Di Balik Manis Si Boba dan Gurih Mozzarella
CNA menyebutkan, berdasarkan temuan mereka, minuman boba mengandung lebih banyak gula dibandingkan dengan minuman soda yang sudah dikecam karena mengandung terlalu banyak gula.
Rabu (8/1/2020) siang nan mendung di area pujasera sebuah pusat perbelanjaan di pusat Jakarta. Sekelompok gadis duduk bersama menyantap makan siang dengan menu ramen. Sembari menyuap ramen, mereka masing-masing menyeruput segelas minuman teh susu dengan gula merah dan campuran boba. Bulir-bulir es yang mencair menghiasi dinding gelas plastik di tangan mereka. Menggiurkan….
Jam makan siang di area pujasera, pusat jajanan serba ada, ibarat pesta minuman boba. Di meja-meja sekeliling para gadis, orang-orang yang bersantap siang juga minum segelas minuman boba. Peminatnya rata-rata anak muda.
Dalam satu meja setidaknya ada satu orang yang memesan minuman boba. Banyak juga yang memesan lalu dibawa pergi.
Di gerai minuman boba, kerumunan pembeli tak kunjung terurai. Minuman jenis ini, bercampur boba, bola-bola kecil berwarna hitam dari tepung tapioka yang teksturnya kenyal, memang sedang digandrungi. Di warung-warung boba skala kecil di tepi jalan pun antrean terlihat mengular.
Rasa manis, segar, dingin, dan harga yang relatif terjangkau menjadikan boba diburu. Apalagi didukung ojek daring dan beragam promosi harga.
Sebagai gambaran, di sebuah gerai minuman boba, hingga sekitar pukul 14.00, nomor antrean sudah menunjukkan angka 190. Jika gerai buka pukul 10.00, rata-rata 1,2 orang datang per menit untuk membeli.
Winston Wijaya (25) adalah salah satu konsumen setia minuman boba. ”Pertama dikasih kakak pas lagi di mal. Itu tahun 2012,” ujar Winston yang kini sudah berstatus sebagai karyawan.
Saking gandrungnya, Winston sampai pernah rutin meminum ”si boba” 4-5 kali dalam seminggu. ”Ini sejak kerja dan sejak banyak promo di ojek daring,” katanya.
Dia kini berusaha mengurangi kebiasaannya minum si boba. Menurut aplikasi My Fitness Pal miliknya, si boba mengandung 22 gram gula. Dia khawatir bisa memicu diabetes. ”Targetnya sekarang seminggu sekali. Terus kalau minum, pokoknya mesti olahraga hari itu atau besoknya,” kata Winston.
Kegandrungan orang terhadap si boba memang luar biasa. VP Corporate Affairs Food Ecosystem Gojek Rosel Lavina mengatakan, di layanan GoFood, minuman yang mengandung gula aren, seperti brown sugar fresh milk dan brown sugar milk tea, menjadi jenis minuman yang banyak dipesan konsumen. Transaksinya bahkan naik 29 kali lipat sepanjang 2019.
”Brown sugar drinks juga menjadi minuman yang paling digemari untuk disantap dengan topping boba. Itu membuatnya masuk kategori populer untuk bubble tea drinks atau minuman boba yang sekarang juga menjadi minuman kekinian,” ujar Rosel.
Pesanan untuk boba drinks di aplikasi GoFood pada akhir 2019, tambah Rosel, juga meningkat lima kali lipat jika dibandingkan dengan awal 2019. Hal ini berbanding lurus dengan tren di seluruh dunia ketika minuman boba menjadi penggerak utama pertumbuhan bisnis minuman.
Nilai pasar global minuman boba 1.957 miliar dollar AS pada 2017 dan diprediksi terus tumbuh hingga tahun 2023 sebesar 7,4 persen per tahun. Di GoFood, mitra pelaku bisnis kuliner minuman boba pada 2019 meningkat empat kali lipat dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Di Singapura, seperti dilansir Channel News Asia (CNA) pada 5 Januari 2019, minuman sejenis juga mengundang antrean pembeli. Namun, meski menggairahkan perekonomian, kegemaran minum minuman boba juga mengundang keprihatinan dari segi kesehatan. Banyak pembeli tidak menyadari kandungan di dalamnya.
CNA menyebutkan, berdasarkan temuan mereka, minuman boba mengandung lebih banyak gula dibandingkan dengan minuman soda yang sudah dikecam karena mengandung terlalu banyak gula. Contohnya, segelas brown sugar boba milk ukuran 500 mililiter mengandung 92 gram gula, tiga kali lipat dibandingkan dengan kadar gula dalam 320 ml kaleng minuman soda bermerek terkenal.
Temuan CNA yang bekerja sama dengan mahasiswa diploma Applied Food Science and Nutrition di Politeknik Temasek juga mengindikasikan orang cenderung tidak menganggap minuman boba ini sebagai bagian dari konsumsi harian dan meminumnya di antara waktu makan. Kementerian Kesehatan Singapura telah mulai mengambil langkah-langkah untuk mengurangi asupan gula warganya sebagai upaya memerangi diabetes. Hampir setengah juta warga Singapura saat ini hidup dengan diabetes.
