Keajaiban Itu Bernama Keik
Pada seloyang keik hangat keemasan yang baru keluar dari pemanggang, ada selaksa cerita. Tentang penaklukan, kontemplasi, berbagi, dan tentu kebahagiaan.
Pada seloyang keik hangat keemasan yang baru keluar dari pemanggang, ada selaksa cerita. Tentang penaklukan, kontemplasi, berbagi, dan tentu kebahagiaan. Seperti judul film lawas, ”Cinta dalam Sepotong Roti” karya sutradara Garin Nugroho, ada cinta dari sang pembuat keik untuk penikmatnya.
Hampir setiap akhir pekan, dapur di rumah Deputi Gubernur Bidang Pengendalian Kependudukan dan Permukiman DKI Jakarta Suharti Sutar tak sepi dari kegiatan memanggang keik. Seperti pada Minggu (8/12/2019), oven utama dari tiga oven di dapur bekerja keras dari siang hingga sore.
Memakai celemek, ia sibuk mengolah adonan, menarik roti yang sudah matang dari panggangan, hingga menjelaskan cara membuat lima jenis keik yang diolahnya seharian itu.
Di meja kayu panjang tak jauh dari pemanggang, beberapa rekan Suharti mencoba membuat japanese cheesecake. Ketika mereka sudah membuat adonan dari tepung dan telur, Suharti membalik mangkuk kaca yang penuh adonan. ”Kalau tepat bikinnya, adonan dibalik enggak tumpah,” ujarnya, diiringi tepuk tangan serta seruan ”magic!” dari para ”muridnya”.
Sejak pembuat keik pertama dikenal hingga sekarang, pembuatan keik serasa seperti sihir. The Guardian, 9 Juni 2010, dalam artikel ”The Science of Cake” menyebutkan, ahli pembuat keik yang pertama dikenal kemungkinan adalah orang Mesir kuno. Saat itu, mereka membuat roti dengan telur, lemak, dan madu untuk menciptakan esensi keik, yakni rasa yang kaya serta manis.
Ada nuansa sains dalam membuat keik, tetapi bolehlah kita merasa telah melakukan sihir. Betapa tidak, dari tepung, telur, gula, dibuat adonan, dimasukkan oven, lalu sim salabim... jadilah keik.
Keik yang kita kenal sekarang, kata artikel itu, muncul pada abad ke-18 dan ke-19. Di Indonesia, menurut pakar kuliner William Wongso, masyarakat berkenalan dengan roti pada era penjajahan Belanda. ”Roti berperan sebagai kudapan, bukan makanan utama. Belanda bikin dengan proses yang kuno, yaitu proses pembuatan semalaman,” ujarnya.
Kecintaan pada pembuatan roti, kue, atau keik yang tumbuh subur sekarang, imbuh William, merupakan bagian tren gaya hidup. Tingginya minat ini bisa dilihat dari menjamurnya tutorial membuat kue di beragam platform internet.
Seperti Suharti, ia belajar membuat roti dari Youtube, kursus daring di Facebook, dan koleksi buku roti. Berkat ketelatenannya, ia bisa membuat roti sourdough dengan ragi alami ramuan sendiri. Harum sourdough saat dipanggang memenuhi rumahnya sore itu, bikin lidah ingin segera mencicip.
Mereka yang membuat kue sebagai hobi semata, tanpa motivasi bisnis, rata-rata belajar sendiri dari internet. Penulis buku Simple and Moist Cake, Tintin Rayner, mencermati tanya jawab soal baking di mesin pencari. Dia juga membaca banyak buku dan blog dari luar negeri. Penulis Homemade Baking, juga pemilik blog Just Try and Taste, Endang Indriani, pun belajar sendiri dari internet dan buku resep. Adapun Ni Komang Arianti, karyawan swasta, menonton acara memasak di televisi sebagai inspirasi.
Teman rapat
Tak sekadar hobi, bagi mereka, membuat keik adalah soal kebahagiaan untuk diri dan orang lain. Suharti gemar memasak sejak kecil karena wajib memasak bagi orangtua dan keempat saudaranya. Hobi membuat keik sudah lama dijalani, tetapi kecintaan membuat roti baru dilakoni mulai 2017. ”Relaxing. Aku senang lihat orang senang makan enak,” ujarnya.
Dia mempunyai kebiasaan membagi kue dan roti buatannya untuk rekan-rekan di kantor. Pada Senin pagi, empat baki roti dan kue biasanya sudah siap disantap bersama sembari rapat.
Kecintaannya pada baking tergambar dari lemari yang memenuhi dinding dapur, penuh sesak dengan bahan roti dan kue, hingga wadah kertas untuk memanggang roti. Wadah kertas panneton, misalnya, hanya bisa dibeli di Eropa. ”Kalau saya, branded item yang dibeli di luar negeri, ya, bahan roti. Ini buat mainan, bukan bisnis. Ini hobi,” katanya.
Beberapa orang menawarkan agar roti dan keik buatannya dijual di kafe, tetapi Suharti menolaknya.
Bagi Komang, membuat keik merupakan cara untuk bahagia, rileks, dan santai. Ada kesenangan tertentu saat berhasil, mirip orang yang gemar meditasi atau yoga. ”Dari baking, kita bisa belajar kontemplasi, fokus, dan mengatur waktu karena perlu menyiapkan bahan, menakar, memarut atau mencacah, atau melumerkan bahan. Juga kreativitas, keik itu mau diapakan,” paparnya.
