Menghidupi Ubuddi ARMA
Museum bukan lagi tempat senyap penyimpan artefak benda mati meski bernilai tinggi. Museum bisa menjadi tempat yang hidup serta menghidupi nilai dan tradisi. Anak Agung Gde Rai (64) menembus batas-batas demi membangun Agung Rai Museum of Art atau ARMA di Ubud, Bali, menjadi museum yang hidup.
”Ajaklah berkeliling, sampai ke sawah-sawah, sampai ke kuburan China itu. Ini museum yang terintegrasi dengan lingkungan desa di sekitarnya,” ujar Anak Agung Gde Rai, yang akrab disapa Gung Rai kepada anaknya, Anak Agung Gede Yudi, Rabu (23/10/2019).
Anak Agung Gede Yudi atau Gung Yudi ketika itu hendak menemani Kompas menyusuri area Museum ARMA.
Sebelumnya, Gung Rai banyak mengisahkan riwayat ARMA termasuk tentang Barack Obama, mantan Presiden Amerika Serikat, yang singgah di ARMA pertengahan 2017.
Gung Rai berulang-ulang menyebut museum yang ia bangun itu sebagai living museum. Museum ini memiliki ruang pamer yang memuat lukisan-lukisan legendaris. Pada lukisan-lukisan itu, kita melihat Ubud melalui mata dan goresan kuas para pelukis yang jatuh hati pada kawasan indah ini.
Akan tetapi, ARMA tak sebatas gedung ruang pamer. Museum ini terintegrasi dengan lingkungan di sekitarnya.
Lingkungan museum ini terkesan menyatu dengan penginapan, kafe, persawahan, panggung terbuka tempat pertunjukan, berikut beragam aktivitas pertunjukan yang digelar di sana. Di sana juga ada fasilitas bagi anak-anak warga setempat untuk berlatih menari. Ada pula ruang bagi seniman Ubud berkarya.
Beragam aktivitas yang berkelindan di kompleks ARMA seluas 6 hektar ini dihidupi dengan roh kecintaan pada Ubud dan budayanya. Interaksi orang-orang di dalam lingkungan ini pula yang membuat museum ini hidup.
Menurut Gung Rai, aktivitas produktif di Museum ARMA itu kini bisa menafkahi sekitar 130 karyawan. Di antara beberapa bangunan yang semua berarsitektur khas Bali, ada 54 kamar untuk disewakan.
Hasil persewaan itu selain bisa menutup beban operasional dan gaji karyawan, menurut Gung Yudi, juga diperuntukkan sebagai subsidi silang berbagai kegiatan edukasi sosial di museum.
Gung Yudi kemudian menyodorkan sebuah buku saku berjudul The Agung Rai Museum of Art. Di buku kecil itu terpajang foto aktivitas pembelajaran anak-anak di museum. Mereka belajar menari, memahat, melukis, atau sekadar memainkan permainan tradisional.
Tak pelak pengunjung dan wisatawan bisa berbaur. Mereka melebur dan belajar bersama. Pengalaman itu menjadi bagian wisata yang menarik. Gung Rai yang menjadi arsitek lanskap museum ARMA telah membuktikan keandalannya.
Dari buku saku itu pula dapat ditelusuri ragam koleksi yang tersimpan di museum. Ada koleksi lukisan tradisional Bali di era 1930, seperti koleksi lukisan klasik Kamasan dan Batuan. Dimuat pula catatan koleksi pelukis ternama dari Bali, seperti I Gusti Nyoman Lempad, Ida Bagus Made, Anak Agung Gde Sobrat, atau I Gusti Made Debog.
Ada pula koleksi karya pelukis ternama dari luar Bali, salah satunya karya Raden Saleh. Dari negara lain, di antaranya meliputi karya Walter Spies, Rudolf Bonnet, Willem Gerard Hofker, Adrien Jean Le Mayeur de Merpres, dan Willem Dooijewaard.
Para pelukis yang berasal dari sejumlah negara tersebut menggambarkan Ubud dalam lukisan-lukisan mereka.
Tiga pintu
Museum Seni Agung Rai ini terbuka bagi publik. Dibuatlah tiga titik pintu bagi pengunjung di areal museum yang memangku jalan cukup panjang dan berbelok membentuk sudut itu.
