Arus Refleksi Pupuk DP
”Kadang aku melukis tidak atas apa yang kulihat. Aku melukis atas apa yang kurasakan.” Demikian Pupuk Daru Purnomo, perupa asal Yogyakarta, membubuhkan kutipan di atas karya instalasinya yang berjudul ”Potret Diri dan Studio” (2013)
Karya ini dipamerkan di Bentara Budaya Jakarta, 28 November-7 Desember 2019. Bagi Pupuk, seni bukan lagi persoalan kasatmata, tetapi gerak olah rasa dan kepekaan intuisi. Karena itulah, dalam instalasinya, Pupuk tidak menampilkan potret dirinya secara gamblang dari sisi visual, bentuk, maupun presisi.
Kurator Suwarno Wisetrotomo menyebut Pupuk telah melampaui persoalan potret diri sebagai tiruan. Ia melihat potret diri sebagai ide dan jiwa. Pencapaian ini terlihat dari karya-karyanya yang sarat refleksi dan pemaknaan mendalam seperti tampak dalam karya instalasi Pupuk berjudul ”Potret Diri dan Studio”.
Di sini, Pupuk mendeskripsikan dirinya dalam bentuk boneka berkacamata dengan rambut belah tengah khas dirinya sedang duduk bersandar di kursi sembari memegang kuas. Di sampingnya berdiri sebuah lukisan bergambar manusia yang mata kirinya tertusuk gunting.
Sebuah bola lampu menerangi studio mini sang pelukis. Sorotan pijarnya berpendar. Pupuk menggambarkannya dengan panah-panah yang diberi keterangan: retina lepas, neurotik depresi, ekspresi, inspirasi, imajinasi, memori masa lalu, intuisi, pesan, dan komposisi warna rasa. Ia hendak mengatakan bahwa semua pengalaman dan olah rasa itu menjadi inspirasi penting dalam mewujudkan karya-karyanya.
Pupuk juga membuat karya potret diri dalam versi lain berjudul ”Potret Diri Bagai Vampir” yang menampilkan sosok boneka Drakula berperawakan seperti dirinya dengan tangan kiri tertancap jarum infus berisi darah. Di atas sang Vampir terdapat kutipan menarik, ”Dengan kerapuhanku dan segala keterbatasanku, aku hidup dalam kehidupan yang tanpa batas ini, di mana sebagian orang tidak mengatakannya sebagai tragedi”.
Rupanya, Pupuk mencoba melihat sosok Drakula dari sisi lain, bukan sebagai makhluk pengisap darah yang mengerikan dan menakutkan, tetapi sebagai makhluk yang perlu dikasihani. Mengapa? Karena ia hidup tanpa batas dalam ketergantungan dengan darah, sebuah situasi yang sebenarnya tidak diinginkannya.
Karya menarik lain dari Pupuk berjudul ”Sampai Maut Memisahkan” yang juga ditampilkan dalam bentuk instalasi tiga dimensi, patung sepasang pengantin berbusana gaya Yogyakarta yang ditempatkan di dalam kotak lemari. Di belakang boneka pengantin, Pupuk memasang kopian lembar akta pernikahannya lengkap dengan foto ia dan istrinya.
”Pupuk membangun keluarga kecil, menikahi Endang Werdiningsih dan kini memiliki tiga anak. Namun, Pupuk tetap mempertanyakan makna perkawinan, cinta, dan komitmen, bukan karena ia kehilangan cinta dan komitmen. Ia mendapatkan semuanya dan bahagia, tetapi Pupuk ingin mempersoalkan komitmen, melampaui semuanya. Komitmen itu, kata Pupuk, letaknya paling tinggi, bahkan di atas legalitas. Karena, katanya lagi, legalitas tanpa komitmen tak ada artinya,” kata Suwarno.
Selain merefleksikan tentang pergulatannya membangun biduk rumah tangga, Pupuk juga selalu bertanya dan merenungkan tentang makna seni bagi dirinya. Kegundahan itu tampak dalam tiga karyanya yang berjudul ”Tentang Seni 1”, ”Tentang Seni 2”, dan ”Tentang Seni 3” berupa lingkaran titik sasaran tembak dengan patung figur manusia di bagian tengahnya.
