Yang Hilang dan Abadi di Asmat
Jalan-jalan papan telah menjelma beton, ramai oleh lalu lalang sepeda motor listrik.
Jalan-jalan papan telah menjelma beton, ramai oleh lalu lalang sepeda motor listrik. Namun, ada yang tak berubah: mama-mama berjualan sayur dan ikan di pinggir jalan, sementara anak-anak mereka berjuang melawan gizi buruk dan penyakit menular.
Dibandingkan 13 tahun lalu saat pertama kali menjejak Agats, ibu kota Kabupaten Asmat, Papua, infrastruktur dan ikon kota di rawa-rawa telah berubah. Dulu, dari rumah ke rumah, ke sekolah, rumah ibadah, dan perkantoran, kita harus berjalan kaki lewat di atas papan kayu sehingga Agats pernah dijuluki kota di atas papan.
Jembatan-jembatan papan yang disangga balok kayu besi itulah yang dulu menjadi ciri khas kota yang dikenal dengan para pengukirnya. Namun, kini, jembatan gantung dari baja yang melintasi Kampung Suru, di pinggir kota ini, ditetapkan pemerintah daerah sebagai ikon pariwisata baru.
Selain jalan dan jembatan yang dibeton, listrik dan jaringan telepon kini juga sudah lancar. Internet masih tersendat, tetapi di beberapa lokasi terdapat jaringan Wi-Fi gratis, seperti di dekat Rumah Sakit Umum Agats.
Di titik-titik inilah biasanya anak-anak muda berkumpul hingga malam hari. Seperti malam itu di pertengahan Agustus 2019, sekelompok remaja duduk-duduk di pinggir jalan. Mereka bermain gim daring PUBG (PlayerUnknown’s
Battlegrounds) memakai telepon genggam.
Seperti malam-malam sebelumnya, gerimis turun sejak sore. Namun, deretan pertokoan yang menjual baju, barang kelontong, hingga telepon genggam tak sepi hingga lewat jam sembilan malam. Warung-warung makan juga tetap ramai. Mulai dari gado-gado, pecel ayam, coto makassar, hingga warung padang berderet di sepanjang jalan.
Menu makanan dari sejumlah daerah di Indonesia ini menampilkan sisi kosmopolitan Agats. Selain mama-mama penjual sayur yang berasal dari kampung-kampung sekitar, para pedagang berasal dari luar Papua, utamanya dari Buton dan Bugis, selain Jawa. Demikian halnya pengojek sepeda motor listrik juga pendatang.
Tak hanya orangnya, hampir semua elemen pendukung Kota Agats datang dari luar. Dibangun di atas rawa-rawa, nyaris tak ada tanaman yang bisa bertahan hidup, kecuali bakau dan sagu yang tahan air dengan kadar keasaman tinggi.
Kecuali aneka jenis ikan, karaka atau kepiting, udang, dan sagu yang berlimpah, semua bahan makanan di Agats harus didatangkan dari luar dan sebagian besar melalui pesawat udara. Seperti pagi itu, saat terbang ke Agats dari Timika, kami harus berbagi ruang dengan puluhan kardus mi instan.
Namun, sagu yang ribuan tahun menjadi penopang hidup masyarakat Asmat semakin tergusur. Banyak yang memilih menjual ikan segar demi membeli beras, ikan kaleng, dan mi instan.
Padahal, sagu (Metroxylon sagu Rottb) sebenarnya bukan hanya sumber pangan bagi Asmat, melainkan juga elemen budaya mereka. Antropolog Amerika Serikat, Tobias Schneebaum, dalam Asmat Images, menjelaskan, ukiran Asmat banyak ditujukan untuk menghormati para arwah yang menjaga tanaman sagu. Sementara ulat sagu menjadi pusat ritus dalam berbagai festival adat.
Perubahan budaya
Tak hanya di Kota Agats, perubahan pola konsumsi juga menderas hingga jauh di pedalaman. Seperti yang kami lihat saat mengikuti perjalanan tim peneliti genetika Lembaga Biologi Molekuler Eijkman dan Litbang Kesehatan Papua di Kampung Daikot dan Somnak di Distrik Joutu, yang berjarak sekitar 6 jam dengan perahu cepat dari Kota Agats.
