Gerak, Rupa, dan Bunyi Berpadu
Seni kinetik memberikan kompleksitas keindahan. Di situ terselubung hukum alam tentang perubahan energi dan pencarian keseimbangan hingga melahirkan keindahan rupa, gerak, dan bunyi berpadu.
Limbah logam dari mobil rongsok, peralatan masak bekas, atau onderdil sepeda motor dihubungkan satu sama lain tanpa pengelasan. Rangkaiannya diberi tiga pasang roda, bentuknya menyerupai mobil.
Pada bagian-bagian tertentu ada yang bergerak dan berbunyi. Ada energi gerak yang dibangkitkan dengan listrik hingga menabuh benda tertentu dan melahirkan bebunyian ritmik. Seni kinetik karya Slamet Wiyono ini diberi judul ”Benalu” (2019), berdimensi 300 sentimeter (cm) x 140 cm x 90 cm.
Ada tulisan ”Happy Call” tertera jelas pada sebuah lempeng besi berwarna merah. Itu benda bekas wajan yang dipampang Slamet menjadi bagian dari karyanya.
Besi-besi berbentuk spiral, gir, atau lingkaran lempeng besi bergerigi dan velg roda dirangkai sedemikian rupa hingga memenuhi bagian lain. Slamet sengaja tidak mengelas atau mengubah bentuk asli dari benda-benda terserak itu. Baut digunakan Slamet untuk menempelkan satu benda ke benda yang lain.
”Meskipun karya ini disebut ’Benalu’, senimannya ingin menggambarkan benda yang saling terhubung tanpa pengelasan itu seperti tubuh kita,” ujar Asikin Hasan, dosen Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung (ITB), Kamis (12/12/2019).
Bersama tujuh seniman lain, Slamet memamerkan karya seni kinetiknya itu dalam Pameran Daur Kinetik di Museum Seni Rupa dan Keramik, Jakarta, 1-15 Desember 2019. Asikin menjadi kurator pameran ini.
Ketujuh seniman lain meliputi Abshar Platisza, Edwin Rahardjo, Ihsanul Fikri, Muhammad Syafri, Septian Harriyoga, Tyto Mulyono, dan Widi Utomo. Seni kinetik di Indonesia tergolong masih jarang dipamerkan secara khusus seperti kali ini.
Jejak modernitas
Melalui karya Slamet Wiyono, istilah benalu mengacu pada karakter yang selalu disingkirkan. Namun, beragam jenis benda lain yang menjadi sampah itu sebetulnya dapat dimanfaatkan kembali.
”Karya-karya yang dipamerkan itu banyak yang mengambil benda-benda terserak dalam kehidupan kita sebagai jejak modernitas,” ujar Asikin.
Memungut dan merancang benda-benda terserak, selain untuk menghadirkan keindahan seni kinetik yang baru, juga mengawetkan bekas produk teknologi modern pada era tertentu itu. Karya seni kinetik semacam ini juga layaknya karya seni lukis yang berhasil merekam zamannya.
Jejak modernitas bisa terendus lewat sebuah karya instalasi yang menggunakan material seperti dilakukan Slamet.
Karya seni kinetik lain karya Septian Harriyoga berdimensi 50 cm x 60 cm diberi judul ”Padalarang” (2018), berbahan duralium, kuningan, dan batu kuarsa. Septian membuat potongan-potongan material tersebut bergerak.
Ia menggunakan duralium dari logam sayap pesawat terbang. Komponen logam itu ringan, tetapi sangat kuat. Kemudian rancangannya dipadukan dengan bahan logam kuningan dan batu kuarsa.
Judul ”Padalarang” ini mengacu pada sebuah kawasan di Jawa Barat. Asikin memaparkan, melalui karya itu, Septian merujuk kawasan Padalarang yang memiliki kekayaan bahan tambang batu kuarsa atau silika.
Septian ingin menunjukkan kontras material dari alam. Ada nuansa permenungan tersendiri dengan melihat kontras tersebut. Ada batu kuarsa, kuningan, hingga duralium yang digunakan untuk sayap pesawat terbang.
Seniman-seniman lain dengan ragam corak temuan material serakan lain menghadirkan nuansa lain. Ihsanul Fikri menyuguhkan karya yang diberi judul ”Skeptis” (2019), berdimensi 70 cm x 15 cm x 60 cm, berbahan material logam terserak atau limbah logam.
Widi Utomo memberi judul karyanya ”Denotasi Kendali” (2019), berdimensi 20 cm x 28 cm x 70 cm, dengan media campuran. Abshar Platisza menyuguhkan karya yang diberi judul ”Dalam Memalarkan Kementakan” (2019) dengan media aluminium dan elektronik.
Efek bayang
Seniman Edwin Rahardjo mengetengahkan karyanya yang diberi judul ”Light Rhythm” (2012) yang berdimensi 185 cm x 63 cm x 45 cm. Edwin menggunakan media campuran.
Rancangan bangunan karya itu tegak. Ada potongan-potongan sirip di kiri dan kanan batang pokoknya. Pada batang pokok itu diatur sebuah instalasi elektronik yang bisa menggerakkan sirip-sirip itu.
Rancangan bentuk itu disinari lampu terang. Ketika sebuah saklar dinyalakan, sirip-sirip itu bergerak dan diterpa sinar lampu hingga membentuk bayang-bayang yang bergerak.
”Ini konsep seninya sederhana, seperti membentuk bayang-bayang pada seni wayang. Tetapi, bayangan yang terjadi di sini berupa bayangan yang bergerak,” ujar Asikin.
Ia menengarai, perkembangan dunia seni kinetik saat ini memperluas dengan teknik cahaya atau bayangan. Selain menghadirkan seni rupa, gerak, dan bunyi, efek cahaya atau bayangan makin melengkapi kompleksitas keindahan yang dibawa oleh seni kinetik ini.
Pengembangan lain dengan teknik robotika dipadu teknologi lain, seperti di bidang teknologi aplikasi dengan ponsel atau telepon seluler. Seniman Tyto Mulyono menghadirkan karyanya, ”Kendang Arguino” (2018), dengan media kendang berbagai ukuran dan pengontrol elektroniknya.
Kendang merupakan alat musik tradisional dengan seni tabuh. Selama ini, permainannya secara manual oleh manusia.
Tyto merancang permainan musik ini secara elektronik. Bahkan, pengembangannya menggunakan aplikasi Android untuk memainkan alat musik kendang secara digital.
Kendang itu ditata sedemikian rupa. Ada alat penabuh yang dihubungkan dengan mesin pengontrol elektroniknya. Ini seperti pengembangan robotika untuk memainkan alat musik tradisional.
Pameran Daur Kinetik ini telah memberi ragam pengembangan seni. Perpaduan seni rupa, gerak, dan bunyi itu terus berlangsung dan berkembang.