Naturalisme Bogor
Bogor memiliki sejarah tak terhapus, yakni kelahiran maestro pelukis naturalisme Raden Saleh Syarif Bustaman (1814-1880). Inilah spirit yang terus dibangun, khususnya oleh para perupa di Bogor, Jawa Barat.
Tak seberapa jauh dari bekas lokasi tempat tinggal terakhir Raden Saleh di dekat Kebun Raya Bogor, setelah menikahi istri kedua RA Danudireja (1868-1880), terdapat rumah dinas Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto. Untuk pertama kalinya, rumah dinas tersebut digunakan untuk pameran lukisan.
Sebanyak 15 pelukis dari Kelompok Perupa Perempuan Bogor menggelar pameran bertajuk ”I’m in Love”, 21 Desember 2019 hingga 6 Januari 2020. Sedikitnya 40 lukisan dan patung-patung tanah liat dipamerkan.
Keluarga Bima Arya tidak menempati rumah dinas tersebut sejak masa akhir kepemimpinannya di periode pertama 2018. Setelah terpilih kembali sebagai Wali Kota Bogor untuk periode kedua pun, mereka menghuni rumah pribadi hingga sekarang.
Rumah dinas itu gabungan rumah bergaya kolonial dan modernisme Hindia Belanda yang ditandai bangunan berbentuk kubus beratap datar. Rumah di sisi kiri yang bergaya modernisme Hindia Belanda inilah yang digunakan untuk pameran lukisan Kelompok Perupa Perempuan Bogor.
Melebihi kanvas
Ketika memasuki ruang pamer itu, Kamis (2/1/2020), deretan tiga lukisan dekoratif karya Yane Ardian sontak menyapa. Satu lukisan yang ada di tengah cukup kuat menarik perhatian. Satu lukisan itu diberi judul ”Nunggu Dilamar” (2019) dengan media cat akrilik di atas kanvas berukuran 80 cm x 60 cm dan diberi imbuhan teknik kolase.
Di dalam lukisan itu, Yane melukiskan seorang figur perempuan berpose setengah badan dengan mata setengah terpejam, bibir mungil merah bergincu, berkalung manik-manik merah. Riasan rambutnya alami dengan dedaunan kecil di dasar kelopak tiga kuntum bunga mawar merah.
Ia mengenakan kain bercorak garis warna merah dan kuning dengan pelipit putih. Kemudian dibalut kain kebaya hitam polos. Untuk bagian hitam polos ini, Yane menggunakan teknik kolase atau tempelan kain hitam.
Menariknya, perupa yang juga istri Wali Kota Bima Arya ini tidak memotong kolase kain hitam yang menjuntai ke bawah sesuai bidang kanvas. Ia sengaja mengeluarkan kain hitam itu dari bidang kanvasnya. Ada sedikit kisah dituturkan Yane mengenai itu.
”Baju yang over frame (keluar dari bingkai) itu menunjukkan perasaan saya yang lebih luas dari hanya sebatas besarnya kanvas,” ujar Yane.
Melalui lukisan itu, Yane bertutur tentang perasaannya membuncah ketika dalam penantian pelamaran oleh calon suaminya. Ada harapan sekaligus terbayang berjuta tantangan yang bakal ditemui di dalam mahligai rumah tangga kelak.
Kain kebaya keluar dari frame ini kuat menyiratkan pesan emansipasi perempuan. Yane menegaskan, perempuan setelah menikah bukanlah berarti masuk ke dalam kotak atau batasan lingkup dalam berkarya.
Warna merah menjadi kesukaan Yane. Di balik itu Yane memaknainya sebagai warna kematangan batin. Warna merah isyarat kesiapsiagaan menghadapi tantangan yang ada di depan mata setelah dilamar calon suami.
Yane bermain di dunia gagasan. Ia menampilkan empat lukisan dekoratif lainnya yang berjudul ”Pengantin Menanti di Peraduan” (2019), ”Mom and Daughter” (2019), ”Shy Girl” (2019), dan ”Perempuan Topi Merah” (2019). Tema lukisan-lukisan itu merespons tema besar pameran tentang cinta, ”I’m in Love”.
Dengan cara masing-masing, para perupa yang tergabung dalam Kelompok Perupa Perempuan Bogor itu merespons tema cinta dengan uniknya. Mereka meliputi Annisapradita, Dara Sinta, Diana Dee Mohy, Erna Winarsih Wiyono, Fransisca Christianti, Ida Kurniati, Ika W Burhan, Lia Laveena Amriani, Magdhalena Nathalia, Maya Agustina, Nila Kusumawardina, Rotua Magdalena, Siti Leikha Firgiani, dan Widya Naftali.
Seperti Yane, mereka melukis untuk mengungkap perasaan. Di situ sering terungkap pemahaman yang tidak terduga dari sudut pandang sosok perempuan.
Seperti lukisan abstrak figuratif karya perupa Fransisca Christianti, misalnya. Secara sekilas karya-karyanya seperti abstrak liris menuangkan isi perasaan yang susah dimengerti, seperti di dalam karyanya, ”Critical Moment I” dan ”Critical Moment II”, keduanya berangka tahun 2019.
Perupa yang akrab disapa Siska ini menuturkan, di dalam lukisan abstraknya itu tersamar figuratif bunga yang hampir layu. ”Itulah masa-masa kritis ketika bunga hampir layu kita baru menyadari dan mendapati rasa cinta terhadap bunga itu,” ujar Siska.
Benar juga. Bunga ketika mekar menawarkan keindahan dan bau harum semerbak kadang dijadikan hal biasa. Ketika kelopak bunga itu mulai layu justru kemudian menyadarkan rasa cinta kita kepada bunga itu.
Dalam kehidupan sehari-hari, maknanya luas dan mendalam. Rasa cinta kerap hadir di masa-masa yang kritis.
Perupa Ika W Burhan melalui patung-patung keramiknya mengungkap metafora daun kering yang tetap kuat. Ika membuat patung-patung kecil monster berwajah menakutkan yang diletakkan di atas daun-daun kering.
Daun-daun itu dari pohon nangka, kluwih, atau jati. Ika menyebutkan, daun-daun itu tetap kuat meski mengering dan sudah tanggal dari batang pohonnya. Daun-daun itu menjadi landasan patung-patung monsternya.
Ika bermetafora, daun kering yang tetap kuat itu sebagai landasan setiap karyanya. Seburuk apa pun raut muka monster ketika berada di landasan daun kering yang kuat itu menjadi tak lagi menakutkan. ”Landasan yang kuat itu adalah cinta,” ujar Ika.
Kurator pameran Gihon Nugrahadi berpandangan, karya-karya ini disuguhkan oleh para seniman naturalisme yang mengapresiasi keindahan alam. Bogor secara khusus menyuguhkan keindahan alam sebagai perpustakaan atau referensi yang tak akan pernah habis.
Seperti Raden Saleh tumbuh dari kepiawaian naturalisme kemudian menjadi romantisisme. Kelompok Perupa Perempuan Bogor secara khusus memiliki tantangan keberubahan diri masing-masing.
Seperti perupa Yane Ardian yang melebihkan potongan kolasenya keluar dari bidang kanvas. Ini pesan out of the box, keluar dari kotak kelaziman untuk menuju kebaruan yang menyegarkan.