Aku Peduli maka Aku Ada
Kini, dunia konsumsi berkelindan dengan berbagai gerakan bermisi kepedulian untuk dunia yang lebih baik. Dulu, aku belanja maka aku ada. Sekarang, aku peduli maka aku ada.
Wajah dunia konsumsi kaum urban kini menampakkan rona yang berbeda. Mengonsumsi bagi mereka tak lagi sedangkal soal gengsi kelas, lewat aneka barang bermerek dari kepala hingga kaki. Kini, dunia konsumsi berkelindan dengan berbagai gerakan bermisi kepedulian untuk dunia yang lebih baik. Dulu, aku belanja maka aku ada. Sekarang, aku peduli maka aku ada.
Dalam sebuah video pendek, Melati (11) tampak memasang ekspresi wajah jenaka dengan alis yang dinaik-naikkan beberapa kali. Gadis kecil itu tampak menikmati agenda akhir pekannya di suatu Sabtu siang November lalu, berburu baju dan sepatu bekas bersama ibunya, Kissy Truchanowicz, di Goodwill Outlet, di Long Island City, New York, Amerika Serikat.
Di sekitar Melati berdiri terlihat bak-bak besar biru tua berisi baju-baju yang tersebar di seluruh penjuru aula amat luas. Orang-orang mengaduk-aduk bak mencari baju atau perlengkapan pakaian yang dijual secara kiloan.
Kissy, orang Indonesia yang lama tinggal di AS itu, sengaja merekam video momen tadi dengan ponselnya. Sekian dekade lalu, membeli baju bekas mungkin sekadar karena pertimbangan ekonomis dan orang cenderung enggan mengungkapkannya. Namun, bagi Kissy, membeli baju bekas merupakan tindakan mulia untuk menyelamatkan planet kita.
”Aku sendiri sebenarnya sudah terbiasa dari kecil pakai baju bekas dari Mama atau saudara. Prinsip di keluargaku, baju yang masih bisa dipakai jangan gampang terbuang. Nah, sekarang kebiasaan itu makin beralasan. Sampah baju, seperti di Amerika ini, sudah berlebihan sekali. Kalau kita membeli baju preloved, akan lebih ramah lingkungan. Anak-anakku sudah paham isu seperti ini, paham alasan kenapa kita selalu beli barang bekas,” ungkap Kissy.
Seperti kata Emma Watson, bintang film muda Hollywood yang cerdas itu, pada setiap baju baru ada tapak karbon yang signifikan yang melekat dalam proses produksinya. Namun, baju-baju bekas atau vintage tiada membutuhkan energi baru untuk memproduksinya. Watson memang belakangan getol mempromosikan isu keberlanjutan lingkungan.
Tak sekadar baju bekas, Kissy pun selalu berupaya membeli kebutuhan lain sehari-hari yang serba ramah lingkungan, mulai dari perawatan tubuh hingga rumah tangga. Anak-anaknya pun terbiasa membaca daftar bahan pada setiap kemasan produk. Jika ada kandungan palm oil alias minyak sawit, produk itu dikembalikannya ke rak penjualan. Batal dibeli.
Outlet Goodwill tempat Kissy dan anak-anaknya berbelanja juga bukan sekadar outlet barang bekas biasa. Selain berupaya meretas masalah lingkungan sampah mode, Goodwill juga bermisi sosial memberdayakan kalangan disabilitas.
Organisasi nonprofit ini menyediakan pelatihan, penempatan kerja, dan aneka program pemberdayaan lain bagi komunitas disabilitas dalam rangka mendapatkan pekerjaan. Hasil penjualan dari baju-baju yang didonasikan ke Goodwill digunakan untuk menggerakkan agenda sosial tersebut. Prinsip model bisnisnya adalah planet, people, performace.
Sama seperti Kissy, orang Indonesia lain yang juga tinggal di AS, Turi Isherdianto, juga lebih memilih produk-produk lokal dan berbahan ramah lingkungan untuk kebutuhan sehari-hari.
”Untuk personal care dan kosmetik, kalau ramah lingkungan biasanya juga enggak berbahaya buat tubuh. Saya ngecek brand-nya di situs EWG (Environmental Working Group). Dan kalau saya beli produk lokal, terutama dari industri kecil, uangnya akan kembali ke local economy. Enggak sekadar bikin tambah kaya korporat (besar) doang,” imbuh Turi.
Turi bahkan cenderung enggan mengonsumsi produk-produk dari korporat yang ia anggap greedy alias serakah dengan praktik monopoli dalam berbisnis. Jika ia mau menjadi konsumen korporat demikian, ia merasa menjadi obyek eksploitasi praktik bisnis tak elok tersebut.
