Menggeliat di Lorong Milenial
Setelah sempat menghilang dan bahkan pernah ada yang terpuruk, beberapa musisi dan band pembuat hits masa lalu kembali bermunculan. Mereka muncul bak melalui portal waktu ke masa kini. Berkat teknologi streaming. Tak hanya bermodal semangat dan nostalgia, karya-karya terbaru serta strategi nan taktis juga mereka persiapkan.
Vakum selama tujuh tahun ternyata tak membuat grup band rock alternatif Padi, kini menyebut diri Padi Reborn, dilupakan oleh para penggemar musik Tanah Air. Dalam dua kali konsernya di ”Kota Lumpia”, Semarang, Jawa Tengah, akhir November 2019, terbukti Padi masih berakar kuat di hati para penggemarnya.
Para penonton, terutama dari kelab penggemar Sobat Padi, ikut bernyanyi dan menyalakan lampu telepon genggam saat beberapa lagu syahdu mendayu dari hits lama dibawakan.
Usai konser para penggemar setia menunggu kelompok beranggotakan lima personel itu di hotel tempat mereka menginap. Sekadar untuk berswafoto atau meminta tanda tangan.
Para personel band asal Surabaya, Jawa Timur, itu melayani dengan sabar. Kebanyakan memang berusia sebaya, tetapi tak sedikit pula yang masih berusia belia. Para penggemar yang disebut terakhir tadi dipastikan belum lahir saat teknologi kaset atau cakram digital masih digunakan.
Pemandangan serta antusiasme dari para penggemar, yang kurang lebih sama, juga terlihat saat band pop hitsmaker Potret tampil manggung di ajang The 90’s Festival. Festival yang juga memunculkan kembali banyak artis lawas itu digelar akhir November 2019 di Gambir Expo Kemayoran, Jakarta.
Sang vokalis Potret, Melly Goeslaw, serta rekan personel lain memang juga sudah lama terbilang absen sebagai band. Kini mereka juga sudah tak sebelia dahulu. Namun, mereka tampak antusias dan semangat walau terengah memandu massa penonton ikut bernyanyi dan berjoget.
Panggung berlatar langit lembayung saat senja itu dikerumuni ribuan penonton remaja hingga manula. Mereka bernyanyi sambil beraerobik mengiringi tembang ”Nana Nana”, yang juga jadi nama album mini terbaru Potret.
Entah kebetulan atau tidak, album tadi diluncurkan juga di tanggal yang sama dengan peluncuran album keenam Padi, Indera Keenam, tanggal 25 Oktober 2019.
Kedua album dari band-band sesama hitsmaker itu juga punya kesamaan, berisi lagu-lagu campuran, baik karya terbaru dan juga hasil ”daur ulang” tembang lama. Sasaran pendengar mereka jelas tak hanya para penggemar-lama setia, tetapi juga pendengar milenial.
Album mini Potret terdiri dari dua lagu lama, yang diaransemen ulang ditambah tiga lagu baru. Selain ”Nana Nana”, juga ada ”Lagu 90’s” dan ”Gak Mau Galau”. Sementara di album Indera Keenam Padi Reborn hanya ada satu dari tujuh lagu yang berstatus baru, ”Kau Malaikatku”.
Lagu baru itu dibawakan dengan mengajak serta (featuring) penyanyi cilik, Jenaka Mahila Sudiro. Sementara enam lagu lain merupakan pilihan bersama para personel band, yang diambil dari lagu-lagu lama nonhits mereka tetapi kali ini dibawakan dalam versi akustik.
Dalam perbincangan usai manggung beberapa waktu lalu, gitaris utama Padi Reborn, Piyu, mengaku strategi tersebut sengaja memang mereka ambil. Lagu lama nonhits, yang diaransemen ulang, mereka tujukan ke para penggemar lama.
Untuk pendengar milenial, Padi Reborn coba menawarkan format bermusik akustik, yang lebih ringan dan tentu saja easy listening. Penyanyi pendatang baru Tanah Air, Stephanie Poetri, dan penyanyi luar negeri, Jason Mraz, dijadikan semacam benchmark bagaimana kalangan milenial menyukai musik-musik simpel berinstrumen sederhana.
Padi mencoba beberapa strategi agar semakin mengena dengan generasi milenial. Seperti menggelar panggung live di beberapa lokasi yang juga bernuansa unik dan kekinian, macam stasiun MRT dan area Kota Lama, Semarang. Bahkan menggelar manggung live di lokasi tak biasa, macam di atas pesawat milik TNI Angkatan Udara dalam sebuah penerbangan santai (joy flight).
