Kerinduan yang Kelam
Dingin. Gelap. Sepi. Misterius. Suara hujan dari pelantang semakin nyaring ditingkahi gemuruh-guruh bersahut-sahutan. Di sudut pameran bertajuk ”Rindu Lukisan Merasuk di Badan” yang memajang karya-karya Ugo Untoro di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, Senin (23/12/2019), tiga obyek instalasi dibalut tudung penutup mobil.
”Rain”, demikian judul obyek dari kain dan resin tersebut, mencuatkan tanya soal arah yang diinginkan Ugo untuk membawa pikiran pengunjung. Hujan selalu meruyakkan kesendirian. Bagi Ugo, fenomena alam paling puitis adalah hujan. Ia sudah menuangkan gagasan itu dalam bentuk coret-coret lebih kurang 30 tahun silam.
Ruang itu hanya dilengkapi satu lampu kecil. Praktis, gelap mendominasi pandangan. Mungkin pula sudut ruang itu menimbulkan aura mistis.
Senyap. Saat itu sedang tak ada pengunjung yang sedang masuk untuk mengamati karya tersebut. Beberapa pengunjung melongokkan kepala sebentar lalu terburu-buru menyeret langkah. Kegalauan lewat imaji hujan dan karya serupa mobil-mobil itu menggambarkan perjalanan pergi dan pulang.
Mudik kerap dipicu rindu yang menderu. Rindu menjadi siksaan lantaran yang terkasih belum dapat dijumpai. Ugo mengungkapkan keinginan untuk berkunjung ke kampung halaman di Purbalingga, Jawa Tengah, lewat kesenduan karyanya. Seniman kelahiran 28 Juni 1970 itu kuliah di Jurusan Seni Murni Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia Yogyakarta tahun 1988-1996.
Hilir mudik Yogyakarta dan Purbalingga mengingatkan Ugo tentang perjalanan berkarya yang dimulai dari dua dimensi. Rindu akhirnya membuncah dan terwujud lewat pameran tunggal yang berlangsung pada 21 Desember 2019 hingga 12 Januari 2020. Sekitar 50 lukisan terpampang lewat seri-seri seperti Sleeping Buddha, painting series, dan gaya romantik.
Kegetiran Ugo diekspresikan dengan lukisan-lukisan bertema historis yang kelam. Ia, misalnya, melukis ulang karya seniman Perancis, Eugene Delacroix, berjudul ”Entry of The Crusaders In Constantinople” yang dibuat tahun 1840. Karya Ugo didominasi warna coklat dan putih dengan tetesan-tetesan hitam bercampur merah seperti darah.
Lukisan itu menggambarkan kedatangan pasukan Perang Salib pada abad ke-13 di Konstantinopel, ibu kota Kekaisaran Bizantium, dengan warga yang memohon pengampunan. Karya lain Delacroix, ”The Barque of Dante” tahun 1822, menggambarkan perjalanan beberapa orang di alam baka.
Ugo melukis kembali karya itu dengan warna-warni merah, putih, hitam, dan coklat. Sama seperti lukisan lain, ia menggunakan tetesan-tetesan dan mengaktualisasikan penderitaan obyek-obyeknya.
Ugo juga menggarap lagi lukisan S Sudjojono berjudul ”Kawan-Kawan Revolusi” buatan tahun 1947. Lukisan tentang wajah-wajah para pejuang itu dituangkan lagi berupa sapuan kuning, hijau, merah, dan hitam tanpa bentuk. Ia membaca kembali karya-karya masa lampau secara visual dan merepresentasikannya. Di tangan Ugo, lukisan-lukisan itu terlahir kembali dengan corak dan simbol berbeda.
Representasi pikiran
Lebih jauh untuk mengetengahkan pemikirannya, Ugo menampilkan karya-karya berjudul ”Sleeping Buddha”. Lukisan berbingkai kayu, misalnya, menggunakan warna coklat, merah, dan hitam dengan panjang 360 sentimeter (cm) dan lebar 26 cm. Lukisan itu bersekat 18 dengan gambar jari-jari, kuku, dan kaki.
