Ziarah ke Masa Terindah
Rambut boleh memutih. Lemak di badan pun tak bisa lagi ditutupi. Akan tetapi, demi kenangan di masa terindah, apa pun dilakukan, termasuk menyusui dan memerah ASI di tengah ingar bingar musik era 1990-an.
Itulah yang terjadi dalam gelaran The 90’s Festival yang berlangsung di Gambir Expo, Kemayoran, Jakarta Pusat, Sabtu dan Minggu (23-24/11/2019). Festival besutan Akselerasi Entertainment yang menghadirkan musik era ’90-an dengan segala perniknya itu, seperti tahun-tahun sebelumnya, menyedot antusiasme penonton.
Dalam dua hari, tampil empat band era ’90-an dari luar negeri, yaitu Hanson, Aqua, Vertical Horizon, dan Michael Learns To Rock (MLTR). Dari dalam negeri, ada 32 band era ’90-an, seperti Wong, Jingga, Lingua, Tofu Reunion, U’Camp, Potret, Humania, Arwana, Dr.PM, Naif, Sheila on 7, Gigi, Jamrud, Kla Project, hingga God Bless.
Sabtu siang, di tengah matahari yang masih terik, Powerslaves membuka nostalgia ke masa hampir 30 tahun silam itu dengan lagu ”Metal Kecil”, disusul ”Impian” dan ”Hanya Kamu.” Meski tak lagi muda, lengkingan vokalis Heydi Ibrahim masih prima.
Di panggung lain, tampil Warna dengan lagu ”Sinaran”, disusul ”Rindu Ini”, ”Tanda-Tanda”, dan ”Dalam Hati Saja”. Sama dengan personel Powerslaves, personel Warna pun tak muda lagi. Di panggung, mereka lebih fokus menyanyi, tak terlalu aktif bergerak. Riasan wajah membuat kerutan tampak samar saja.
Penonton terus mengalir memasuki area festival yang digelar kelima kalinya itu. Mereka disambut semacam gerbang waktu untuk meninggalkan tahun 2019, menuju 1990-an.
Paling mencolok adalah penonton yang berdandan dengan baju yang nge-tren pada era ’90-an. Celana monyet, jaket jins, kemeja flanel, dan celana jins robek-robek. Tak sedikit yang mengenakan kaus dengan tulisan lucu, misalnya nama sekolah, juga ”Anak 90-an”. Ada juga yang berbaju kembar dengan pasangan. ”Geng” atau kelompok kecil penonton pun heboh dengan dresscode masing-masing.
Ajang reuni
Megatari (41), penonton asal Tangerang, datang bersama geng SMA-nya, yakni SMA Stella Duce 1 Yogyakarta angkatan 1996. Di tiga kali pergelaran The 90’s Festival, geng beranggotakan 11 orang itu selalu hadir. Setiap kehadiran ditandai dengan dresscode berbeda.
Pada 2017, mereka memakai kaus hitam bertuliskan ”STC” dan ”Stece”. Tahun 2018, mereka memakai kemeja flanel kotak-kotak. Tahun ini, mereka berseragam kaus putih bertuliskan ”Stece” merah. ”Pakai dresscode biar kelihatan kompak. Kalau hilang, nyari-nya gampang,” kata Megatari.
The 90’s Festival, bagi geng Megatari, menjadi ajang bertemu teman zaman SMA. Di sana, mereka mengenang masa-masa ”gila” di bangku SMA, bersenang-senang tanpa memikirkan masalah berat seperti tes matematika. Kini mereka tinggal di kota-kota berbeda, seperti Jakarta, Tangerang, Depok, Bekasi, dan Semarang.
Tahun ini mereka bela-belain ke Kemayoran, selain demi reunian, juga demi menonton MLTR dari dekat. Band asal Denmark yang moncer pada era ’90-an itu jadi pemuncak acara hari kedua, Minggu (24/11) pukul 23.00. ”Kami cuma datang di hari Minggu. Badan enggak kuat kalau dua hari. Itu saja sudah minum tolak angin sama pakai koyok,” imbuh Megatari, disusul tawa berderai.
Penonton dengan dresscode seragam putih abu-abu dan putih biru juga tampak di antara lautan penonton. Salah satunya pasangan Anto (39) dan Wulan (33) yang langganan menonton The 90’s Festival sejak digelar di Istora Senayan tahun 2015.
”Kami pakai seragam supaya nostalgianya lebih berasa. Buat kami, festival ini jadi ajang nostalgia. Walau umur kami beda enam tahun, masih satu generasi. Jadi, kalau denger lagu-lagu ’90-an, kayak flash back, nostalgia,” tutur Anto. Bersama sang istri, dia mengincar MLTR dan U’Camp.
Menurut Anto, musik ’90-an tak pernah mati, tetap enak didengar hingga kini. ”Beda sama musik sekarang, lagu yang tenar cepet ilang. Kalau ’90-an awet banget. Lirik dan musiknya sama-sama bagus. Biarpun easy listening, tetap mengena,” ujarnya semringah.