Bagaimana kesadaran demikian muncul? Turi mengaku bukan karena pola asuh. Ia tumbuh besar di era dunia konsumsi yang sekadar mengutamakan kualitas, harga, dan citra atau image.
”Mungkin karena pengaruh teman-teman pergaulan di sini, mereka sangat berkesadaran dalam mengonsumsi, sesuai nilai-nilai yang dianut. Lingkungan, sosial, kesehatan,” ungkap Turi.
Lingkungan pergaulan Turi sebagian besar adalah para perempuan, baik bekerja maupun ibu rumah tangga yang terdidik dan mengikuti isu-isu dunia. Mereka kerap berdiskusi soal masalah lingkungan dan sosial. Nilai-nilai yang terbentuk dan diyakini lantas menjadi gaya hidup.
”They walk the talk. Kami juga sering bikin fashion swap (bertukar baju yang tidak terpakai) sehingga mengurangi pakaian terbuang,” ujar Turi.
Turi mengakui, dengan mengonsumsi secara berkesadaran, dirinya merasa bisa ikut sedikit berkontribusi untuk kebaikan planet. ”Ada rasa bahwa I did something good. Better. Jadi enggak merasa bersalah-bersalah amat jadi makhluk konsumtif, ha-ha-ha,” selorohnya.
Meski begitu, Turi mengaku enggak bersikap menghakimi terhadap orang-orang yang masih doyan mengonsumsi hanya sekadar urusan gengsi. Ia yakin dunia ke depan akan terus berubah.
Era mengonsumsi secara berkesadaran akan kian menguat. Sebuah produk, menurut Turi, akan dihormati bukan misalnya karena harganya mahal atau keluaran brand (jenama) papan atas. Namun, lebih karena jenama tersebut mengemban misi mulia apa.
Prinsip keberlanjutan serupa diikuti Alexander Zulkarnain, karyawan swasta di Jakarta. Ia menjalani laku mengonsumsi secara berkesadaran sejak 2016. Setiap hendak mengonsumsi, Alex merasa harus punya alasan yang jelas dengan prinsip 3P: planet, people, performance. Setelah barang itu dipakai, adakah dampaknya untuk orang lain dan lingkungan.
Alex adalah seorang free diver, scuba diver, pencinta pantai, dan penggemar jalan-jalan di alam bebas. Saat melakukan kegiatan itu, terasa bahwa kondisi alam semakin memprihatinkan karena pengaruh pemanasan global. Itulah yang menggerakkan idealismenya dalam mengonsumsi.
Alex juga mengurangi konsumsi plastik sekali pakai, serta menghindari penggunaan sabun mandi, sampo, sabun cuci tangan, dan sabun cuci piring yang mengandung minyak sawit. Namun, terkadang ada saja situasi yang menghadang. Misalnya, ketika air minum dalam tumbler habis di jalan, Alex terpaksa membeli minuman dalam kemasan.
Untuk cause atau misi yang lebih besar, Alex membeli sepatu Adidas seri Parley, yang merupakan kolaborasi produk antara Adidas dan Parley for the Oceans, sebuah organisasi lingkungan yang mengangkat ancaman terhadap lautan akibat sampah plastik. Sepatu Adidas Parley itu dibuat dari plastik yang didaur ulang.
Bermisi tetap gaya
Soal keterlacakan (traceability) pula yang mendorong Feby Budi Dayono, karyawan perusahaan transportasi daring, dalam mengonsumsi suatu produk. Dia senang dengan produk-produk yang nihil sampah, yang punya kontribusi untuk masyarakat, dan berkelanjutan.
”Untuk baju siap pakai, aku pakai Sukkhacitta. Kebetulan waktu itu lagi ada pameran dan aku lihat produknya ternyata bagus,” ujar Feby, yang tengah mengunjungi pameran ”T’angan” di Museum Bank Indonesia, Jakarta Barat.
Berawal dari perkenalannya dengan konsep social enterprise sekitar tahun 2011, Feby pun menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Ketika itu dia pernah magang di sebuah lembaga nonpemerintah di Kanada yang fokusnya manajemen sampah, pemberdayaan anak muda, dan keberlanjutan.
Idealismennya pun tergugah. Setahun setelahnya, Feby menjadi vegetarian. Industri peternakan memang dikenal amat memakan energi, meninggalkan emisi gas yang signifikan.
”Mulainya memang dari pola konsumsi makanan. Seiring berjalannya waktu, aku jadi lebih banyak tahu produk yang sustainable, seperti pakaian, aksesori, termasuk transportasi,” katanya.
Tak sekadar ikut tren, Dery F Waluyo (31), PR & Event Ass Manager Amorepacific Indonesia, kini memilih menjadi konsumen setia produk mode dari One Fine Sky. Setiap kali membeli satu produk dari label itu, ia turut berkontribusi membantu seorang anak sekolah dasar di berbagai penjuru Indonesia untuk mendapatkan satu set lengkap seragam sekolah.
