Arab Saudi. Serial Halustik terkenal di Hong Kong, Malaysia, dan Singapura,” ujar Country Manager Viu di Indonesia, Varun Mehta.
Serial daring orisinal Switch dirilis Agustus 2017, hasil kerja sama Viu dengan sutradara Nia Dinata dan sejumlah penulis naskah baru, yang diseleksi dalam program tahunan ”Pitching Forum Viu”. Viu sendiri dioperasikan PCCW Media Group dan tersedia di 17 pasar dunia.
Selain Indonesia, Hong Kong, Singapura, Malaysia, dan Arab Saudi, Viu juga tersedia di pasar OTT India, Filipina, Thailand, Myanmar, Afrika Selatan, serta sejumlah negara Timur Tengah lain macam Uni Emirat Arab, Mesir, Bahrain, Irak, Jordania, Kuwait, Oman, dan Qatar.
Baru-baru ini, tiga serial web orisinal Viu di Indonesia, yaitu Knock Out Girl, Halustik, Running Girl, memenangi sejumlah kategori penghargaan di Asian Academy Creative Awards di Singapura. Varun menambahkan, salah satu syarat agar satu konten diterima para penontonnya, bahkan di luar negeri, adalah faktor cerita yang kuat.
”Ketertontonan (viewership) ditentukan biasanya di tiga menit pertama. Dari situ kemudian seseorang memutuskan apakah drop off atau lanjut sampai semua episode. Semua kami pelajari,” ujarnya.
Sementara itu, Netflix juga telah memproduksi dan menayangkan original movie pertamanya dari Indonesia, The Night Comes for Us. Film orisinal Netflix di Indonesia yang pertama itu disutradarai Timo Tjahjanto. Beberapa pemain Indonesia terlibat, seperti Iko Uwais, Joe Taslim, Hannah Al Rashid, dan Dian Sastrowardoyo.
Menurut Raphael Phang, Manager Content Acquisition Netflix, film itu juga mendapat respons sangat positif tak hanya dari pengguna Netflix di Indonesia, tetapi juga di sejumlah negara lain, seperti Brasil, Meksiko, dan Amerika Latin.
”Hal ini menjadi motivasi bagi kami untuk terus mencari film-film berkualitas dari Indonesia untuk dapat dinikmati oleh penonton di seluruh dunia,” jawab Phang dalam pernyataan tertulisnya melalui surat elektronik.
Sementara itu, pihak Iflix Indonesia lewat perwakilannya, Tiara Sugiyono, menyampaikan ada lima konten asli yang telah diproduksi bersama para kreator konten Indonesia. Salah satu yang terbaru adalah serial web Kisah Tanah Jawa: Merapi, yang mulai tayang secara eksklusif di Iflix akhir Oktober 2019.
”Serial ini merupakan produksi orisinal hasil kerja sama kami dengan sutradara dan penulis lokal Faozan Rizal dan Salman Aristo. Sekarang ini kami juga sedang proses satu lagi original webseries, yang rencananya dirilis tahun depan. Untuk original movies, kami belum ke arah sana karena selama ini Iflix juga banyak mengakuisisi film layar lebar Indonesia,” tambah Tiara.
Menyikapi maraknya produksi film dan serial orisinal Ketua Umum Badan Perfilman Indonesia (BPI) Chand Parwez Servia menilai fenomena itu mirip dan pernah terjadi di masa lalu. Saat banyak stasiun televisi swasta bermunculan, maka marak pula konten-konten baru diproduksi, termasuk melalui kerja sama.
”Bedanya sekarang cuma format platformnya yang digital. Sementara peran televisi swasta ketika itu mirip dengan OTT sekarang. Secara model bisnis pun sama saja. Enggak ada yang baru sebetulnya,” tambah Parwez.
Selain itu, teknis pengaturan penayangan filmnya pun masih tak dibedakan, dalam artian kalau film pertama tayang di bioskop, baru misalnya empat bulan kemudian boleh tayang di OTT atau dahulu di format DVD atau kaset video. Baru setelahnya, empat bulan kemudian, film itu bisa tayang di televisi.