”Sleeping Buddha” lain dengan panjang 200 cm dan lebar 140 cm melukiskan obyek-obyek lonjong mirip jari kaki yang didominasi warna merah. Lukisan lain dengan judul yang sama menggambarkan siluet horizontal kepala dan bahu berwarna putih dengan latar biru.
Seri ”Sleeping Buddha” merupakan ungkapan Ugo untuk lebih dekat dengan alam. Dialog manusia dengan lingkungannya yang dituangkan dalam lukisan menjadi wadah untuk saling menjaga satu sama lain. Ugo yang memang mendalami ajaran Buddha merasakan hukum alam saat manusia dianggap semakin jauh dari alamnya.
Karya-karya tersebut berkorelasi dengan keinginan Ugo untuk menjadi Buddhis yang ia ungkapkan tahun 2006. Lukisan bertema Buddha yang tak jarang tanpa rupa melepaskan beban bagi pemandangnya mengenai jeruji raga agar lebih sublim dalam kejiwaan.
Di sudut berbeda, Ugo menghadirkan kesederhanaan lewat painting series. Ia membagi-bagi karyanya dengan memuntir kanvas berwarna hijau tua, melipat, menyisipkan patung kuda kecil, menggulung, melipat, menekuk, menumpuk, bahkan mengguntingnya.
Di sisi berbeda, Ugo menumpuk 11 lukisan menjadi karya tersendiri. Lukisan lain, seperti ”Ada yang Tak Bisa Dihapus”, ”The End of Rahwana”, dan ”Selamat Pagi”, terlihat konservatif. Ia hendak mengutarakan kesuraman manusia yang dihantui kegagalan, ketakutan, dan ketidaksempurnaan. Ugo juga meletakkan dua tangga bambu yang menyatu di luar pintu Galeri Nasional Indonesia. Tangga lain yang bersambung-sambung ditempatkan di luar gedung itu.
Rindu lukisan
Setelah sempat berkutat dengan patung dan instalasi, Ugo rindu pada lukisan dan ingin mengasihinya. Beberapa tahun terakhir, ia tak produktif melukis meski tak benar-benar berhenti. Ugo hanya memilih media seni dan metode penyampaiannya yang berbeda. Hasrat untuk menggelar pameran lukisan telah ia rasakan setidaknya sejak tahun 2016.
”Kalau muncul jeda, itu biasa. Tiba-tiba saya ingin melukis secara konvensional dalam arti, dua dimensi. Pakai kanvas atau kertas,” ucapnya. Ugo hendak kembali ke titik awal berkesenian yang digelutinya. Ia mengambil tema romantisisme meski pada akhirnya muncul kesadaran lain.
”Selama ini, romantisisme kesannya cengeng, picisan, atau murahan. Saya lalu membaca lagi romantisisme, tetapi sepertinya bukan itu,” ucapnya. Ia seolah membuang akal dan kembali pada sisi emosi manusianya dan kembali ke alam. Ugo merindukan ekspresi yang masih asli berdasarkan intuisi. Maka, Buddhisme termasuk pilihan tema yang mengemuka.
Perubahan zaman yang demikian cepat menjadi motivasi lain untuk menyelenggarakan pameran.
”Ada perubahan dan pergeseran. Informasi amat gencar. Demikian pula lukisan. Kecenderungannya, seniman harus membuat lukisan dengan cepat, banyak, dan penuh warna,” katanya. Ugo merindukan lukisan kuno dengan unsur emosi personal yang menonjol.
Sama seperti saat pertama kali melukis, Ugo tak menentukan gayanya. Ia tak bisa mendalami aliran yang sama terus-menerus. Ugo menyapukan kuas dan menggoreskan warna sesuai kehendak sendiri, tanpa keajekan atau karakter yang mudah dikenali.