Banjarbaru’s Rainy Day Literary Festival selalu berkorelasi dengan gairah kehidupan kota.
Oleh
Putu Fajar Arcana
·5 menit baca
[caption id="attachment_11038322" align="aligncenter" width="602"] Peragawati dari Diyang Kinjut Sasirangan memegarakan rancangan dari kain khas Kalimatan Selatan batik sasirangan. Fashion show menjadi bagian yang menarik dalam perhelatan Banjarbaru\'s Rainy Day Literary Festival, 27 November - 1 Desember 2019 di Banjarbaru, Kalimantan Selatan.[/caption]
Puisi tak cuma milik para penyair, tetapi menyebar sampai ke kafe-kafe dan gedung-gedung tua peninggalan masa lalu. Wali Kota Banjarbaru Nadjmi Adhani secara khusus merenovasi Mess L, rumah hunian para ahli tambang dari Uni Soviet untuk menyambut para penyair dari seluruh Indonesia.
Mess L selama puluhan tahun dibiarkan terbengkalai, bahkan identik dengan rumah berhantu. Rumah ini tahun 1960-an digunakan oleh sejumlah ahli dari Uni Soviet (Rusia), yang mengemban misi mengembangkan industri besi baja di Indonesia.
Nadjmi Adhani secara khusus mengajukan pinjam pakai kepada Mabes TNI AU dan menjadikan mess berbentuk ”L” ini sebagai pusat aktivitas seni dan budaya. ”Renovasi termasuk untuk menyambut kehadiran dan menghormati para penyair di Banjarbaru,” kata Nadjmi Adhani, Jumat (29/11/2019), di Banjarbaru.
Penyair Wayan Jengki Sunarta, Raudal Tanjung Banua, dan Muhammad Subhan, yang menjadi 3 Penyair Terpilih, merasa terhormat dijamu di rumah bersejarah. ”Ini bukti keseriusan festival. Bukti kota yang menghargai sejarah,” kata Jengki Sunarta, penyair kelahiran Denpasar.
Raudal yang menetap di Yogyakarta juga terkesan terhadap cara Banjarbaru dalam menyambut para penyair. Ia mendengar setiap tahun lokasi penyelenggaraan berganti-ganti. ”Ini cara elegan memperkenalkan kota kepada para penyair. Tahun lalu, katanya, di hutan pinus tengah kota,” ujar Raudal.
Banjarbaru’s Rainy Day Literary Festival dimulai tahun 2017 di sebuah pasar senggol bernama Minggu Raya. Penyair senior HE Benyamine bersama para sastrawan Banjarbaru sejak lama telah mendirikan Pojok Puisi Minggu Raya Banjarbaru. Pojok puisi ini mewajibkan siapa pun, penyair atau bukan, yang berkunjung ke Minggu Raya untuk membaca puisi. Tahun 2018, aktris Sha Ine Febriyanti juga ”ditodong” untuk membacakan beberapa puisi.
”Beberapa pejabat setingkat menteri juga telah baca puisi di sini,” kata HE Benyamine.
Cara-cara itu, kata Nadjmi Adhani, bukan hal yang besar, tetapi semoga saja memberi dampak besar pada kota yang kini dipimpinnya. Festival ini, katanya, mengemban misi mengangkat martabat kebudayaan dan kemanusiaan.
”Pelan-pelan, dari setahun, dua tahun, sampai mungkin nanti 10 tahun, festival ini akan tetap jalan. Kita ingin menjadikan Banjarbaru sebagai kota puisi,” katanya saat membuka Banjarbaru’s Rainy Day Literary Festival. Festival yang diikuti puluhan penyair dari seluruh Indonesia ini berlangsung pada 28 November-1 Desember 2019.
Hal menarik lainnya, saat pembukaan, para peragawati dari Diyang Kinjut Sasirangan menampilkan rancangan-rancangan busana berbahan dasar kain khas Kalimantan Selatan, sasirangan. Peragaan itu, kata Plt Kepala Dinas Arsip dan Perpustakaan Banjarbaru Lesa Fahriana, menunjukkan potensi kekayaan budaya dari Banjarbaru. ”Kami tidak malu memperlihatkan apa yang kami punya kepada para penulis,” katanya.