Demam keju
Selain boba, gerai atau restoran yang menawarkan sajian makanan dengan topping keju juga diserbu pembeli. Misalnya, ayam goreng ber-topping keju, ayam geprek mozzarella, dan mi instan kuah keju. Di GoFood, menurut Rosel, transaksi kreasi menu keju meningkat hingga 30 persen pada 2019.
Demam keju juga menerpa hingga jenis minuman tertentu. Antrean di gerai minuman teh keju atau cheese tea sudah mencapai 352 pada pukul 15.00.
Di gerai burger asal Amerika Serikat di Bandara Jewel Changi, Singapura, misalnya, antrean panjang terjadi sejak Minggu (5/1/2020) siang hingga sore. Saat ramai seperti itu, pembeli harus rela mengantre hingga setidaknya 1 jam. Antrean baru terlihat lebih ”ramah” pada Senin pagi.
Iming-iming 100 persen menggunakan bahan alami daging sapi Angus tanpa hormon dan antibiotik jadi salah satu daya tariknya. Dalam satu gigitan, rasa roti kentang yang diklaim bebas rekayasa genetik (genetically modified organism) atau non-GMO itu terasa lembut di mulut. Daging Angus-nya pun lumer di mulut. Rasa gurih keju berpadu dengan segarnya selada, tomat, dan bawang.
”Rasanya surprise. Aku sebenarnya enggak suka cheese, tetapi ini aman karena ringan banget. Satu porsi yang single sudah cukup, sih,” ujar Novi Nadya, pembeli dari Jakarta.
Meski doyan makan enak, kesadaran tetap hidup sehat sudah tertanam dalam diri Nadya. Makanan enak itu perlu diimbangi dengan olahraga setiap pagi untuk membakar lemak dan kalori.
”Sarapan juga buah dan minuman rasa-rasa dikurangi. Oh, iya, aku enggak pesan soda yang gulanya kencang, kan. Ganti minumannya juga sudah trik, sih,” ujar Nadya.
Cerdik bersiasat
Sayangnya, tak semua orang sadar dan berani bersikap seperti Nadya. Selain hasrat untuk terlihat trendi, menjadi bagian dari tren, orang cenderung mengabaikan fakta bahwa makanan dan minuman berkalori tinggi yang diasup menyimpan bahaya laten. Saat paham dengan risikonya, imbauan untuk mengimbangi asupan dengan olahraga pun bukan perkara mudah.
Menurut dokter spesialis gizi klinik, Juwalita Surapsari, dalam satu gelas minuman teh susu boba setidaknya memiliki 300-400 kalori. Mengonsumsi tanpa kontrol tentu meningkatkan risiko buruk pada kesehatan. Bagi anak-anak, juga rentan menyebabkan obesitas.
Saat ini, Lita bahkan banyak menemui kasus remaja putri yang datang ke kliniknya karena obesitas dan mengalami gangguan menstruasi karena sindrom ovarium polikistik (PCOS).
PCOS adalah kumpulan gejala yang ditandai dengan ketidakseimbangan hormon yang dapat terjadi pada wanita di usia subur, salah satunya terkait dengan resistensi insulin. Ini berisiko pada diabetes.
Begitu juga dengan makanan seperti ayam geprek mozzarella. Ayam yang digoreng menggunakan tepung akan mengikat lemak lebih banyak ketimbang tanpa tepung. Belum lagi jika ditambah keju yang merupakan sumber lemak jenuh karena berasal dari lemak hewani. ”Lemak jenuh ini erat kaitannya dengan kolesterol tinggi, obesitas, dan jantung,” ujar Lita. Agar terhindar dari risiko berbagai penyakit, asupan gula, garam, dan lemak harus benar-benar diperhatikan.
Mengkhawatirkan
Dokter ahli gizi Tan Shot Yen menyebut kelebihan kalori dalam konsumsi makanan, seperti pada makanan yang sedang jadi tren, saat ini sudah pada tahap mengkhawatirkan. Namun, selain hitungan kalori, kualitas dari makanan juga perlu diperhitungkan. ”Boleh kalorinya rendah. Namun, jika itu produk ultraproses, tentu menjadi masalah,” ujarnya.
Sumber pangan yang dapat dibilang sebagai makanan terbaik bagi manusia, lanjut dokter Tan, adalah makanan yang sehat seimbang. Makanan sehat adalah makanan yang semakin dekat dengan bentuk aslinya di alam. Makanan ini di antaranya melibatkan proses yang minimal, seperti ayam opor, tentu jauh lebih sehat daripada sosis ayam. Seimbang artinya setiap kali makan ada proporsi seimbang antara karbohidrat, protein, dan lemak yang sehat.
”Tubuh manusia enggak bisa dimanipulasi, disogok, atau diakali. Itu penting untuk dipahami dulu. Begitu ada asupan masuk, saat yang sama reaksi tubuh bekerja, mulai dari hormon, enzim, dan semua perangkatnya,” tutur Tan.
Orang-orang yang sudah paham pentingnya makan sehat dengan asupan sayur dan buah yang baik tidak bakalan mau menyabotase tubuh dengan jenis asupan yang dia paham tidak baik bagi tubuhnya. ”Justru produk-produk ultraproses yang tinggi kalori, transfat, dan garam berlebih disukai orang yang tidak paham nutrisi,” ujarnya.
Makanan tidak sehat ini biasanya menjadi candu lidah karena kecerdikan siasat produsen dalam mencengkeram konsumennya.