Dari Sangiran ke Senayan
Seniman pasangan suami-istri, Irwan Ahmett dan Tita Salina, menghadirkan lecture performance atau sebuah ceramah yang berada di ambang imajinasi seni dan akademik.
Seni pertunjukan kontemporer makin mendapati kelengkapannya. Seniman pasangan suami-istri, Irwan Ahmett dan Tita Salina, menghadirkan lecture performance atau sebuah ceramah yang berada di ambang imajinasi seni dan akademik.
Irwan menggenggam sebuah batu berwarna keputihan. Itu bukan sembarang batu karena Irwan menyebutnya sebagai batu kapak genggam yang pernah digunakan Homo sapiens yang hidup 700.000 sampai 1 juta tahun lalu di Sangiran, Jawa Tengah.
”Batu kapak genggam dari Sangiran ini masih tajam,” ujar Irwan, seraya menyayatkan berulang ke kulit lengan tangan kirinya, ke bagian tengkuk dan leher, juga ke bagian mukanya.
Penonton ada yang sempat berteriak ngeri. Irwan meletakkan batu itu, dan beralih ke batu lainnya. Bentuknya mirip seperti batu kapak genggam tadi, tetapi berukuran jauh lebih kecil. Batu kapak kecil itu fungsinya untuk menguliti binatang.
Sekejap kemudian Irwan membuka lembaran dari sebuah buku. Ia menunjukkan potongan-potongan tipis, yang ternyata itu potongan kulit dari tubuhnya.
”Kulit-kulit ini ingin saya jadikan wayang kulit. Tetapi, jumlahnya masih terlampau sedikit, mungkin saat ini hanya mampu untuk membentuk bagian kumisnya saja,” kata Irwan, yang pernah menempuh studi di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) ini.
Irwan menawarkan, barangsiapa hendak menyumbangkan bagian kulitnya agar menghubunginya. Penonton pun tertawa menyambut gurauan satire tersebut.
”Dari Sangiran, mari kita ke Senayan,” ujar Irwan tiba-tiba, seraya menunjukkan gambar melalui layar video yang cukup lebar berupa tumpukan-tumpukan batu di area Gedung Parlemen di Senayan, Jakarta, belum lama ini pada 2 Oktober 2019.
Batu-batu itu menjadi arsip kekerasan atas demonstrasi beberapa hari sebelumnya. Demonstrasi itu menolak suatu rancangan perundang-undangan yang berlangsung 24-25 September dan berlanjut 30 September 2019 di seputaran Gedung Parlemen.
Irwan dan Tita memampatkan waktu demi berimajinasi tentang batu dan manusia. Dari batu-batuan yang dimanfaatkan untuk proses mengolah bahan pangan manusia purba Homo sapiens di Sangiran, kemudian melompat ke masa kekinian tentang batu yang digunakan para demonstran di Gedung Parlemen.
Dari Sangiran ke Senayan, sebuah satire ironi peradaban manusia. Lecture performance Irwan dan Tita bertajuk ”Bagaikan Jambret di Kapitalistiwa-Arsip Kekerasan”, ditampilkan di Auditorium Goethe-Institut, Jumat (20/12/2019).
Irwan dan Tita membongkar arsip kekerasan di Tanah Air dan sedikit yang berkaitan terjadi di negara tetangga, Malaysia dan Thailand. Mereka membikin alur perbincangan tentang kekerasan dengan narasi perjalanan dari Jakarta ke Bangkok, Thailand, yang ditempuh pada 2-12 Oktober 2019.
”Seperti kekerasan dengan batu-batu yang ada di Gedung Parlemen. Batu-batu itu menjadi arsip kekerasan. Di situ ada kesadaran,” kata Irwan.
Tabu diperbincangkan
Selama ini narasi kekerasan dianggap tabu. Irwan dan Tita beranggapan, ketika kekerasan menjadi tabu diperbincangkan, justru itu menyeramkan.
Kekerasan yang tidak diungkap dan tidak diperbincangkan akan memunculkan konstruksi yang melahirkan lisensi moral. Kekejian ditutupi dengan usaha-usaha moralitas, seperti membangun tempat ibadah di ladang pembantaian oleh orang yang sebelumnya melakukan kekejian tersebut.