Masyarakat di dua kampung ini awalnya hidup dari berburu dan meramu dengan pangan pokok sagu, ulat sagu, dan ikan. Namun, sejak pertengahan 1990-an, terjadi perubahan pola konsumsi seiring dengan demam kayu gaharu. Selain membeli gaharu, para pengepul biasanya juga menjajakan aneka barang, termasuk makanan ke masyarakat.
”Biasanya uang hasil jual gaharu kembali dibelanjakan ke kami dalam bentuk beras, mi, minyak goreng, rokok, hingga pakaian. Saya dulu bisa jual sandal Rp 500.000 dan celana jins sampai Rp 600.000 per potong,” kata Titin, mantan pengepul gaharu, yang kini berjualan nasi rames di Kota Agats.
Tak hanya barang, kedatangan pendatang saat itu juga mengenalkan budaya baru, selain penyakit menular. Masyarakat Asmat yang berlimpah uang dari kayu gaharu telah menarik pekerja seks komersial dari sejumlah daerah. Gaharu ditukar dengan layanan seks. Dengan cara inilah, HIV/AIDS menyebar hingga jauh ke pedalaman Asmat.
Sekalipun kini gaharu telah menipis, HIV/AIDS masih menjadi persoalan di Asmat. Tak hanya HIV, penyakit lepra yang di sejumlah tempat lain di Indonesia semakin langka, masih merebak di Asmat. Penelitian Hana Krisnawati dari Litbang Kesehatan Papua menemukan, sekitar 30 persen penduduk di Kampung Daikot dan Somnak, yang dihuni 200 dan 300 warga ini, terkena kusta.
”Dari gejalanya jelas kusta. Kulitnya keras dan kebas,” kata Elihud Robaha dari Dinas Kesehatan Papua kepada seorang ibu yang memeriksakan anaknya berusia 9 tahun, pagi itu.
Bocah lelaki itu kurus kering dengan kulit punggung dipenuhi bercak putih melebar. Sebelah kakinya mengecil, menandakan kuman Mycobacterium leprae menyerang tulang. Elihud mengambil sel jaringan kulit di belakang telinga bocah dan sampel darahnya untuk diperiksa lebih lanjut.
”Kalau anak kena kusta, kemungkinan besar tertular dari orangtua. Penyakit ini tak mudah ditularkan, butuh interaksi intensif dengan penderita baru bisa tertular,” kata Hana.
Penyakit kusta, menurut Hana, juga amat dipengaruhi kondisi tubuh kita. Jika kebersihan tubuh tak baik, daya imun telah habis untuk melawan bakteri lain, saat kuman kusta menyerang. ”Apalagi, jika kekurangan nutrisi, sehingga daya tahan juga lemah,” ujarnya.
Gizi buruk memang menghantui masyarakat Asmat. Februari 2018, 72 anak meninggal karena gizi buruk dan penyakit cacar. Ketergantung-
an terhadap sumber makanan dari luar dan pengabaian sumber pangan lokal turut memperburuk kualitas gizi masyarakat. ”Perubahan pola makan yang tiba-tiba pasti mengganggu metabolisme tubuh karena keseimbangan mikrobioma pencernaan juga terganggu,” kata Herawati Supolo Sudoyo, peneliti Eijkman.
Perubahan memang tak terhindarkan. Seperti ditulis Gunter Konrad dalam buku Asmat: Mencerap Kehidupan dalam Seni (2002), biar pun orang mungkin menginginkan agar kehidupan Asmat dapat tetap dalam bentuk ”Abad Batu”-nya yang memesona, toh jelas pula mereka telah meniru pola hidup orang Indonesia dan Barat pada umumnya.
Padahal, aneka pangan lokal, seperti papeda, sagu bakar, ubi dan singkong rebus, dengan kuah ikan kuning serta karaka bumbu pedas yang dimasak para staf lokal Dinas Kesehatan Asmat pada malam terakhir itu, menjadi menu makan terlezat selama seminggu di sana.