Pintu pertama dari arah Puri Ubud ditata menjadi area kafe ARMA. Alur masuk dari pintu ini langsung terarah menuju panggung terbuka.
Ketika senja turun, temaram lampu kuning di ruang terbuka menyeruak dan sedikit menyibak kegelapan. Panggung terbuka itu seolah beratap ranting pepohonan yang rindang.
Ketika mendongakkan kepala ke atas, terasa tidak sepenuhnya itu sebagai panggung terbuka. Langit malam yang pekat terhadang rerimbunan daun yang menyerap dan memantulkan kembali berkas cahaya yang diterima.
Pintu kedua punya gapura termegah. Biasanya ini menjadi pintu utama untuk tamu terhormat. Pintu utama ini memberi akses segera pada gedung museum utama.
Pintu ketiga, berada di pinggir kali kecil, kali Sakah. Di sisi kanan setelah pintu ini terhampar sawah. Hamparan sawah itu memang dipertahankan Gung Rai. Persawahan ini sekaligus menghubungkan areal museum dengan pedusunan yang mengelilinginya.
Pintu ketiga ini juga memudahkan alur tamu menuju wisma atau penginapan. Bangunan wisma itu terpisah satu sama lain. Masing-masing menjadi hunian khas Bali. Satu bangunan terdiri atas beberapa kamar. Beberapa bangunan penginapannya juga dilengkapi fasilitas kolam renang.
Sebagian besar bangunan kamar berada di seberang kali Sakah. Mereka yang menginap di situ disejukkan udara sawah dan gemercik aliran air kali.
Langkah Obama
Sebuah kafe, disebut Warung Kopi, berada searah jalur pintu pertama melintasi panggung terbuka. Dari Warung Kopi ini Gung Yudi mengajak Kompas untuk menapak langkah Obama ketika ia bersama sang istri, Michelle, mengunjungi ARMA.
Setelah menyusur jalan berkelok di antara gedung-gedung, menuruni beberapa anak tangga, dan jembatan kali Sakah, tibalah kami di pinggiran hamparan sawah padi menghijau. Gung Yudi berhenti di simpang tiga.
Satu simpang ke kiri menuju jalur pematang sawah. Jalur itu hanya untuk satu pelintas. Di atas lapisan tanahnya dipasang potongan tegel atau keramik sehingga telapak kaki tidak akan bersentuhan langsung dengan tanah.
Gung Yudi menunjukkan pematang sawah yang sempit itu pernah dilintasi Obama dan rombongannya. Setelah menyusuri puluhan meter di pematang sawah, berujung di jalan setapak yang lebih lebar.
Kami berbelok ke kanan. Gung Yudi mengarahkan ke luar areal museum menuju pura Desa Peliatan. Gerbang pura ketika itu terkunci. Gung Yudi menuturkan, ”Ketika itu Obama ikut berdoa di sana. Bahkan, Obama mau diperciki air dan meminum air dari pedanda (orang yang disucikan di pura). Ini yang tidak saya sangka-sangka sebelumnya.”
Pura ada di sisi kanan jalan desa, sedangkan di seberangnya terdapat sebidang tanah terbuka yang diperuntukkan sebagai kuburan China. Tanah kosong dan luas di dekatnya dipergunakan sebagai lapangan bola.
Di perbatasan areal ARMA dengan kuburan China dan pura tersebut terdapat sungai dengan aliran air yang jernih. Di bawah jembatan jalan setapak dari ARMA menuju pura, terdapat titik lokasi kali yang dimanfaatkan penduduk untuk mandi.
Gung Yudi menceritakan kejadian unik, ketika Obama akan melintasi kembali jembatan itu. Beberapa warga yang ingin mandi di tempat itu dicegat dan tidak diperbolehkan mandi, sebelum Obama kembali ke ARMA. Mereka sambil membawa ember dan handuk menanti rombongan Obama berlalu.
Obama melambaikan tangan kepada mereka, tetapi warga tak acuh. Hanya ada satu di antara mereka membalas dengan sapaan, ”Halo, Mister!” ”Mungkin saja mereka tidak tahu itu Obama,” ujar Gung Yudi.
Obama adalah sekelumit cerita tentang bagaimana manusia berinteraksi di ARMA. Museum seni juga mencatat perjuangan Gung Rai demi mewujudkannya menjadi museum hidup.
Museum yang dapat digunakan bersama untuk menggapai kehidupan selaras.