Dolittle, penafsiran terkini dari buku cerita untuk anak-anak tahun 1920, menyuguhkan kisah petualangan yang, meski cukup bersemangat, terasa kurang berenergi.
Oleh
FRANSISCA ROMANA NINIK
·4 menit baca
Lima dasawarsa berselang sejak dokter yang bisa berbicara dengan hewan ini muncul di layar lebar. Dolittle, penafsiran terkini dari buku cerita untuk anak-anak tahun 1920, menyuguhkan kisah petualangan yang, meski cukup bersemangat, terasa kurang berenergi.
Dokter John Dolittle adalah tokoh utama dalam seri buku anak berjudul The Story of Doctor Dolittle karya Hugh Lofting yang ditulis tahun 1920. Dolittle adalah seorang dokter yang lebih memilih pasien hewan dibandingkan manusia, bahkan bisa berbicara dalam bahasa mereka.
Dolittle pertama kali muncul di layar lebar dalam film berjudul Doctor Dolittle tahun 1967 berupa film musikal dengan tokoh utama diperankan aktor Rex Harrison. Lebih dari 30 tahun kemudian, sosoknya muncul lagi di layar lebar, kali ini dalam film berjudul Dr Dolittle. Film tersebut hanya terinspirasi cerita karya Lofting, tetapi tidak menggunakan materi apa pun dari novelnya.
Aktor Eddie Murphy memerankan sosok sang dokter dan langsung mendulang sukses besar. Kesuksesan itu diikuti sekuelnya, Dr Dolittle 2, ditambah tiga sempalan (spin-off) lain.
Sosok Murphy yang kocak sangat lekat pada karakter tersebut. Sebagian penonton yang sekarang telah menjadi orangtua, barangkali pernah menonton aksinya di bioskop.
Kini Dolittle hadir lewat peran Robert Downey, Jr yang sukses memerankan Tony Stark alias Iron Man dalam jagat pahlawan super Marvel. Selain menjadi tokoh utama, Downey juga menjadi produser film Dolittle bersama istrinya, Susan Downey.
Dolittle disutradarai Stephen Gaghan yang dikenal sebagai penulis skenario film Traffic (2000) dan penulis skenario sekaligus sutradara film Syriana (2005). Kedua film itu menggondol Piala Oscar, yakni Skenario Adaptasi Terbaik untuk Traffic dan Skenario Original Terbaik untuk Syriana.
Namun, entah bagaimana, skenario untuk Dolittle yang dia tulis bersama Dan Gregor dan Doug Mand terasa jauh dari kategori Piala Oscar. Bahkan, secara keseluruhan Dolittle banyak mendapat kritik negatif dari berbagai segi. Itu termasuk bagaimana Downey memerankan dokter Dolittle yang seakan tidak merasuk pada karakter tersebut.
Amburadul
Dolittle mengisahkan petualangan sang dokter bersama para hewan yang dirawatnya untuk menyelamatkan Ratu Inggris, Victoria (Jessie Buckley), yang sekarat karena sakit, sekaligus menyelamatkan properti yang telah dihuninya sekian lama.
Setelah kehilangan istrinya, Lily (Kasia Smutniak), yang meninggal saat bertualang, Dolittle menutup diri dan kediamannya dari dunia. Tak hanya tumbuhan liar yang tumbuh subur, rambut dan janggut pun amburadul tak terawat.
Sakitnya sang ratu memaksa dia keluar dari kehidupannya yang tak bersentuhan dengan manusia. Ia melakoni petualangan di dunia jauh, berhadapan dengan masa lalu dan musuh bebuyutannya, dokter Blair Mudfly (Michael Sheen).
Cerita terpusat pada perjalanan Dolittle dan hewan-hewan di sekitarnya dengan karakter mereka masing-masing. Sederet bintang papan atas Hollywood didapuk mengisi suara para hewan tersebut.
Ada Polynesia (Emma Thompson), burung kakaktua yang bijak; Chee-Chee (Rami Malek), gorila yang gelisah tetapi baik hati; Yoshi (John Cena), beruang kutub yang selalu kedinginan; Plimpton (Kumail Nanjiani), burung unta yang sinis; Dab-Dab (Octavia Spencer), bebek yang antusias; dan Kevin (Craig Robinson), tupai yang rajin membuat jurnal.
Ada pula si anjing Jip (Tom Holland), si jerapah Betsy (Selena Gomez), si rubah Tutu (Marion Cotillard), dan si singa betina Regine (Carmen Ejogo) yang tidak ikut bertualang sehingga karakter mereka tidak terlalu dieksplorasi.
Datar
Sebagai tokoh sentral, Dolittle mengalami perkembangan karakter, mulai dari yang tertutup pada manusia hingga dia bisa membuka diri dan berbuat sesuatu yang berguna. Namun, pengekspresiannya terasa datar. Tidak ada emosi yang mengentak-entak sehingga penonton tidak ikut merasakannya.
Menonton Downey sebagai John Dolittle serasa menonton Sherlock Holmes atau Tony Stark yang bisa berbicara dengan hewan. Karakter itu seakan lengket dengan Downey, sama halnya dengan Kapten Jack Sparrow yang seolah melekat pada Johny Depp atau Tom Cruise pada agen Ethan Hunt.
Downey mendapat banyak kritik negatif soal aksen Dolittle yang dimaksudkan sebagai aksen Wales, tetapi ternyata tidak konsisten.
Dalam catatan produksi disebutkan, setiap karakter, termasuk hewan-hewan, memiliki persoalan masing-masing yang harus diselesaikan. Keberadaan karakter hewan ini membantu mengangkat karakter Dolittle yang juga harus menyelesaikan persoalannya sendiri.
Bagi Gaghan, film dan karakter-karakter tersebut diamdiam terhubung dengan dunia modern saat ini yang berisik, penuh persaingan sengit, dan terpolarisasi. ”Jika Anda melihatnya dari paradigma pahlawan super, Dolittle adalah pahlawan super yang kemampuannya adalah mendengarkan,” ujar Gaghan.
Alasan Dolittle bisa berkomunikasi dengan hewan-hewan itu, lanjut Gaghan, adalah empati yang dimilikinya. Gaghan menonton Doctor Dolittle saat berusia 3 atau 4 tahun dan terpukau. Film itu tersimpan di sudut memorinya dan menanti 50 tahun untuk keluar.
Itulah sebabnya dia ingin film Dolittle bisa ditonton anak-anaknya yang berusia 5 tahun sampai yang remaja.
Film dengan kategori semua umur ini memang barangkali cocok untuk penonton anakanak ataupun usia muda, dengan kisah petualangan dan nilai-nilai yang ditampilkan tersebut. Gambar-gambar panorama yang indah dan gambar karakter yang dibuat dengan komputer (CGI) cukup menolong keseruan. Sayangnya eksekusi film tersebut untuk penonton yang lebih dewasa terasa kurang ”nendang”.
Alur cerita dibuat linear dan sangat mudah dipahami, bahkan terasa mudah ditebak kelanjutan dari setiap adegan. Humor-humor kecil di sanasini, terutama dari dialog dan tingkah polah para hewan, mampu memancing cekikikan.
Tak ada kesan mendalam ketika keluar dari bioskop. Barangkali ada interpretasi Dolittle yang lebih mumpuni setelah ini?