Lemak, uban, dan ASI
Meski penonton tampil all out, dresscode yang mereka kenakan sebenarnya tak mampu menyembunyikan keriput, lemak di perut, uban di rambut, juga napas ngos-ngosan saat berjoget mengikuti aksi idola di panggung, apalagi bagi penonton berusia lebih dari setengah abad. Di antara lautan penonton, mereka berusaha menikmati konser meski tampak canggung atau malu-malu menggerakkan badan.
Suara mereka juga pelan-pelan saja. Yang tak hafal lagu, ikut menyanyi dengan mencontek lirik lagu dari ponsel.
Tak sedikit generasi yang lebih muda datang dengan mendorong stroller. Sementara bayi atau anak balita mereka duduk tenang atau tidur di kereta dorong, bapak dan ibu bernyanyi sambil berjoget. Sayangnya, area festival tak steril dari asap rokok. SPG rokok berseliweran menawarkan rokok.
Tahun ini panitia menyediakan kids playground atau tempat bermain yang membuat anak-anak sibuk saat orangtua mereka menonton konser. Di depan playground itu, tampak deretan kereta dorong.
Tahun ini, juga disediakan ruang laktasi bagi pengunjung. Panitia bekerja sama dengan Numnum Freezer, penyedia jasa penyewaan freezer ASI. Aisyah Arnes, pemilik Numnum, menuturkan, kehadiran ruangan itu berawal dari rasa prihatin ketika temannya yang masih menyusui kesulitan untuk memerah ASI saat menonton The 90’s Festival tahun lalu.
Di ruang laktasi, tersedia tiga bilik untuk menyusui atau memerah ASI. ASI perah bisa disimpan di freezer selama mereka menonton konser dan diambil saat pulang.
Selama dua hari, lebih dari 20 orang memanfaatkan ruangan itu untuk menyusui dan memerah ASI. ”Bayi saya baru berusia empat bulan. Saya ingin refreshing sejenak setelah melahirkan,” ujar Sevilla, warga Ciputat, Tangerang Selatan.
Begitu kuatnya hasrat bernostalgia. Bukan harus menyiapkan badan, penonton juga harus mengalokasikan dana. Sarah (45), misalnya, hadir khusus untuk menonton MLTR. ”Aku beli tiket superfestival Rp 1,8 juta. Tadinya pas di harga Rp 1,2 juta masih tahan-tahan dulu. Enggak tahunya makin dekat melonjak jauh. Ya, udah dibeli juga akhirnya,” kata Sarah.
Tahun ini, harga tiket dipatok berjenjang mulai Rp 747.500 hingga Rp 6.224.000. Selain kelas festival, penyelenggara juga menyediakan kelas superfestival yang posisinya lebih dekat dengan panggung. Ada pula paket menginap di hotel.
Utari (45) dan suami datang dari Cibubur juga demi MLTR. Agar tidak terlalu lelah, dia dan suami menginap di hotel dekat Kemayoran. ”Kami cuma berdua. Anak-anak kurang berminat karena merasa bukan musik mereka. Ya sudah, sekali-sekali kami pacaran sambil nonton konser,” kata Utari.
Linda (42) juga rela jauh-jauh ke Kemayoran dari rumahnya di Cimanggis. Selama dua hari, dia pergi pulang Cimanggis-Kemayoran menggunakan layanan sewa mobil daring hingga Rp 600.000 setiap hari. Ongkos tak termasuk biaya tol.
Di lokasi, Linda masih mengeluarkan ongkos untuk urusan logistik. Air mineral dan teh dalam botol yang disediakan di area festival dijual Rp 20.000 per botol. Begitu juga makanan. Cilok, misalnya, dijual Rp 35.000 dan es cendol Rp 50.000. Suvenir kaus yang diburu banyak penonton memiliki harga Rp 250.000. ”Mau gimana lagi. Sekali setahun ini. Yang penting happy, nostalgia,” kata Linda.
Dekade terbaik
Segala kerelaan itu, mulai menyiapkan dresscode, meluangkan waktu untuk menyusui di tengah ingar bingar konser, termasuk membayar tiket hingga jutaan rupiah, ibarat ziarah kembali ke masa indah. Terlebih, dekade ’90-an dinobatkan oleh banyak peneliti, pengamat, dan media sebagai dekade terbaik dalam segala aspek.
The Washington Post dalam artikel ”This is Why the ’90s won’t Die” menyebutkan, era ini telah menjadi kekuatan besar dalam mode, musik, dan layar. Pada dekade itu, penggunaan internet belum semasif sekarang. Kala itu setiap orang mendengarkan satu atau dua stasiun radio yang sama yang memutar semua hit top 40. Orang harus menunggu lagu favoritnya diputar di radio atau harus menabung untuk membeli kaset dan CD sehingga musik terasa lebih bernilai.
The New York Times melalui artikel ”The Best Decade Ever? The 1990s, Obviously” juga menyebutkan, kala itu teknologi masih dalam tataran yang pas, tidak berlebihan. ”It was just the right amount of technology,” sebut artikel tersebut.
Itulah sebabnya, ketika nostalgia dibungkus dengan kemasan The 90’s Festival, penonton yang sebagian besar dari generasi ’90-an sangat antusias. Seperti disebutkan BBC, ’90-an adalah dekade yang rasanya baru kemarin berlangsung. Tentu masih terlalu sulit dilupakan.
(PDS/BAY/FRO/DOE)