Phitsanulok dan Phetchabun
Predikat sebagai kota transit pada Phitsanulok terkadang membuat pelancong lupa meluangkan waktu menjelajahinya. Percayalah, kota di bagian utara Thailand ini menyimpan wisata elok yang sayang jika dilewatkan.
Di kalangan turis, kota berpenduduk setidaknya 80.000 orang ini memang lebih dikenal sebagai titik persinggahan bagi mereka yang hendak melancong ke situs warisan dunia UNESCO di Sukhothai, kota tua sekitar 80 kilometer di barat Phitsanulok.
Berjarak sekitar 390 kilometer dari ibu kota Thailand, Bangkok, perjalanan menuju Phitsanulok, yang juga merupakan ibu kota Provinsi Phitsanulok, bisa ditempuh menggunakan moda transportasi darat atau udara.
Jika menggunakan bus atau kereta, perjalanan memakan waktu sekitar lima jam. Saya sendiri memilih berangkat ke Phitsanulok dengan pesawat. Pada Senin (5/8/2019), saya menempuh penerbangan sekitar 55 menit dari Bandar Udara Internasional Don Mueang, Bangkok, menuju Bandar Udara Phitsanulok.
Setibanya di Bandar Udara Phitsanulok pada pukul 09.45, sejumlah pengemudi taksi di gerbang keluar menawarkan jasanya mengantar ke pusat kota. Namun, pada perjalanan kali ini saya dijemput seorang kawan asal Phitsanulok, Jirasin Sriumpai, yang siap menunjukkan seluk-beluk kota kelahirannya.
Pukul 10.40 Menyantap kuliner lokal
Natty, panggilan akrab Jirasin, langsung menancap gas mobil menuju Huean-Kam, restoran di pusat kota yang populer di kalangan penduduk lokal. Setibanya di sana, kami memesan berbagai hidangan khas Thailand, mulai dari ayam goreng, pasta kepiting pedas, salad ikan cincang pedas, hingga ketan sebagai penutup.
Secara kasatmata, menu-menu yang disajikan begitu mirip dengan masakan-masakan yang pernah saya santap di Bangkok dan Indonesia. Namun, saat lidah mencicipi hidangan di atas meja itu, perpaduan rempah-rempah yang segar dan rasa pedas menimbulkan ragam rasa yang kaya.
Ohm Sarapong, seorang kawan asal Thailand, memang pernah berpesan kepada saya, ”Kalau mau merasakan cita rasa khas Thailand, sempatkan wisata kuliner ke kota-kota di luar Bangkok. Sebab, masakan di Bangkok kerap dimasak secara terburu-buru karena kesibukan penduduknya.”
Setelah perut tak lagi keroncongan, Natty menyarankan untuk menyambangi destinasi wisata di provinsi tetangga. Ia memberi dua pilihan, Provinsi Sukhotai di barat Phitsanulok atau Provinsi Phetchabun di timur Phitsanulok.
Pukul 13.00 Kuil tersembunyi
Pilihan akhirnya jatuh pada Distrik Khao Kho, Provinsi Phetchabun, setelah saya diberi tahu tentang keberadaan kuil unik yang tersembunyi di atas bukit: Wat Pha Sorn Kaew. Dengan mengendarai mobil, kami menempuh perjalanan sekitar 76 kilometer dari pusat kota Phitsanulok dalam waktu hanya sekitar satu jam. Jelas, ini karena tak ada kemacetan seperti di Bangkok.
Baru memasuki area parkir Wat Pha Sorn Kaew, saya sudah dibuat terkesima oleh keberadaan lima patung Buddha putih raksasa. Patung Buddha yang semakin ke belakang ukurannya semakin membesar saling menempel dalam kondisi duduk bermeditasi memandang lembah.
Kuil ini berbeda dengan yang saya kunjungi di Bangkok, yang didominasi warna keemasan. Di Wat Pha Sorn Kaew, pelataran dan bangunan kuil dihiasi mozaik spiral warna-warni yang terbentuk dari jutaan pecahan tembikar dan potongan-potongan teko serta cangkir.
Konon, tempat ini selesai didirikan pada 2004 dan dikenal sebagai situs suci Buddha Pha Sorn Kaew. Lokasi tersembunyi itu dipilih karena dikelilingi lembah hijau indah yang bisa membuat meditasi semakin khusyuk. Kemudian, pada 2010, situs suci itu dinaikkan statusnya menjadi kuil.