Kekerasan yang tidak diperbincangkan juga melanggengkan dehumanisasi. Korban selamanya tidak dianggap sebagai layaknya manusia yang harus dihormati kesetaraan hak hidupnya.
”Melalui pementasan ini, kami ingin mendialogkan arsip kekerasan yang selama ini dianggap tabu,” ujar Tita, dalam perbincangan sehari sebelum pentas.
Irwan menyebutkan, ada tiga landasan kekerasan yaitu berupa mitos, kekerasan atas kekuasaan manusia, dan faktor alam. Beberapa mitologi pernah melanggengkan kekerasan, misalnya dalam ritual pengorbanan manusia.
Kekerasan atas kekuasaan manusia melatari beragam persoalan sosial politik. Kekerasan demi kekerasan oleh pihak yang lebih berkuasa kerap diatasnamakan sebagai usaha pembenaran.
Kekerasan yang ketiga, berlandaskan faktor alam berupa bencana alam. Landasan terjadinya kekerasan yang tidak dapat diantisipasi dengan baik itu tipikal terjadi di negara-negara berkembang seperti di Indonesia.
Irwan dan Tita berbasis seni desain. Beberapa tahun terakhir kerap menampilkan seni performans kontemporer dengan ragam isu sosial politik, lingkungan hidup, masalah urban, atau jender. ”Bagaikan Jambret di Kapitalistiwa” menjadi seni pertunjukan kontemporer kali ini.
Dituliskan di dalam lembar informasinya, ”Di saat situasi terkunci, kekerasan dipilih sebagai jalan keluar, kolektif atau perseorangan, menjadi bayangan kekal. Apabila kekerasan diumpamakan sebagai kembar siam peradaban, mereka menjumpainya untuk berjabat tangan mengajaknya berbincang.”
Narasi demi narasi kekerasan yang diperbincangkan, hendaknya melahirkan adab baru, adab yang lebih baik dari masa lalu dan sekarang.
Perjalanan
Pada 2 Oktober 2019 blokade kepolisian di daerah rawan seperti area gedung Parlemen masih terjadi. Irwan dan Tita berjalan kaki menerobos blokade-blokade dan berhasil menyusuri area Gedung Parlemen.
”Kami berjalan seperti memulung di area bekas demonstrasi yang sebelumnya terjadi diwarnai kekerasan,” ujar Irwan.
Ada yang mengumpulkan batu-batu yang semula berserak untuk aksi pelemparan. Irwan meyakinkan diri dengan menelisik batu-batu yang gompal itu diperkirakan menumbuk atau beradu dengan benda keras, saat usai dilemparkan. Irwan dan Tita juga masih menjumpai bekas tabung gas air mata.
Dari Senayan, mereka melanjutkan perjalanan dengan bus menuju Labuhan, Banten. Mereka menyaksikan ”kekerasan” alam berupa tsunami atas letusan Gunung Anak Krakatau pertengahan tahun 2019 ini.
”Beberapa waktu setelah Gunung Krakatau meletus tahun 1883, ada penusukan oleh warga terhadap dua orang kolonial Hindia Belanda. Beberapa waktu setelah letusan Gunung Anak Krakatau 2019, juga ada penusukan oleh warga kepada Wiranto, Menkopulhukam,” tutur Irwan.
Mereka lalu ke Pelabuhan Merak untuk menyeberang menuju Lampung. Kemudian mereka menuju Palembang, tempat bekas imperium Kerajaan Sriwijaya sampai kini masih meninggalkan ”harta karun” arsip kekerasannya melalui senjata-senjata logam, seperti mata anak panah dan tombak, yang ditemukan di dasar Sungai Musi.
Mereka lalu ke Pekanbaru, Dumai, kemudian berlayar menyeberangi Selat Malaka menuju Melaka, Malaysia. perjalanan berlanjut ke Kelantan dan masuk Thailand Selatan lewat Pattani. Perjalanan itu untuk mengurai arsip beragam kekerasan.
Irwan mengakhiri performans dengan mengajak audiensi ke panggung. Satu per satu hadirin dipersilakan melihat kilatan cahaya dengan tabung pengintai.
Ini dimaksudkan sebagai intervensi dengan rangsangan cahaya masuk ke otak melalui saraf retina. Harapannya, memengaruhi otak kita untuk menolak dan menghindari kekerasan-kekerasan berikutnya.