”Quilt” Bertabur Kisah
Ada sesuatu yang beda dari seni merangkai kain perca atau quilt di tangan Jane Kurnadi. Quilt karya perempuan lulusan Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung tahun 1995 ini bertaburkan kisah. Ia menyebutnya sebagai terapi bagi dirinya sendiri.
Karya Jane yang diberi judul ”Home” (September 2019) misalnya. Kain perca berukuran 150 sentimeter x 100 sentimeter ini membentuk motif seorang bocah perempuan dengan wajah tersenyum dan mata terkatup berlatar kain warna hitam dipenuhi motif jahitan sulur berduri.
Bocah itu mengenakan rok berwarna hijau. Jane menempelkan motif pepohonan, rumah, dan sebentuk jantung hati berwarna merah bertuliskan ”Home” di baju itu.
”Itu menggambarkan diri saya yang selama ini merasa tidak pernah menemukan rumah karena sebagai warga peranakan merasa tidak pernah diterima oleh lingkungan saya. Akan tetapi, akhirnya saya menemukan rumah sesungguhnya yang ada di hati,” ujar Jane di sela pembukaan pameran karya-karyanya yang diberi tajuk Quilt Therapy, beberapa waktu lalu, di Ganara Art Gallery Soho Pancoran, Jakarta.
Belasan lembar kain seni quilt dan beberapa karya Jane berupa paper cut atau seni potong kertas dipamerkan.
Motif bocah perempuan yang dikelilingi sulur-sulur berduri itu mengungkap peristiwa traumatik yang dialami Jane pada 1998. Jane bersama keluarganya pernah terjebak dalam mobil saat kerusuhan terjadi di Jakarta waktu itu.
Jane mengungkap peristiwa dramatik ketika sang sopir menghentikan mobil dan tidak berani menerobos kerumunan orang di depannya. Jane yang pendiam berontak. ”Saya sampai mencekik leher sopir itu agar berani menerobos kerumunan orang. Akhirnya, kami bisa menerobos dan selamat,” ujar Jane yang memiliki gangguan autoimun dan lupus itu.
Sulur-sulur berduri pada sebidang kain hitam itu ternyata ungkapan traumatik di dalam diri Jane yang berhasil ia sembuhkan. Menjahit sulur yang berkelok-kelok dipenuhi duri berbentuk segitiga-segitiga kecil yang terpisah itu memberikan dampak meditatif.
Quilt ternyata lebih dari sekadar seni menempel potongan kain perca karena menyertakan seni jelujur jahit yang cukup rumit. Ketika menjahit untuk membentuk motif duri, Jane berulang-ulang mematikan mesin jahit untuk memindahkan jarum sebanyak ratusan bahkan mungkin hingga ribuan kali ketika membentuk motif duri tersebut. Ketelatenan dan kesabaran ini menjadi terapi bagi Jane.
”Ketika berulang-ulang membentuk motif duri itu, akhirnya bisa meredam trauma kemarahan saya,” ujar Jane, yang menyelesaikan studi jenjang S-2 sebagai Master of Industrial Design Human Factor dari Design Academy Eindhoven di Belanda (1997).
Devy Ferdianto, mentor Jane dari Ganara Art Class, menyebutkan seni perca dan quilt pada umumnya menjadi karya seni kerajinan. Namun, Jane menghadirkannya sebagai karya fine art atau seni murni. ”Jane mengekspresikan dunia gagasannya. Kebetulan medianya itu quilt,” ujar Devy.
Membalik kesedihan
Karya Jane tidak ubahnya quilt atau seni perca lain yang menghadirkan warna-warni ceria. Bagi Jane, keceriaan warna quilt menjadi terapi untuk membalik rasa sedih.
Sepasang burung enggang atau rangkong ada dalam karya Jane yang diberi judul ”Till Death Do Us Part”, berukuran 150 cm x 150 cm. Warna-warnanya ceria. Namun, di balik itu ada kisah yang menyedihkan hatinya.
Di bulan Oktober 1998, Jane menikah, kemudian berpindah dari Jakarta untuk mengikuti suami bekerja di Riau di bidang pertambangan. Mereka tinggal di sebuah kamp di dekat hutan kecil yang masih alami.