Dia mempunyai weekend baking project, membuat keik saat akhir pekan untuk dibawa ke kantor pada Senin atau acara lain. Banyak rekan atau kenalan yang lalu memesan kue meski tak ada motivasi bisnis. Lebih untuk investasi networking.
”Cake bisa menjadi social bridging, ice breaking. Buat bahan obrolan. Sambil ngopi atau ngeteh makan tiramisu. Ngobrol jadi lebih cair,” ujar Komang.
Ia banyak belajar baking dari teman, bertukar resep, barter ilmu. Komang mengajari temannya bikin tiramisu, si teman mengajarkan cara membuat panna cotta. Ia memodifikasi, menyubstitusi bahan, dan menemukan kiat yang sesuai dengan bahan serta lidah orang Indonesia.
”Bikin kue itu menarik. Bahan bisa diukur, mikser juga bisa diukur. Namun, ada yang harus memakai intuisi. Benar kalau ada yang bilang, bikin kue itu it’s an art,” lanjut Komang.
Penasaran
Selain berbagi, baking bagi Tintin Rayner adalah soal ”penaklukan”, menaklukkan resep. ”Kalau bikin kue gagal, hal itu bikin penasaran. Dua sampai empat kali gagal, ulangi lagi. Orang lain bisa, kenapa kita tidak,” kata Tintin yang tinggal di Semarang, Jawa Tengah.
Pantang bagi dia menyalahkan resep. Justru dari kegagalan, dia bisa belajar: mungkin mengaduknya kurang lama, mungkin miksernya kurang pas. ”Saya sudah meletusin tiga mikser demi eksperimen,” kata Tintin seraya tertawa.
Tantangan itu menyemangati Tintin untuk terus membuat kue. Setiap keberhasilan menambah kepercayaan dirinya mencoba resep baru karena dia benar-benar mulai dari nol.
Pada 2014, bermula dari mencari kesibukan sebagai ibu rumah tangga, dia mulai belajar membuat keik. ”Pertama kali bikin bolu kukus, gagal. Lalu coba resep-resep lain setelah berhasil. Saat mencoba, saya bisa dalam satu minggu hanya bikin satu resep, misalnya bolu gulung saja. Sampai bosan, ha-ha-ha,” ujarnya.
Setiap keik membutuhkan perlakuan khusus, di situlah serunya, menurut Tintin. Dia pernah mencoba 7-8 resep keik red velvet yang berbeda. Keberhasilan itu dia bagikan di Instagram @tintinrayner, lengkap dengan foto setiap tahapan. ”Jadi, saya bisa bilang resep ini sudah teruji, antigagal. Asal langkah-langkahnya diikuti secara rinci,” papar Tintin.
Berbagai resep yang dibagikan itu ternyata mendapat respons bagus. Banyak umpan balik yang dia dapatkan. Tak sedikit di antara pengikutnya membuka toko roti sendiri. Hal semacam itu membuat Tintin kian bersemangat membuat kue dan membagikan resep.
Hingga tahun 2017, dia ditawari untuk membukukan resep-resep tersebut. Lahirlah buku Simple and Moist Cake yang sudah 20 kali dicetak ulang. ”(Membuat kue) Memang makan waktu, tenaga, uang. Kalau hanya disimpan, enggak berguna,” katanya.
Sebelum menceburkan diri mencoba aneka resep, baking bagi Endang adalah sesuatu yang susah dan ribet. Namun, semakin tinggi jam terbang, baking justru lebih mudah karena jenis dan komposisi bahan yang jelas serta takarannya yang presisi. Jadi, tiap orang yang mempraktikkan satu resep akan menghasilkan rasa yang hampir sama.
Rasa deg-degan kala menunggu keik keluar dari oven atau roti mengembang saat proofing adalah sensasi nikmat. ”Saat keik, roti, atau cookies yang dihasilkan sukses, ada kebanggaan dan kenikmatan tersendiri karena bisa menghasilkan makanan lezat dengan tampilan layak,” ujarnya.
Ketika pertama kali belajar, Endang kurang teliti menerapkan resep yang akan dicoba. Aneka resep dengan gambar menarik langsung dicoba dan berakhir gagal. Pernah ketika membuat choco chips cookies, adonannya lumer selebar loyang, tak berbentuk cookies bulat dan cantik.
”Untuk menyelamatkan muka, seloyang cookies itu saya sembunyikan di lemari pakaian hingga tante yang membantu memasak pulang,” katanya mengenang.
Endang juga membuat keik saat akhir pekan karena masih bekerja sebagai karyawan swasta. Dia mempersiapkan bahan, mengolah, memotret semua proses, dan mengunggah hasil akhirnya di blog.
Dia sudah melahirkan lima buku memasak, satu di antaranya Homemade Baking berisi resep-resep yang pernah dibagikan di blog. ”Harapan saya, semua resep itu bisa bermanfaat bagi banyak pihak. Saya bahagia jika resep-resep ini menjadi jalan membuka usaha yang bisa membantu perekonomian keluarga,” ujar Endang.
Seperti kata penulis AS, Dean Koontz. Where there is cake, there is hope. And there is always cake....