Misi Sang Merpati
Seperti kutub magnet berlawanan, kehidupan juga kerap menyuguhkan nuansa saling bertolak belakang. Ada yang dianggap hebat dan populer, ada yang dianggap ”cemen”. Seperti itulah karakter Lance Sterling dan Walter Beckett di film animasi, Spies in Disguise.
Kedua karakter ini ibarat kutub magnet yang saling bertolak belakang, tetapi terpaksa berduet dalam sebuah misi penting. Hasilnya bisa ditebak. Keduanya menjadi tim yang tak seimbang. Lance (suara diisi oleh aktor Will Smith), yang selalu berada di kutub superior, merasa tak sebanding dengan Walter yang dianggapnya tak kompeten dan aneh.
Lance adalah mata-mata paling hebat yang tak pernah gagal menuntaskan misinya. Kehebatannya itu menjadikan Lance sebagai sosok yang dipuja rekan sejawatnya di kantor biro. Lance, secara alamiah, juga terbangun menjadi sosok yang jumawa.
Sementara, Walter (suara diisi oleh aktor Tom Holland), adalah ilmuwan muda yang bekerja sebagai pendukung para agen atau mata-mata di kantor biro yang sama dengan Lance. Sejak kecil, Walter sudah berbakat dalam inovasi teknologi. Ia kerap menghasilkan penemuan-penemuan tidak lazim dan dianggap aneh. Dalam perjalanannya sebagai seorang penemu ketika beranjak dewasa pun tetap konsisten dengan penemuan-penemuan yang tidak lazim.
Walter, misalnya, tidak menciptakan senjata-senjata pembunuh kelas wahid yang lazim digunakan para mata-mata dalam melaksanakan misinya. Ia menciptakan produk teknologi unik yang tidak bersifat membunuh, hanya melumpuhkan sejenak.
Senjata bom glitter, misalnya, memproyeksikan hologram anak kucing yang membuat orang yang terkena ”tak berdaya”. Bukan karena terluka secara fisik, melainkan karena serotonin (hormon bahagia) yang dibangkitkan oleh hologram anak kucing itu mengalihkan perhatian dan emosi.
Penemuan lainnya yang tak kalah unik antara lain gelembung pelukan, serum kebenaran beraroma lavender, bolpoin yang bisa melumpuhkan saraf, hingga permen karet berdaya rekat tinggi yang membuat orang yang terpapar sulit melepaskan diri.
Namun, salah satu penemuan terpenting Walter adalah serum yang bisa mengubah DNA manusia jadi seekor merpati. Mengapa merpati? Sebab, merpati, menurut Walter, adalah jenis burung yang cerdas, sanggup berteman, dan punya kecepatan terbang mengagumkan.
Secara tak sengaja, Lance yang tengah jadi buruan karena dianggap mencuri barang bukti kejahatan menenggak serum tersebut. Lance pun berubah menjadi seekor merpati.
Lance jelas murka. Meski tetap ingin menuntaskan misinya yang belum selesai, ia menolak mentah-mentah keinginan Walter yang gigih ingin menjadi ”wing man” alias mitranya. Apalagi, penemuan-penemuan Walter masih saja dianggap aneh dan tak lazim oleh Lance.
Toh, nasib menyeret keduanya dalam misi berbahaya.
Film animasi karya duet sutradara Troy Quane dan Nick Bruno ini diproduksi Blue Sky Studio dan dirilis oleh 20th Century Fox.
Film yang skenarionya ditulis oleh Brad Copeland dan Lloyd Taylor ini konon terinspirasi dari film animasi karya Lucas Martell berjudul Pigeon: Impossible (2014). Perhatikan judulnya yang terdengar seperti plesetan dari sekuel film tentang agen atau mata-mata yang dibintangi aktor Tom Cruise: Mission Impossible.
Dalam film animasi pendek berdurasi sekitar 6 menit tersebut digambarkan seorang agen terpaksa berurusan dengan seekor merpati yang terperangkap di dalam koper kerja miliknya, berisi alat-alat kerja super canggih. Di dalam koper, sang merpati, dengan paruhnya, mencoba seluruh alat kerja sang agen hingga menimbulkan ”bencana”.
Memutus kekerasan
Terlepas dari jalan ceritanya yang khas film tentang agen atau mata-mata, yaitu tentang upaya sang agen menyelesaikan misinya, Spies in Disguise adalah film animasi yang menyuguhkan kisah tentang mata-mata yang jauh dari unsur-unsur yang selama ini identik dengan film-film agen, yaitu kekerasan dan darah. Padahal, Lance dan Walter sebenarnya berurusan dengan para yakuza yang bersenjatakan pedang.
Adegan kekerasan banyak yang dipelesetkan jadi adegan- adegan penuh kekonyolan, kocak mengundang tawa. Sejak awal digambarkan Walter memang tak menyukai kekerasan. Ada latar kisah personal yang membuat ia tumbuh menjadi anak muda yang gigih memilih jalan damai.
Menurut Walter, kekerasan yang dibalas dengan kekerasan justru akan melanggengkan kekerasan. Harus ada upaya memutus mata rantai kekerasan itu. Granat glitter, pelukan gelembung, bolpoin pelumpuh saraf, permen karet berdaya rekat tinggi, adalah alternatif yang ditawarkan Walter.
Dia mencoba menyakinkan orang-orang di bironya untuk mengubah pola pikir itu, tetapi tak berhasil. Penemuan-penemuannya itu justru kerap mengundang tawa, juga diremehkan, karena dianggap tak cocok bagi para agen.
Ada nilai-nilai baru yang ingin didesakkan oleh Spies in Disguise. Duet antara Walter yang merupakan anak milenial versus generasi yang lebih senior seperti Lance. Bila Lance masih memegang prinsip kekerasan harus diselesaikan dengan kekerasan, tidak demikian dengan Walter.
Bila Lance selalu merasa bisa bekerja sendiri dan bangga dengan kemampuannya sendiri, tidak begitu dengan Walter. Ia berkeyakinan, setiap orang punya kelebihan, dan sebagai sebuah tim, seharusnya mereka bisa saling melengkapi, mendukung, berkolaborasi.
Di era baru seperti saat ini, kolaborasi adalah hal yang justru menjadi kunci keberhasilan. Bukan lagi masanya bekerja sendiri, bersikap individualis.
Generasi milenial pun tak semestinya dianggap sebelah mata. Meski Walter digambarkan sebagai generasi milenial yang sangat dekat dengan berbagai produk budaya populer, mulai glitter, punya menonton drama korea, penyuka permen karet juga sneakers, bukan berarti dia bisa diremehkan begitu saja.
Penemuan-penemuannya mungkin aneh, tak lazim, dengan ide-ide yang melawan arus. Namun, bukan berarti kosong dan tak punya misi. Ide tentang memutus mata rantai kekerasan adalah sebuah ide besar yang hanya bisa diwujudkan dengan keberanian dan kekuatan.
Spies in Disguise, melontarkan ide besar itu dengan cara yang ringan, penuh humor.