Hingga kini, Wat Pha Sorn Kaew telah dilengkapi aula ibadah, pagoda, dan taman-taman. Kuil ini menjadi tempat para biksu dan umat Buddha bermeditasi dan berkontemplasi. ”Pemandangan indah mendorong umat Buddha untuk sering mengunjungi Wat Pha Sorn Kaew guna memanjatkan doa kepada Buddha,” ujar Natty.
Sayangnya, Wat Pha Sorn Kaew belum populer sebagai destinasi wisata. Akibatnya, belum ada transportasi umum yang bisa mengangkut wisatawan ke sana. Untuk mencapai lokasi tersebut, wisatawan harus menyewa kendaraan atau mendaftar tur pribadi.
Pukul 15.30 Wat Yai
Belum puas dengan kuil di Phetchabun, saya meminta Natty mengantarkan saya ke kuil di Phitsanulok. Menurut dia, setidaknya ada tiga kuil yang wajib ditengok jika sedang berada di Phitsanulok, yakni Wat Phra Si Rattana Mahathat, Wat Ratburana, dan Wat Chulamani.
Mengingat waktu yang terbatas, kami hanya mengunjungi satu kuil, yakni Wat Phra Si Rattana Mahathat. Kuil yang juga disebut warga lokal sebagai Wat Yai (kuil besar) ini merupakan warisan berharga peninggalan era Sukhotai bagi kota dan Provinsi Phitsanulok.
Di Wat Yai terdapat Phra Phuttha Chinnarat, patung Buddha duduk perunggu yang dipercaya bisa membawa kesuksesan hidup jika berdoa di hadapannya. Kuil tersebut terletak tepat di pusat kota, yakni di tepi Sungai Nan dan dekat pusat pemerintahan Phitsanulok.
Saat kami tiba sore itu, ratusan umat Buddha tengah memanjatkan doa. Tampak pula belasan wisatawan mancanegara mengamati prosesi ibadah tersebut. ”Wisatawan boleh mengabadikan prosesi ibadah ini lewat foto, tetapi fotonya harus sambil duduk, tidak boleh berdiri,” terang Natty.
Pukul 17.30 Menyusuri Sungai Nan
Sebelum matahari terbenam, kami berjalan santai menyusuri Sungai Nan. Tempat itu menjadi salah satu titik favorit penduduk Phitsanulok melepas penat pada pengujung hari atau hari libur.
Di sana, anak-anak bisa bermain di taman Chom Nan Chaloem Phrakiat. Taman yang terletak di jantung kota itu juga menjadi tuan rumah dari berbagai festival yang diselenggarakan sepanjang tahun.
Di sekeliling tepi Sungai Nan terdapat trek lari yang selalu dimanfaatkan warga untuk berolahraga, termasuk sore itu. Ratusan orang berlari diiringi lagu yang dilantunkan seniman jalanan di sana.
Jika berkesempatan hadir pada bulan September, wisatawan dapat menyaksikan Lomba Perahu Panjang Tradisional Phitsanulok yang diselenggarakan di Sungai Nan, tepatnya di depan Wat Yai. Lomba perahu panjang itu diselenggarakan bertepatan dengan berbagai upacara keagamaan, seperti upacara persembahan jubah dan penggantian jubah patung Buddha Phra Phuttha Chinnarat.
Langkah kami terhenti di depan sebuah kedai modern di tepi sungai di Jalan Wang Chan. Malam itu, kami kembali dimanjakan dengan masakan Thailand yang kaya rempah, kali ini sambil menikmati suasana Sungai Nan yang membuat hati tenteram.
Pada malam hari, wisatawan juga bisa melanjutkan petualangannya dengan berbelanja di pasar malam yang terletak di Jalan Puttabucha di tepi Sungai Nan. Seperti pasar malam pada umumnya di Thailand, pasar malam di Phitsanulok juga menawarkan variasi jajanan kaki lima, kafe, tempat pijat, dan toko suvenir.
Malam itu saya tutup dengan keyakinan bahwa Phitsanulok menjadi destinasi yang tepat untuk melarikan diri dari keruwetan Bangkok atau kota besar lainnya. Masih banyak yang ditawarkan kota itu. Di antaranya adalah museum dan keindahan alam. Semoga ke depannya, Phitsanulok tidak dipandang hanya sebagai kota transit, tetapi juga kota yang layak diperhitungkan sebagai tempat berwisata.