Dankuwel, Volendam!
Semilir angin musim dingin yang berembus dari Danau Markermeer, Belanda, galak mencubit-cubit hingga ke tulang. Namun, di tepian barat danau itu, kehangatan menyeruak dari sebuah kota kecil. Selamat datang di Volendam!
Volendam boleh dibilang menjadi destinasi ”wajib” wisatawan saat mengunjungi Belanda. Akrab dengan foto-foto orang berpose memakai busana tradisional Belanda? Di situlah tempatnya. Namun, Volendam menawarkan lebih dari itu. Kota yang berakar dari desa nelayan tersebut menyuguhkan banyak kekayaan budaya dan sejarah ”Negeri Kincir Angin”.
Bersama Signify Indonesia (dulu Philips Lighting), Kompas singgah di sana usai mengikuti acara ”Signify Innovation Day”, pertengahan November 2019. Suhu berkisar 4-8 derajat celsius pada awal musim dingin yang memicu gigil itu tak menciutkan langkah untuk menjelajahi jengkal demi jengkal kota tersebut.
Jaraknya yang hanya 21 kilometer arah utara Amsterdam membuat Volendam destinasi yang tepat untuk menghabiskan waktu sebelum kembali ke Tanah Air. Apalagi, Volendam juga berdekatan dengan sejumlah obyek wisata lain. Ah, makin ideal.
Rumah-rumah kombinasi kayu dan batu dengan atap segitiga tinggi lancip berjajar rapi menyambut pengunjung, sebagian besar menghadap danau. Ada pula terselip satu hingga dua rumah dengan fasad model cawan terbalik. Rumah bergaya seperti ini lazim dijumpai di kawasan pedesaan atau pinggiran kota di Belanda.
Menyusuri jalan kecil di tepian perairan membawa kita langsung ke jantung wisata Volendam. Di sepanjang kanan-kiri jalan, toko-toko suvenir marak berderet, termasuk studio- studio yang menawarkan turis untuk berfoto dalam busana khas Belanda.
”Biasanya, jalan ini tidak bisa dimasuki mobil saat musim panas karena penuh dipadati wisatawan,” ujar Don Dias, warga Belanda keturunan Indonesia-Belanda yang menemani perjalanan kami hari itu.
Tak jauh dari situ, sejumlah restoran dan kios penjual jajanan menggoda perut yang kedinginan. Salah satu yang tak boleh dilewatkan adalah wafel. Kuliner hangat yang disajikan dengan berbagai pilihan topping, seperti potongan buah pisang dan stroberi, selai cokelat, krim, dan kacang, itu sangat cocok untuk menepis dingin.
Jajanan yang harus dicoba juga adalah penganan khas Belanda, saudaranya wafel, yakni stroopwafel dan poffertjes. Stroopwafel lebih renyah dan padat dibanding wafel, biasanya diisi karamel di tengah lapisannya. Adapun poffertjes adalah sejenis panekuk berukuran kecil yang ditaburi bermacam- macam topping pula.
Menikmati penganan itu sambil memandangi Danau Markermeer dan kapal-kapal kecil yang bersandar di dermaga sungguh menyenangkan. Danau itu dulunya merupakan bagian dari teluk besar yang terhubung dengan Laut Utara. Namun, pada 1932, teluk itu dibendung total untuk mencegah banjir yang kerap melanda dataran rendah Belanda.
Kalau tertarik, tersedia tur feri untuk menikmati Danau Markermeer. Feri berangkat setiap 30-45 menit dari dermaga Volendam dengan tujuan menyeberang ke Marken, desa wisata lain yang berjarak sekitar 4,5 kilometer atau 30 menit pelayaran.
Keju gouda
Beranjak dari pusat wisata, sekitar 10 menit berkendara, kami sampai di sebuah outlet peternakan di Volendam, yakni Alida Hoeve. Ini merupakan salah satu gerai penjualan produsen keju terkenal Belanda, Henri Willig. Belanda adalah tempat asal keju bundar kuning yang populer di seluruh dunia, yakni gouda.
