Masa Lalu, Kini, dan Esok
Di dalam Perpustakaan Nasional Qatar, ilmu pengetahuan dari Timur dan Barat tidak saling bertentangan. Mereka saling menerjemahkan, menyadur, dan menopang sehingga tetap ada dan penting hingga masa kini dan yang akan datang.
Stephane Ipert berjalan melalui lorong-lorong pualam berwarna coklat yang mengingatkan pada warna gurun pasir. Sepanjang dinding dipasang rak-rak dari kaca yang di dalamnya terdapat 65.000 teks kuno berusia hingga 1.000 tahun.
Di tengah-tengah lorong terkadang juga ada meja-meja yang memamerkan kitab-kitab kuno. Halamannya berhiaskan lukisan-lukisan dari tinta emas, biru, hijau, dan merah. Jika diamati lebih saksama, kitab-kitab itu ada yang ditulis memakai bahasa Arab, Latin, Perancis, Rusia, hingga Aramaic.
”Teks-teks ini saling menyelamatkan. Beberapa teks sudah hilang naskah asli yang berbahasa Arab, tetapi ilmunya tetap bisa dilestarikan berkat disimpannya terjemahan dalam bahasa Perancis, Inggris, ataupun Latin di berbagai perpustakaan di Eropa. Beberapa teks di sini dikembalikan oleh negara-negara Eropa agar bisa disimpan di tanah asalnya,” ujar Ipert yang merupakan Direktur Unit Naskah Bersejarah Perpustakaan Nasional Qatar (QNL) di Al Rayyan, Selasa (19/11/2019).
Salah satunya adalah naskah mengenai falsafah dan logika aritmatika yang ditulis oleh cendekiawan masa keemasan Baghdad, Al-Khwarizmi, di abad ke-9 Masehi yang sudah hilang. Ilmu itu lestari berkat terjemahan cendekiawan Perancis dari abad ke-13, Alexandre de Villedieu.
Ilmu kedokteran yang dikembangkan oleh Ibnu Sina, misalnya, tak lekang waktu di perpustakaan itu walaupun tidak ada satu kitab lengkap. Perpustakaan ini memiliki koleksi berbagai bab karya Ibn Sina yang diterjemahkan ke bahasa Farsi, Italia, dan Ibrani yang ketika digabungkan menghasilkan naskah lengkap.
Ipert menjabarkan, tujuan dari QNL ialah menunjukkan kepada masyarakat bahwa tidak ada pemisahan yang tajam antara ilmu yang berkembang di Timur maupun Barat. Keduanya justru saling melengkapi dan menguatkan. Para ilmuwan masa lampau mengajarkan bahwa kemajuan ilmu berasal dari keterbukaan pikiran.
”Zaman itu melakukan kolaborasi langsung antara cendekiawan Barat dan Timur sangat sulit, bahkan hampir mustahil karena faktor geografi yang berat. Namun, melalui penerjemahan teks dan penyebarannya, mereka bisa saling terilhami dan mengembangkan ilmu tersebut. Kolaborasi yang terjadi justru tidak hanya antarpersonal, tetapi juga antarbangsa, bahasa, bahkan antarzaman,” kata Ipert.
Penghubung masa
Hal tersebut juga tecermin dalam rancangan QNL yang mengambil konsep terbuka. Memasuki gedung tersebut pengunjung disambut dengan ruangan luas nyaris tak bersekat. Cahaya matahari leluasa masuk melalui jendela-jendela yang dipasang tinggi menyentuh langit-langit. Lantai dari batu alam yang dipoles putih mengilat dan langit-langit berupa cermin memastikan setiap pojok ruangan bercahaya, bahkan hingga di malam hari.
Direktur Eksekutif QNL Sohair Wastawy menjelaskan, konsep gedung ini adalah pengetahuan 360 derajat. Rak-rak buku disusun secara landai sehingga bisa diakses oleh pengguna kursi roda.
QNL tidak memiliki tingkatan lantai. Jarak dari lantai dasar ke langit-langit adalah 22 meter. Rak-rak buku ditopang semacam panggung yang bisa digeser dan ditambah jika koleksi buku semakin banyak. Dari tengah lantai dasar pengunjung bisa melongok ke bawah. Ada ceruk sedalam 8 meter yang merupakan unit koleksi naskah kuno yang bisa diakses melalui tangga ataupun landasan yang terbuka.
Perbedaan unit naskah kuno adalah dinding dan lantainya dari batu berwarna coklat, sementara lantai dasar QNL berwarna putih bersih.
Setiap pengunjung yang berdiri di lantai dasar dapat melihat ke bawah. Seperti dari masa kini menatap masa lalu. Ketika berada di unit naskah kuno, kita tinggal mendongakkan kepala untuk melihat dunia masa depan.
Demikianlah ilmu, berada pada zaman berbeda sekaligus ada pada masa yang sama.
Komunal
Wastawy menerangkan, QNL tidak sekadar menjadi tempat penyimpanan buku. Qatar merupakan negara dengan pendapatan per kapita terbesar di dunia berdasarkan data Dana Moneter Internasional 2018, yaitu 128.702 dollar AS. Semua penduduknya mampu membeli buku dan akses internet negara itu adalah 100 persen.
”Perpustakaan harus bertransformasi lebih dari sekadar tempat menyimpan buku. Perpustakaan adalah tempat belajar masyarakat. Segala usia, jenis kelamin, minat, dan kewarganegaraan harus bisa dilayani,” ujarnya.
Selain pendalaman naskah kuno bagi yang berminat, QNL juga menyediakan berbagai kegiatan kepada masyarakat secara gratis, misalnya ada kelas khusus desain dan percetakan tiga dimensi; ruang musik dengan berbagai alat, mulai dari musik klasik hingga perangkat disc jockey; pusat kegiatan anak- anak; serta kelas untuk ayah dan ibu.
”Kalau negara ingin memindahkan kekuatan ekonomi dari sumber daya alam ke ilmu pengetahuan, semua anggota masyarakat harus mau tanpa dipaksa untuk menginvestasikan waktunya agar terus belajar,” ujar Wastawy.