PAP! Unggah Gambarmu...
Ketika bermedia sosial, PAP, akronim dari ”post a picture”, seperti instruksi agar lawan komunikasinya mengunggah gambarnya. Sebanyak 51 perupa muda yang berdomisili di Yogyakarta pun mengunggah ”gambar”.
Ketika bermedia sosial, PAP, akronim dari post a picture, seperti instruksi agar lawan komunikasinya mengunggah gambarnya. Sebanyak 51 perupa muda yang berdomisili di Yogyakarta itu pun mengunggah ”gambar” atau karya seni rupa mereka di Pameran Perupa Muda #4 bertemakan ”PAP!”.
Para perupa muda itu dengan rentang usia 18-30 tahun. Mereka lolos seleksi dari 350 pendaftar untuk kegiatan rutin pameran tahunan di Bale Banjar Sangkring, Yogyakarta, milik seniman Putu Sutawijaya asal Bali ini.
”Di kalangan anak muda, masih ada yang dengan polosnya mencari pengertian kata tersebut (pap) dalam kamus bahasa Inggris. Ini menimbulkan kelucuan tersendiri karena muncul pengertian dari kata pap, yaitu bubur bayi,” ujar kurator Ryani Silaban untuk pengantar pameran yang berlangsung sejak 4 November hingga 3 Desember 2019 itu.
Sepintas, dari 51 karya perupa yang dipamerkan tersebut terkesan keanekaragamannya, baik secara tematik maupun berbagai media yang digunakan. PAP! layaknya pameran seni rupa kontemporer yang tidak memberikan batasan. Di situ gagasan tercurah dengan aneka macam cara dan media.
”Hijab, a Battleground”
Di ruang pamer terdepan terdapat belasan karya. Ada salah satu karya lukisan wajah yang mencolok. Kedua bola mata hitamnya digambar bulat-bulat seperti melotot di balik cadar yang dikenakannya. Lukisan itu diberi judul ”Hijab, a Battleground” (2019) karya perupa Fika Khoirunnisa. Fika melukisnya dengan menggunakan media campuran di atas kanvas berukuran 50 cm x 100 cm.
Cadar yang dikenakan dengan corak warna dominan biru. Kulit wajahnya berwarna coklat memerah dengan warna hitam sebagai latar. Makna a battleground mengundang tafsir sebagai medan pergulatan batin bagi Fika terkait norma ”hijab”.
Cara ungkap Fika itu sederhana untuk menyibak pergulatan batin sebagai realitas sosial perempuan dalam menghadapi aneka norma. Melalui citra mata yang melotot di balik cadar itu, Fika menawarkan sebuah ketegangan tersendiri.
Sebuah lukisan abstrak karya Arbi Putra sedikit mengendurkan ketegangan tersebut. Arbi melukis abstrak dengan judul ”Gumamam Jiwa” (2019), dengan media cat akrilik dan cat minyak di atas kanvas berukuran 150 cm x 130 cm. Pilihan kata ”gumamam” itu seperti separuh berkata, kadang bisa terdengar jelas, kadang tidak.
Abstrak liris Arbi ini diwarnai tarikan-tarikan kuas yang panjang dan berkelok-kelok. Itu seperti gumaman panjang yang tak ketahuan ujung dan pangkalnya. Ada pola tarikan warna jingga mengitari medan kanvas. Di dalamnya ada tarikan-tarikan warna hitam, putih, biru, dan hijau pupus menyala. Inilah gumaman yang panjang dan beraneka dari jiwa seorang perupa muda Arbi.
Karya abstrak lainnya berupa tatanan 25 panel masing-masing berukuran 20 cm x 20 cm mengapit karya Fika di sisi kanannya. Lukisan itu diberi judul ”Slowly Paralyzed” (2019), karya perupa Novella Hafidzoh dengan media transfer image atau gambar yang ditransfer ke media kaca.
Di seberang dinding yang saling berhadapan ada juga salah satu karya tak kalah mencoloknya. Lembaran-lembaran stainless steel digelar dengan beberapa tekukan dan gulungan hingga membentuk dimensi 150 cm x 100 cm dengan ketebalan 50 sentimeter. Karya ini diberi judul ”The Oppsite” oleh perupa Didin Jirot. Lembaran itu mengkilap seperti cermin dengan sebagian tertekuk dan tergulung. Ada sebagian kecil lembaran yang ditempeli stiker berwarna hijau. Kemudian, ada semacam pita panjang yang berwarna biru muda dan merah terbentang di permukaan karya yang memang tidak rata itu.
”The Opposite” bermakna sebagai kebalikan dari sesuatu. Seperti kaleng minuman, di sebaliknya menampakkan permukaan yang tidak diberi gambar. Dalam komposisi tertentu, permukaan di sebaliknya itu juga mampu menawarkan makna. Ini yang jarang dinikmati.
Seperti dari sebuah kaleng minuman biasa hanya dinikmati citra atau gambar pada lapisan muka. ”The Opposite” menawarkan sudut pandang baru yang ada di sebaliknya. Setidaknya, citra dari bahan stainless steel yang seperti cermin itu akan memantulkan warna dan cahaya yang diterima. Di situ tetap saja ada citra yang bisa dinikmati.
Sebuah lukisan figuratif karya perupa Abdul Aziz disandingkan di sisi karya Didin Jirot. Karya itu berjudul ”Peace and Destroy” (2019) dengan media cat akrilik dan cat semprot di atas kanvas berukuran 150 cm x 130 cm.
Azis melukis wajah, tangan, dan kaki dalam sebuah komposisi yang tidak menentu. Dengan judul ”Peace and Destroy” ini menjadi sebuah kemelekatan dua hal saling bertentangan dan terasa dari komposisi tubuh yang tak menentu itu.
Di samping kanan karya Didin Jirot, lukisan dari 12 panel yang berukuran masing-masing 20 cm x 20 cm karya Anaya Anjar dipampang. Karya berjudul ”In Between Comfort” itu bernada warna hijau pupus menyala dan warna merah jambu terasa menguasai. Figur yang dibangun Anaya berupa rumah dengan kelengkapan-kelengkapan yang dituangkan secara terpisah di antara panel-panel lainnya. Di situlah Anaya menunjukkan keberadaan yang diwarnai rasa nyaman.
Dinamis
Keberagaman cara ungkap dan media yang digunakan itu terasa dari berbagai karya seni rupa lainnya yang dipamerkan. Kurator Ryani menyebutkan, perupa muda saat ini kian dinamis dalam berkesenian. Pengaruh teknologi informasi meningkatkan laju publikasi. Pameran pun terselenggara dengan kian progresif dalam menghadirkan konsep-konsep baru.
Seniman Putu Sutawijaya menggelar pameran perupa muda secara rutin tahunan ini pun terlihat tak jauh dari upaya membaca perubahan. Tajuk pameran PAP! menunjukkan hal itu. Seni rupa dalam perkembangannya mendapat pengaruh cukup deras dari arus teknologi media. Pameran berusaha menelusuri pengaruh PAP yang menjadi abreviasi atau pemendekan untuk berkomunikasi di dalam media sosial.
Pemendekan itu seolah bagai lompatan demi menyampaikan pesan secara lebih ringkas. Fenomena ini muncul dalam beberapa karya yang dipamerkan, seperti dalam beberapa karya abstrak atau instalasi dengan kebaruan gagasan masing-masing.
Begitu pula, abreviasi para perupa muda dalam menuangkan gagasannya seperti membuat lompatan. Hal yang dilompati kadang terkait skill atau keterampilan di bidang seni rupa. Ini buah dari setiap perubahan selalu membawa konsekuensi tersendiri.