Namun, mengunjungi Alida Hoeve tak seperti mengunjungi gerai usaha biasa karena dikemas dengan narasi wisata. Saat memasuki toko, rombongan pengunjung diarahkan melewati pintu samping. Di ruangan di balik pintu itu, staf perempuan yang mengenakan busana tradisional Volendam menyambut dengan ramah.
Dia lalu memaparkan secara ringkas tentang sejarah hingga teknik pembuatan keju gouda, lengkap dengan berbagai peralatan dan demonstrasinya. Suasana ruangan juga dibuat seperti dalam peternakan pengolah keju tradisional. Setelah selesai, barulah pengunjung dipersilakan memasuki ruangan utama tempat penjualan produk.
Meski bintang utamanya adalah beragam rupa dan ukuran keju, mereka juga menjual bermacam barang dan penganan jenis lain. Ada selai, kue kering, minuman, dan mug.
Di bangunan terpisah, masih dalam kompleks yang sama, terdapat De Vriendschap, toko klompen atau sepatu kayu khas Belanda. Usaha kerajinan tangan unik ini adalah satu dari 11 yang masih tersisa di seluruh Belanda.
Kali ini, kami ditemani Catharina, staf perempuan yang murah senyum. Dia menjelaskan proses pembuatan klompen di bagian bengkel kerja di sudut toko itu. ”Sampai sekarang, sepatu ini masih digunakan oleh sebagian petani dan peternak. Setiap tahun Belanda memproduksi 3 juta pasang klompen,” katanya.
Catharina pun mengaku masih sering memakai klompen untuk bertani karena dapat melindungi kaki lebih baik ketimbang sepatu biasa. Untuk kenyamanan, klompen biasanya dipakai dengan kaus kaki super tebal.
Tanda cinta
Dia menjelaskan, pada zaman dulu, klompen juga menjadi simbol tanda cinta. Pemuda bersusah payah membuat klompen terbaik untuk melamar gadis. Klompen itu lalu diletakkan di depan rumah sang pujaan hati. Kalau si gadis itu memakainya, tandanya lamaran diterima. ”Zaman sekarang, rasanya cukup modal kartu kredit saja,” ujar Catharina melempar canda.
Kini, tanda cinta dan kerja keras itu lebih banyak berfungsi sebagai suvenir dan hiasan rumah. Karena itu, selain yang berukuran normal, banyak pula klompen ekstra besar untuk pajangan dinding hingga ekstra mini untuk gantungan kunci. Klompen-klompen itu pun dihias dengan bermacam warna dan gambar, termasuk ada juga yang diukir.
Puas menjelajahi Volendam, haluan diarahkan menuju Zaanse Schans, sekitar 20 kilometer ke arah barat. Di sini, kita dapat menikmati simbol paling ikonik Belanda: kincir angin. Ya, lokasi itu memiliki banyak kincir angin kuno yang direstorasi dan dipelihara dengan baik.
Zaanse Schans pada abad ke-18 hingga 19 merupakan bagian distrik Zaan, kawasan industri pertama di Eropa Barat. Di pinggiran Sungai Zaan itu tersebar ratusan usaha pemotongan kayu untuk industri perkapalan, pengolahan rempah, tepung roti, bubuk cokelat, kertas, serta minyak dan cat. Semua aktivitas itu ditenagai kincir angin.
Seiring laju zaman, satu per satu industri itu surut, termasuk penggantian kincir angin dengan mesin uap. Namun, pada 1961, sekelompok warga bertekad melestarikan peninggalan sejarah tersebut.
Kincir angin dan bangunan-bangunan kayu yang tersisa dari sejumlah lokasi di kawasan itu kemudian dipindahkan ke Zaanse Schans untuk dijadikan museum hidup. Bangunan-bangunan kayu itu adalah bekas rumah, toko, gudang, atau bengkel kerja pada masa lampau.
Pemindahan tersebut berlangsung bertahap hingga selesai pada 1974. Kini, Zaanse Schans menyedot lebih dari sejuta turis setiap tahun. Wisatawan disuguhkan romantika abad 18-19 Belanda yang otentik. Pesonanya kian molek oleh kanal-kanal kecil yang saling bersilangan dan hamparan padang rumput.
Volendam, dengan bonus Zaanse Schans, sukses menancapkan kenangan berkesan. Dankuwel! Terima kasih!