Tahun 2019 terbuka pintu menuju kesetaraan jender di industri musik global. Yang terpenting bukan hanya menempatkan perempuan sebagai musisi, tetapi juga sebagai pelaku non-musisi.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·5 menit baca
Secercah harapan muncul pada 2019. Dominasi lelaki di industri musik global perlahan mencair. Kini, sejumlah musisi perempuan mendeklarasikan kekuatan mereka kepada dunia dengan lantang. Mereka mengambil alih panggung perak dengan sepatu hak tinggi, tropi, dan kebanggaan.
Musisi Taylor Swift baru saja dinobatkan sebagai Artist of the Decade (2010-2019) pada ajang American Music Awards (AMAs) 2019, akhir November 2019. Swift yang berkarya selama 15 tahun dinilai berdampak terhadap industri musik, dan mungkin industri hiburan, selama satu dekade terakhir.
Namanya bersanding dengan penyanyi/grup tenar yang meraih penghargaan serupa, yaitu Elvis Presley (1950-1959), The Beatles (1960-1969), Stevie Wonder (1970-1979), Michael Jackson (1980-1989), dan Garth Brooks (1990-1999). Khusus untuk 2000-2009, penyelenggara AMAs tidak memberikan penghargaan yang sama.
Tak hanya Artist of the Decade, Taylor menyabet pula lima penghargaan lain malam itu, yakni Artist of the Year 2019, Favorite Music Video, Favorite Female Artist-Pop/Rock, Favorite Album-Pop/Rock, Favorite dan Artist-Adult Contemporary.
Dia pun memecahkan rekor sebagai musisi penerima penghargaan AMAs terbanyak sepanjang sejarah. Total ada 29 penghargaan yang dia terima. Dengan prestasi itu, dia otomatis menggugurkan rekor Michael Jackson yang memperoleh 24 penghargaan AMAs.
Selain Swift, mata publik juga tertuju kepada penyanyi berusia 17 tahun, Billie Eilish. Ia dinobatkan sebagai New Artist of the Year AMAs 2019. Pada 12 Desember 2019, dia akan dianugerahi predikat sebagai Woman of the Year pada acara Women in Music yang diselenggarakan Billboard.
Eilish merupakan musisi kelahiran abad ke-21 pertama yang albumnya menempati urutan pertama pada peringkat album top dunia, The Billboard 200. Album itu berjudul When We Fall Asleep, Where Do We Go?. Lagunya yang berjudul ”Bad Guy” pun ada di urutan pertama pada Billboard Hot 100.
Menurut Direktur Editorial Billboard Hannah Karp, Eilish telah mendisrupsi dunia hiburan melalui musiknya dan media sosial. Hal ini memberikan dampak yang tidak terhindarkan bagi zeitgeist budaya global.
”Kemampuannya berbicara pada generasi Z membuat remaja dan para dewasa muda merasa diterima oleh masyarakat,” kata Karp (billboard.com, 25/11/2019).
Di sisi lain, penyanyi Mariah Carey pun menorehkan prestasi baru melalui lagu ”All I Want for Christmas Is You”. Kendati lagu ini telah berusia 25 tahun, pesonanya tidak pudar. Lagu tersebut sering diputar di tempat publik pada musim libur, terutama menjelang Natal.
Guinness World Records pun menganugerahi Carey dengan tiga rekor dunia pada 25 November 2019. Lagu itu memecahkan rekor sebagai lagu liburan dengan chart tertinggi di Hot 100 oleh artis solo. Selain itu, rekor juga diberikan sebagai lagu Natal yang paling lama menduduki tangga lagu Inggris.
Adapun ”All I Want for Christmas Is You” menjadi lagu yang paling banyak didengarkan melalui Spotify selama 24 jam. Billboard mencatat, lagu itu telah didengarkan lebih dari 10,8 juta kali secara daring pada Desember 2018.
Prestasi Swift, Eilish, dan Carey bisa dibilang sebagai pintu menuju kesetaraan jender di industri musik global. Pasalnya, industri musik selama ini didominasi oleh musisi laki-laki.
Merujuk pada riset bertajuk ”Inclusion in the Recording Studio? Gender and Race/Ethnicity of Artists, Songwriters, and Producers across 700 Popular Songs from 2012-2018”, peran perempuan masih minim. Riset ini dilakukan Stacy L Smith beserta timnya, dan dipublikasi pada Februari 2019.
Riset tersebut merujuk pada pegiat musik yang karyanya masuk jajaran Hot 100 Billboard Chart pada 2012-2018 dan para nomine Grammy Awards. Ada 1.455 artis yang diteliti. Dari jumlah itu, persentase jumlah artis perempuan adalah 21,7 persen. Rasio jumlah perempuan terhadap lelaki adalah satu banding 3,6.
Sementara itu, persentase jumlah penulis lagu perempuan adalah 12,3 persen dan produser perempuan 2,1 persen.
Disparitas perempuan dan lelaki pun tampak pada ajang Grammy Awards 2013-2019. Mengacu pada riset yang sama, persentase nomine perempuan adalah 10,4 persen dan laki-laki 89,6 persen. Hal ini dikritik oleh publik pada Grammy Awards 2018 dengan julukan ”Grammys so male” atau dalam bahasa Indonesia berarti Grammy sangat laki-laki.
Grammy lantas merespons kritik itu dengan membuka ruang selebar-lebarnya bagi perempuan di Grammy Awards 2019. Pesan kesetaraan pun disampaikan secara lantang sepanjang acara. Salah satu pesan ini disampaikan Alicia Keys yang berlaku sebagai pembawa acara bersama Michelle Obama, Lady Gaga, Pinkett Smith, dan Jennifer Lopez.
”Apakah kita menyukai musik country, rap, atau rock, musik membantu kita untuk membagi diri kita, kesedihan dan harga diri, harapan dan kegembiraan kita. Memberi kita kesempatan untuk saling mendengarkan satu sama lain, mengundang satu sama lain untuk saling memahami. Musik menunjukkan kepada kita bahwa semua itu sangat penting,” kata Michelle.
Riset tersebut memaparkan sejumlah tantangan yang dihadapi musisi perempuan. Beberapa di antaranya kemampuan yang diabaikan (43 persen), mengalami stereotip dan menjadi obyek seksual (39 persen), serta kesulitan menavigasi industri musik (40 persen).
Pengamat musik Idhar Resmadi mengatakan, industri musik memang lekat dengan predikat sebagai dunia laki-laki. Pasalnya, para pegiat musik di depan dan belakang panggung kebanyakan adalah laki-laki, seperti musisi, manajer artis, produser, hingga teknisi suara.
”Sebenarnya, yang penting bukan hanya menempatkan perempuan sebagai musisi, tapi juga menempatkan mereka sebagai pelaku non-musisi. Misalnya, perempuan sebagai manajer atau teknisi perempuan. Peluang dan ruang buat perempuan perlu disediakan,” kata Idhar saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (3/12/2019) malam.