”Bagi kami seperti sebuah kemewahan di kamp ketika dari jendela rumah setiap hari bisa melihat burung-burung rangkong bertengger di atas pohon pulai. Tetapi, ada pesan kesedihan di situ,” ujar Jane juga yang memiliki hipersensitivitas dan indigo itu.
Ia mudah menangkap aura dari sebuah energi dengan indera keenamnya. Sejak sekitar dua setengah tahun belakangan ia tekun bermeditasi dan kini berhasil mengatasi beban hipersensitivitas dan indigo itu. Ketika membuat quilt, Jane juga memetik dampak terapeutik.
Kesedihan Jane tentang burung rangkong tersebut disebabkan setiap kali menjumpai burung rangkong dewasa tidak pernah bersama pasangannya lagi. Kemungkinan besar karena pasangan burung itu mati atau ditangkap pemburu. Hutan sebagai habitat alam burung rangkong mulai banyak yang beralih menjadi kebun sawit.
”Burung rangkong dewasa selalu hidup bersama pasangannya. Kalau pasangannya mati, ia tidak pernah lagi mencari pasangan lainnya sampai mati,” ujar Jane.
Karya Jane berjudul ”Lost Home” (Desember 2018), berukuran 180 cm x 140 cm, bertutur tentang kepedihan yang sama. Karya itu melukiskan seekor anak gajah berjalan bersama induknya di tengah hutan. ”Gajah bahkan sering masuk kamp kami di Riau karena habitatnya berubah menjadi kebun sawit,” kata Jane.
Tidak hanya bingung karena kehilangan rumah, gajah-gajah itu sering mati terbunuh karena diracun. Racun itu sengaja ditaburkan di tandan sawit yang sering dimakan gajah. Jane pernah menjumpai gajah yang terkena racun ternyata sedang bunting. Gajah itu juga memiliki seekor anak. Ia melihat induk gajah itu terhuyung menuntun anaknya ke tengah hutan dan dua minggu kemudian mati.
Kepedihan demi kepedihan kian menumpuk tatkala Jane menyaksikan dampak buruk hilangnya hutan menjadi kebun sawit di tempat tinggalnya yang baru di Riau. Itu tidak baik bagi kesehatan mentalnya. Ia seperti menelan sendiri setiap ada permasalahan yang ditemuinya. Berbagai permasalahan itu akhirnya membebani. Jane kemudian memutuskan untuk mengalihkannya dengan membuat quilt mengisi kesibukannya.
Dengan latar pendidikan seni rupa dan desain, membangun motif seni perca dan quilt bukanlah rintangan. Seperti yang dipamerkan kali ini, Jane juga banyak menampilkan motif quilt dari hidup kesehariannya.
Karya yang diberi judul ”Mie Pangsit” (April 2019), berukuran 140 cm x 150 cm, bertutur tentang ramainya pembeli mi pangsit. Dari kejauhan, quilt karya Jane itu seperti lukisan. Pada karya ”Panjat Pinang” (Juli 2019) berukuran 200 cm x 90 cm, anak-anak digambarkan Jane sedang berusaha memanjat batang pinang pada peringatan 17 Agustus. Pada karya ”Bermain Layang-layang” (Maret 2018) berukuran 180 cm x 100 cm, Jane menggambarkan anak-anak sedang bermain layang-layang dengan riang.
Dari karya-karya terakhir ini, Jane melukiskan sukacita dengan quilt-nya. Ini pancaran keriangan Jane yang mulai terbebas dari belenggu hipersensitivitas, indigo, dan sebagainya. Quilt benar-benar menyuguhkan terapi bagi Jane. Ini dipertegas dengan karya yang satu ini.
Beragam kupu-kupu berwarna kekuningan digambarkan Jane menyusur lorong menuju terang lingkaran matahari. Karya itu diberi judul ”Journey into The Light” (Perjalanan Menuju Terang), November 2018, berukuran 100 cm x 90 cm. Quilt bagi Jane bukan sekadar mencipta karya seni. Baginya, itu sebuah perjalanan menuju terang.