Tiga karya itu menggambarkan semacam pemaknaan atas seni dari kacamata Pupuk DP. ”Tentang Seni 1” menggambarkan bagaimana seni berputar dalam berbagai ungkapan, mulai dari penanti nasib, tengkulak, pemesan seni, prestise, lelang, kalkulator, dan investasi.
Berikutnya, ”Tentang Seni 2” menggambarkan bagaimana karya-karya seninya diciptakan, seperti pengalamannya mengalami insomnia dan gangguan neurotik, doa-seks-spiritual, filsafat, intuisi, imajinasi, dan inspirasi. Sementara itu, ”Tentang Seni 3” melihat bagaimana seni bisa digilai, mulai dari ketulusan, emosi, passion, hingga kepasrahan Pupuk tentang tidak ada jaminan karyanya bisa dipahami semua orang.
Tak tanggung-tanggung
Pupuk benar-benar total dan tidak tanggung-tanggung dalam mempersembahkan karya-karyanya pada pameran bertajuk Kerak Residu di Bentara Budaya Jakarta. Ia membuat lukisan-lukisan berukuran besar dan instalasi-instalasi boneka-boneka yang dipajang dalam lemari berkaca yang eksklusif lengkap dengan plakat kuningan bertuliskan Pupuk DP.
”Sampai sejauh dan segelap apa jalan yang berani saya ambil untuk menyakiti diri sendiri di luar kesadaranku. Demi mendorong imajinasiku bisa melebihi batas kemampuanku”. Inilah prinsip berkesenian yang dipegang Pupuk. Tak heran jika penyajian karya-karyanya dalam pameran benar-benar disiapkan secara optimal.
Nyaris sebagian besar karya Pupuk yang ditampilkan di Bentara Budaya Jakarta bercerita tentang refleksi diri atas pengalaman-pengalaman hidupnya. Jiwa dan pikirannya penuh dengan pengalaman masa lampau, baik secara psikis maupun fisik.
Semuanya muncul dalam lukisan maupun instalasinya, mulai dari gangguan neurotik, retina matanya yang nyaris lepas hingga terancam buta, sampai gangguan telinga mendenging tak berkesudahan. ”Bagian terindah dari sebuah ekspresi adalah karena ia akan mengatakan kepadamu sebuah kejujuran, bahkan dari kegelapan hatimu sekalipun” ucap Pupuk merefleksikan seluruh pengalaman hidupnya.
Menurut dia, melukis pada dasarnya adalah sebuah pertanyaan dari pelajaran kehidupan. ”Saya tidak paham sebelumnya, tetapi paling tidak saya mengerti apa yang saya tidak tahu. Keingintahuan itulah esensi dari seni menurutku,” ungkapnya.
Bagi Pupuk, kegelisahan dan kegembiraan menjadi sukacita indah yang membuat seni bisa menjadi kenyataan absurd dari kenyataan itu sendiri. Ia menyadari betul bagaimana keterbatasan menjadi alasan penting dari setiap kelahiran karya-karyanya.
Kurator Bentara Budaya, Ipong Purnama Sidhi, melihat kiprah panjang Pupuk berkarya selama 32 tahun sebagai rentang waktu dan proses berkreasi yang sudah teruji oleh fluktuasi situasi pertumbuhan seni rupa di Tanah Air.
Jika menilik dari rangkaian pameran yang pernah digelarnya, Pupuk memang setia memaknai setiap langkah berkeseniannya dengan refleksi-refleksi mendalam. Tahun 2005, misalnya, ia pernah membuat pameran tunggal Reflection of Pupuk DP’s Artistic Journey di Galeri Nasional Indonesia, tahun 2014 pameran tunggal Me, Myself, And Eye di Galeri Nasional Indonesia, serta tahun 2018 pameran tunggal Second Change di Mizuma Gallery, Singapura.