Mumpung Dukungan Melimpah
Delapan anak muda duduk di kursi empuk di ruangan berpenyejuk udara dengan penerangan remang. Di hadapan mereka ada bean bag yang sewaktu-waktu bisa dipakai rebahan atau duduk santai. Mereka menyimak paparan penulis skenario Prima Rusdi tentang anatomi karakter dalam film. Sesekali mereka mencatat hal-hal penting di buku atau ponsel.
”Yang juga perlu diingat, coba temukan keterkaitan karakter satu dengan karakter lainnya,” kata Rusdi dalam pertemuan ketiga untuk kelas skenario pada rangkaian program Cinema Crash Course (CCC) yang digelar Kinosaurus tersebut. Berarti tinggal satu pertemuan lagi kelas itu usai.
Sejak September lalu, Kinosaurus menggelar CCC dengan ragam tema, seperti penyutradaraan dan produksi film. Kelas ini dibangun dalam suasana intim dan jumlah peserta terbatas, maksimal 20 orang. Dengan demikian, kelas berjalan lebih intensif. Kinosaurus memutuskan membuka kelas seperti ini guna melebarkan aksesibilitas bagi siapa saja dalam memahami film.
Latar belakang pesertanya amat beragam, dari praktisi pemasaran, penulis, wartawan, produser iklan, hingga ada yang baru lulus kuliah. ”Dari keragaman latar belakang itu, saya justru bisa mendengar banyak hal dari berbagai perspektif. Saya bisa update problem paling baru,” kata Meiske Taurisia, produser Palari Films dan co-founder Kinosaurus, yang mengampu sesi produksi film.
Kelas-kelas seperti ini terbukti efektif. Peserta seperti menemukan penguat sekaligus teman berbagi ilmu membuat film. ”Banyak hal baru yang selama ini tidak gue temukan di internet, seperti soal kesepakatan bisnis dalam membuat film,” kata Fathurrozak (23), salah satu peserta CCC.
Kursus atau pelatihan pendek seperti ini banyak dibuka oleh para sineas profesional.
Tidak hanya lewat tatap langsung, banyak juga yang via daring, seperti Youtube dan Instagram atau situs seperti Kelas.com.
Kemudahan akses
Akun-akun Youtube juga sangat membantu. Dari situ, kita bisa tahu cara Christopher Nolan atau Quentin Tarantino menulis skenario dan menyutradarai sebuah film, misalnya. Penasaran dengan proses pembuatan film Frozen II, misalnya, klik saja Youtube. Semua ada.
Kemudahan itulah yang kemudian mendorong banyak pelajar membuat film. Indra Zulfah Nur, siswa SMKN 12 Malang, merasakan betul betapa internet sangat membantunya mengembangkan bakat membuat film. Dalam sehari setidaknya dia menyisihkan waktu satu jam untuk menonton cara membuat film di Youtube atau mengintip akun Instagram sutradara Tanah Air. Kebiasaan itu menunjang pelajaran ekstrakurikulernya.
Awal bulan ini, Indra diundang ke Jakarta oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan karena film fiksi berjudul Sepatu Persahabatan yang ia sutradarai diganjar Juara I Lomba Film Pendek Pendidikan Anak dan Remaja 2019. ”Ini film pertama saya,” kata penggemar sutradara Joko Anwar itu.
Jumlah film bioskop tahun ini terus naik, sudah hampir 200 judul. Naik dari tahun sebelumnya yang hanya sekitar 150 judul. Begitu juga dengan jumlah film pendek yang bisa sampai seribuan dalam setahun dan pembuatnya tersebar di seluruh pelosok negeri, mulai dari Papua sampai Aceh.
Memang belum ada data resmi, tetapi sebagai gambaran, tercatat 316 film dalam Lomba Film Pendek Pendidikan Anak dan Remaja 2019. Tahun sebelumnya hanya setengahnya. Dalam Gudfest awal November lalu terdapat 1.600 film pendek.
”Problemnya, kualitas film pendek masih lemah. Banyak pembuat film pendek belum bisa menghasilkan film dengan story telling yang bagus,” kata pendiri Forum Film Indonesia, Ichwan Persada.
Penggalangan dana
Selain kemudahan referensi, pembuat film bisa lebih mudah mendapat dana. Ini misalnya tergambar dalam forum Good Pitch awal September lalu.
Pada forum ini, sekitar 500 pengunjung memenuhi aula utama hotel ternama di Jakarta. Ruang megah nan nyaman itu riuh rendah dengan antusiasme tak hanya sineas, tetapi juga aktivis lingkungan, petinggi yayasan, pakar lingkungan, instansi pemerintah, hingga mantri adat.
