Di balik makanan tersaji kisah tentang emosi, kenangan, hingga asmara. Kisah-kisah itu dirajut dengan sentuhan lokal, untuk menegaskan nilai universal makanan: membuat orang berkumpul bersama.
Oleh
FRANSISCA ROMANA NINIK
·4 menit baca
Food Lore, serial drama antologi dari HBO, menawarkan kisah-kisah menarik di delapan negara di Asia yang benang merahnya adalah makanan. Serial ini terdiri atas delapan episode, mengetengahkan cerita dari Filipina, Vietnam, Indonesia, India, Thailand, Singapura, Jepang, dan Malaysia.
Food Lore mulai tayang pada 3 November 2019. Setiap episode digarap oleh sutradara dari negara bersangkutan. Secara keseluruhan, Food Lore ditangani sutradara Eric Khoo dari Singapura.
”Saya ingin melibatkan pembuat film yang punya minat terhadap makanan. Saya rasa yang penting dalam serial ini adalah keanekaragaman makanan Asia dan budaya yang berbeda-beda,” ujar Khoo saat pengumuman serial tersebut di Hong Kong Filmart, seperti dikutip Channel News Asia, Maret lalu.
Dia menghendaki agar setiap serial menggunakan bahasa nasional di negara masing-masing. Dengan begitu, penonton dapat benar-benar mengecap keunikan cita rasa film tersebut.
Episode 1 Food Lore: Island of Dreams berlokasi di Filipina dengan arahan sutradara Erik Matti. Berkisah tentang Nieves (Angeli Bayani), anak tertua dari daerah miskin yang bertanggung jawab memasak untuk ayah dan adik-adiknya. Setelah berkeluarga, dia bekerja sebagai asisten rumah tangga di kota dan belajar memasak dari bosnya. Ketika pulang, masakan yang dibuatnya justru ditolak keluarganya.
”Island of Dreams bertutur tentang perubahan, tentang sesuatu jauh di luar apa yang biasa dilakukan. Kamu memutuskan apakah akan tetap stagnan atau bergerak maju,” kata Matti dalam sebuah wawancara produksi.
Cerita ini membalut memori tentang sebuah pesta besar, Fiesta, di daerah tersebut. Nieves mengisahkan, ketika kecil, dalam Fiesta itulah saatnya anak-anak bisa makan daging babi. Bagi dia, kehidupan saat itu hanya berkutat dengan membuat makanan untuk hari berikutnya.
Kisah makanan berbalut memori juga ditampilkan dalam episode 7 Food Lore: Life in a Box yang berlokasi di Jepang. Sutradara Takumi Saitoh mengambil latar perjalanan di sebuah kereta.
Menurut Saitoh, kereta bagi orang Jepang tidak sekadar alat transportasi. Perjalanan menggunakan kereta bisa sangat emosional dan memunculkan nostalgia.
Salah satunya hadir lewat ekiben atau bento yang disajikan di kereta.
Bento begitu lekat dengan warga Jepang dan sangat khas di negara itu. Setiap daerah memiliki isi bento yang berbeda-beda.
Dikisahkan, orang-orang di dalam kereta yang terlambat itu mencoba lari dari situasi yang dihadapinya sekarang. Ketika mereka menyantap ekiben, kenangan masa lalu menyeruak, baik senang maupun sedih. Dari situlah mereka bisa memutuskan untuk menatap masa depan.
Cerita dari Indonesia datang di episode 3 Food Lore: Maria’s Secret Recipe yang disutradarai Billy Christian. Kisahnya cukup menarik dengan menampilkan latar sebuah pulau terpencil. Di pulau itu tiba-tiba saja datang seorang perempuan cantik nan seksi bernama Maria (Alexandra Gottardo) dan membuka kedai makan.
Para ibu yang biasa memasak makanan untuk suaminya menjadi gerah karena para pria itu lebih menyukai masakan Maria yang lezat, terutama olahan terongnya. Di antaranya adalah Ratih (Putri Ayudya) yang sering sekali membekali suaminya, Jono (Dian Sidik), dengan sayur lodeh.
Bagi para istri, makanan menjadi cara menunjukkan cintanya kepada para suami. Ketika hal itu direnggut oleh kehadiran Maria, mereka pun tidak mau tinggal diam.
Ada pula kisah tentang perbedaan budaya, seperti kisah episode 5 Food Lore: The Caterer (Thailand) garapan Pen-Ek Ratanaruang dan episode 6 Food Lore: Tamarind (Singapura) arahan Khoo. Di tengah perbedaan itu, rupanya makanan bisa menyatukannya.
Jadi bintang
Selain kisah-kisah tentang emosi, kenangan, dan cinta, hal menarik yang disuguhkan Food Lore adalah makanan itu sendiri. Dalam setiap episode muncul makanan-makanan yang menjadi kekhasan di sebuah daerah. Misalnya ada terong balado di Indonesia, ada mee siam di Singapura, juga bento di Jepang.
Bisa dikatakan, selain karakter dan cerita yang mereka bawakan, makanan menjadi bintang dalam serial ini. Dalam berbagai adegan, makanan disorot close-up, memperlihatkan detailnya yang menggugah selera.
Ragam bumbu yang menyertainya pun ditampilkan. Tangan-tangan tampak terampil mengolahnya, mulai dari menceburkan bumbu hingga menghidangkannya di meja makan.
Khoo mengungkapkan, makanan hampir selalu beresonansi dengan mereka yang menyantapnya. Dari situ, kita bisa mengeksplorasi kondisi manusia melalui narasi yang terinspirasi oleh masakan.
Dia mencontohkan Singapura, yang meskipun seperti noktah kecil di belantara negara-negara di dunia, tradisi kulinernya sangat kaya. Dari yang seharga 3 dollar Singapura (sekitar Rp 30.000) di kedai-kedai tepi jalan hingga yang seharga 300 dollar Singapura (sekitar Rp 3 juta) di restoran kelas atas tersedia untuk dinikmati.
Bagi Khoo, tidak masalah makanan seharga 3 dollar atau 300 dollar selama masakan itu disajikan dengan cinta. ”Meskipun itu makanan murah, jika dimasak dengan hati, tak masalah. Itulah cinta,” ujarnya.
Meja makan dan dapur menjadi latar yang juga tidak pernah lepas dari setiap episode. Percakapan yang mengeksplorasi perasaan dan pikiran jamak dijumpai di meja makan. Dari pertengkaran menuju perdamaian, dari kesusahan berbuah kebahagiaan, melengkapi kisah-kisah di seputar latar tersebut.
Pada akhirnya, Food Lore mengetengahkan hubungan antarmanusia lewat media makanan. Makananlah yang menyatukan kita. Seperti ungkapan populer yang kita akrabi, ”makan enggak makan yang penting kumpul”. Namun, sepertinya akan lebih menyenangkan jika kita berkumpul dan makan....