Meskipun bermisi sosial, produk One Fine Sky disukai kalangan milenial seperti Dery karena tetap mengutamakan kualitas jahitan dan performa desain. Mudah dipadupadankan, bisa dipakai berulang kali, dan uniseks sehingga bisa dipakai laki-laki ataupun perempuan.
Sama seperti memakai produk dengan merek ternama dan mahal, produk One Fine Sky juga memberi rasa bangga bagi konsumennya. Hal ini disebabkan One Fine Sky sangat mengutamakan kolaborasi dengan berbagai sosok ternama dari industri kreatif. Mulai dari Irfan Bachdim, Reza Rahadian, Dian Sastrowardoyo, hingga Nicholas Saputra. Cara ini berdampak pada terdongkraknya gengsi ketika memakai produk One Fine Sky berlogo awan ini.
”Beli barang mahal, penginnya tetap dilihat orang. Beli Rp 800.000 masak mereknya enggak dikenal. Image-nya bagus karena dipakai banyak artis. Desainnya kelihatan mahal. I feel good karena melakukan hal baik. Enggak sekadar brand bagus. Ada misi di baliknya yang penting,” kata Dery.
Keren itu peduli
Menerbitkan rasa tenteram, feel-good feeling, memang menjadi salah satu ”bonus” tersendiri yang diinginkan pasar konsumen milenial dan generasi Z. Seperti yang diulas Forbes, 25 Mei 2018, dalam artikel berjudul ”Is Social Cause a Necessity for a Brand?”, mengonsumsi produk dari jenama yang beragenda misi sosial ataupun lingkungan memberi feel-good feeling, selain merasa keren.
Perspektif soal ”keren” dalam mengonsumsi bagi kaum milenial dan generasi Z kini berjentera pada jenama-jenama yang punya misi kepedulian, baik terhadap keberlanjutan lingkungan, sosial, maupun budaya.
Potret Feby, Dey, Alexander, Turi, juga Kissy mewakili wajah konsumen, terutama kaum muda milenial dan generasi Z saat ini. Mengutip hasil penelitian Accenture Strategy (accenture.com) dalam laporan berjudul ”From Me to We: The Rise of The Purpose-Led Brand” (5 Desember 2018), konsumen global saat ini mengonsumsi tak lagi sekadar karena pertimbangan kualitas dan harga dari suatu produk. Mereka memilih produk dari jenama atas tiga pertimbangan besar. Jenama tersebut menyatakan apa, melakukan apa, dan mengusung misi atau agenda apa.
Dari survei tersebut, sebanyak 62 persen responden konsumen lebih memilih produk dari perusahaan yang mengusung isu-isu global terkini, seperti keberlanjutan baik lingkungan, sosial, maupun budaya, transparansi, keterlacakan sumber bahan, dan perusahaan yang memperlakukan karyawannya dengan baik.
Bukan misi sekadar slogan atau pernyataan, melainkan ada langkah nyata dan otentik. Yang tak kalah penting adalah adanya pelibatan konsumen dalam mewujudkan cause atau misi yang diusung.
Beberapa jenama internasional yang terbilang sukses mengakomodasi model preferensi konsumen demikian misalnya Patagonia, The Body Shop, Everlane, TOMS Shoes, dan STATE Bags.
Ketika hati konsumen beresonansi dengan misi yang diemban perusahaan, berbagai jenama tersebut akan memetik kesetiaan konsumen, bahkan sikap pengertiaan dan maklum ketika terjadi kesalahan. Bukan malah memboikot.
Kompas Minggu sepanjang tahun ini mengikuti kecenderungan evolusi tren mengonsumsi kaum urban kelas menengah tersebut dalam berbagai laporan di rubrik Urban. Mulai dari gerakan gaya hidup mengatasi sampah plastik, makanan sisa (food waste), tren mengonsumsi baju atau barang mode bekas, semangat kelokalan, hingga tren berdonasi dan berbagi dengan sesama lewat berbagai platform digital.
Penggeraknya memang sebagian besar adalah anak-anak muda milenial dan generasi Z. Seperti disinggung Forbes dalam artikelnya ”Beyond Awarness, Susccessful Social Impact Brands Do These 4 Things”, karakter Gen Z sangat menarik.
Ketika mereka ditanya siapa pihak yang paling bertanggung jawab untuk mengatasi berbagai masalah dunia saat ini, mereka akan menjawab: setiap warga negara. Bukan pemerintah ataupun lembaga swadaya masyarakat.
Yang tua-tua sepertinya harus belajar bijak kepada yang muda.