Studi kasus, diskusi, dan tanya jawab menjadikan proyek-proyek film dokumenter yang ditayangkan semakin bernas. Good Pitch mengetengahkan lima proyek film, yakni Hidup dengan Bencana, Bara, Menggapai Bintang, Waste on My Plate, dan Pesantren.
Tamu-tamu yang hadir berasal antara lain dari Jakarta, Bandung, Solo, Balikpapan, Makassar, dan Palu. Mereka mendukung para sineas dengan menggalang kemitraan, membuka sumber investasi, dan mempertemukan dengan pihak berkompeten.
Sejak dimulai pukul 10.00, presentasi tak putus-putusnya direspons sokongan. Produser Hidup dengan Bencana, Sarah Adilah, yang mendapatkan giliran pertama untuk mempresentasikan proyek filmnya, langsung disambut hadirin yang akan membantu baik berupa fasilitas maupun dana. Setidaknya terdapat 10 donatur yang bersedia menyumbang.
”Sekitar Rp 480 juta akan digunakan untuk memberdayakan lima komunitas dan menghasilkan film tentang mitigasi bencana,” katanya.
Film Hidup dengan Bencana dilandasi peristiwa gempa bumi, tsunami, dan likuefaksi di Sulawesi Tengah tahun 2018. Film ini merupakan proyek partisipatif untuk membantu masyarakat merencanakan hidup di daerah rentan bencana. Film ini akan digarap Januari hingga September 2020.
”Strategi mitigasi tidak ada. Padahal, nenek moyang kita sudah meninggalkan tanda melalui legenda, lagu, patung, dan toponimi,” ujarnya.
Arfan Sabran tak kalah gembira. Sutradara itu menarik banyak simpati dengan proyeknya, Bara. Setelah mengikuti Good Pitch, kontribusi yang diperolehnya sudah memenuhi 80 persen dari kebutuhan.
Film Bara dicetuskan dengan latar belakang kerusakan hutan. Shooting telah berjalan sejak 2014. ”Sudah rampung 70 persen,” ujarnya.
Arfan akan bertolak ke Singapura pada awal Desember 2019. Ia juga berkunjung ke Nyon, Swiss, pada April lalu.
Hasilnya, jaringan pemberitaan asal Timur Tengah tertarik berpartisipasi memproduksi film itu. Dukungan yang diterima tak sekadar dana. ”Kami juga bisa dibantu publikasi dan distribusi,” kata Arfan yang berencana menyelesaikan Bara pada pertengahan 2020.
Tiga film lainnya juga memperoleh sambutan yang menggembirakan. Intinya, Good Pitch memungkinkan proposal itu menjadi film sungguhan.
Sineas-sineas ternama juga ikut ambil bagian dalam Good Pitch. Aktris Dian Sastrowardoyo dan sutradara Riri Riza, umpamanya, memberikan dukungan untuk Waste on My Plate. ”Saya mewakili Pertemanan Sehat ingin membantu mempromosikan film dan mengadakan nonton bareng,” ujar Dian.
Sementara Riri siap menjadi kawan berdiskusi bersama Mira Lesmana untuk memberikan masukan teknis dan berkontribusi Rp 50 juta. Lain lagi dengan aktor Nicholas Saputra yang sangat senang jika bisa berbicara dengan para kru Bara untuk menjadi duta film itu.
Good Pitch yang diluncurkan di Inggris pada tahun 2008 diselenggarakan In-Docs, atas inisiatif Doc Society, Ford Foundation, dan Sundance Institute. Dana yang digalang sudah melampaui 30 juta dollar AS atau sekitar Rp 423 miliar. Selain itu, lebih dari 4.200 organisasi telah berpartisipasi.
Menurut Direktur Program In-Docs Indonesia Amelia Hapsari, dokumenter menggugah publik untuk menyadari aspek terpenting dalam kehidupan. ”Dokumenter adalah foto keluarga, penanda zaman, atau warna-warni pensil yang menggarisbawahi realitas dengan cara paling inovatif,” ucapnya.
Sore itu Sarah Adilah keluar ruangan dengan senyum mengembang. Dengan mimik bahagia dia salami orang-orang yang memberinya selamat. Dia amat senang karena forum Good Pitch membuat impiannya sebentar lagi menjadi nyata. Hidup dengan Bencana segera menjadi film.
Selain media kampanye, film juga menjadi media edukasi. Sekarang ini membuat film semakin mudah karena referensinya ada di mana-mana. Soal dana, juga banyak jalan mencarinya.
Yuk, bikin film, mumpung dukungan melimpah.