Manajer Padi Reborn, Albert Widjaja, mengakui, masa vakum Padi yang lumayan lama membuat mereka sekarang harus sangat serius menggarap kembalinya band besar ini.
”Target besarnya, kami sekarang ingin menjadikan Padi Reborn nantinya selegendaris band besar dunia The Rolling Stones. Namun, untuk mencapai sana, kami upayakan terlebih dahulu agar Padi Reborn sekarang bisa seperti band besar dunia lain, Cold Play,” ujar Albert saat ditemui, Kamis (19/12/2019).
Bagi Albert, Cold Play adalah contoh ideal. Mereka mampu secara konsisten memunculkan setidaknya dua atau tiga hits dari setiap album baru yang diluncurkan. Tiket konser selalu ludes dan menggaet penggemar, mulai dari remaja sampai orang tua.
Albert menambahkan, Padi Reborn perlu aktif di media sosial untuk menjangkau audiens milenial. Sejumlah parameter menunjukkan strategi mereka memuaskan.
”Saat tampil di We The Fest tahun lalu antusiasme dan sambutan penonton luar biasa. Banyak penonton ikut sing along dan mereka hafal lagu-lagu Padi. Parameter lain, tawaran manggung di pentas-pentas seni sekolah (pensi) semakin banyak. Rating televisi juga tak mengecewakan,” ujar Albert.
Data salah satu platform musik streaming besar menyebutkan, setelah launching album keenam, segmen pendengar terbesar Padi Reborn berasal dari kalangan usia 18-22 tahun.
Peluang terbuka lebar
Pemimpin Redaksi Billboard Indonesia Adib Hidayat menyebut, selain menantang, kondisi sekarang juga memberi banyak peluang bagi pemusik lawas kembali bangkit.
Era digital memang membuat para pencinta musik, terutama generasi milenial, memiliki akses besar terhadap beragam katalog musik, tak hanya dari banyak genre, tetapi juga lintas waktu.
”Walau mereka tak punya koleksi kaset atau cakram digital dari album band atau musisi tertentu, mereka bisa mendengarkannya lagi lewat streaming. Dari situ saat menonton konser, misalnya, mereka bisa ikut sing along. Karena disambut baik, banyak event organizer atau produser kemudian melirik band atau musisi lawas untuk tampil manggung,” ujar Adib.
Tak heran kemudian sejumlah band besar dunia, mulai dari Guns N’ Roses, Red Hot Chilli Peppers, atau bahkan yang terbaru, U2, kembali bermunculan menggelar konser reuni. Selain dengan gimmick peringatan ke-35 tahun album ”Joshua Tree” kemarin, band asal Irlandia U2 tersebut juga melanjutkannya dengan konser tur selama tiga tahun.
Fenomena serupa juga terjadi di Tanah Air. Mencontek kesuksesan festival-festival musik yang mengusung lagu-lagu nostalgia di kota-kota besar, kini banyak muncul ajang serupa di tingkat daerah selevel kabupaten atau kotamadya. Artis-artis yang digaet untuk tampil pun kerap nama-nama yang tak diduga lantaran sudah sangat lama menghilang.
Dari sanalah kemudian pasar bertumbuh. Kemunculan band-band atau musisi lawas melalui platform digital, baik dengan sekadar katalog tembang-tembang hits lama atau bahkan baru, menciptakan peluang baru kembali eksis di panggung nyata. Hukum ekonomi permintaan dan pasokan berlaku di sana.
Adib juga melihat ada dua kecenderungan motivasi berbeda fenomena kembalinya para musisi lawas tadi. Sebagian dari mereka memang sekadar ingin kembali dengan hanya memanfaatkan berbagai hits lama mereka, menjual nostalgia, berkemasan baru. Sementara sebagian lagi memang ingin kembali muncul dengan terus serius menghasilkan karya-karya baru.
”Kadang seperti Sheila on 7, mereka sampai sekarang tampaknya masih cukup puas bisa come back hanya dengan memanfaatkan lagu-lagu lama mereka. Atau seperti Padi Reborn yang mengeluarkan karya baru,” ujar Adib.
Kondisi sekarang, menurut Adib, memang punya kelebihan dan kekurangan tersendiri. Bagi sejumlah band dan musisi senior, yang kini sudah tak lagi terikat kontrak jangka panjang dengan label tertentu, kemunculan kembali mereka seharusnya bisa jadi peluang. Apalagi tak ada lagi tekanan pihak studio. Peluang eksis di luar negeri juga terbuka.
Tak ada pilihan yang salah. Semua sah-sah saja dalam kancah industri kreatif.