Sebelum perayaan puncak festival, panitia melakukan panggilan terbuka kepada para penulis puisi untuk mengirimkan karya-karya mereka yang bertema ”Your are not a drop in the ocean. You are the entire ocean, in a drop”.
HE Benyamine mengatakan, tema itu diambil khusus dari puisi Jalaluddin Rumi, yang meletakkan posisi manusia (penyair) pada bagian penting dalam semua ekosistem hidup. ”Kami menerima sekitar 14.000 puisi dari 700 lebih penyair. Mereka dari pelosok Nusantara, termasuk Malaysia, Brunei, Singapura, dan Thailand,” kata Benyamine.
Puisi-puisi yang lolos kurasi kemudian dibukukan dalam antologi bertajuk ”When the Days Were Raining”, yang diterbitkan dalam dua bahasa Indonesia dan Inggris.
Musim hujan
Nadjmi Adhani mengatakan, musim hujan adalah saat-saat paling puitis dan produktif dalam hidup manusia. Selain itu, musim hujan menandai berseminya kreativitas pohon-pohon dan semua penghuni Bumi. ”Kita mulai musim tanam dengan bergairah, para penyair produktif menulis, semuanya bermanfaat untuk peningkatan peradaban,” katanya.
Meskipun tidak memiliki hubungan langsung, tambahnya, Banjarbaru kini tumbuh sebagai kota yang penuh gairah, salah satunya karena puisi yang dilantunkan para penyair. Dalam setahun terakhir terdapat geliat kehidupan di 90 titik sudut kota. Kafe-kafe tumbuh bak jamur pada musim hujan. ”Di sini anak- anak muda mengobrol sambil mengasah kreativitas,” kata Nadjmi.
Sastrawan Banjarbaru, Sandi Firly, melihat kafe-kafe yang kini banyak tumbuh di Banjarbaru merupakan kegairahan kreativitas baru anak-anak muda. Di dalamnya, anak-anak muda tidak hanya mengobrol, mereka juga bermain musik dan merancang sesuatu yang positif untuk pertumbuhan kota.
Ia yakin, kegairahan anak muda menjadi energi penting untuk menghidupkan sebuah kota. Pertumbuhan kreativitas di kota yang selama ini menjadi bayang-bayang Banjarmasin itu, ujar Sandi, dalam pengertian positif mengarah sebagaimana realitas di kota Bandung.
”Di sini banyak gedung tua peninggalan Belanda. Sekarang direnovasi dan direhabilitasi untuk menampung kreativitas anak-anak muda. Mirip Bandung, kan?” kata Sandi.
Cerpenis Rika, yang selama ini beraktivitas di Minggu Raya, merasa Banjarbaru tumbuh menjadi kota yang sehat secara fisik dan psikologis. ”Terutama setelah ada festival puisi Banjarbaru,” katanya.
Menurut dia, sebuah kota yang sehat dan beradab diukur dari seberapa besar memberi perhatian pada kebudayaan.
Rika juga yakin, puisi ibarat mantra yang memengaruhi sikap dan perilaku warga kota. ”Semakin sering dilantunkan, semakin bergema di pelosok kota dan semakin memberi fibrasi damai di hati warga,” ujarnya.
Contoh paling konkret, katanya, kota seperti Ubud, Bali. Sejak awal Ubud tumbuh dalam kepekatan kebudayaan. Jika kemudian Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) terus mendunia, itu karena energi yang diembuskan oleh kebudayaan sebelumnya. ”Banjarbaru bisa menjadi seperti itu. Modalnya ada,” kata Rika.
Begitulah musim hujan dirayakan secara riang dengan melantunkan bait-bait puisi. Para penyair bergantian mendedahkan kata-kata, yang mengagungkan kemanusiaan. Pelan-pelan niscaya Banjarbaru akan tumbuh menjadi kota yang berperadaban dan menjunjung tinggi martabat manusia.