Ngohiang kuliner khas Bogor yang dibuat oleh warga Tionghoa awalnya adalah daging babi yang dipotong kecil-kecil, dibumbui, dan dicampur tepung. Daging babi ngohiang kini diganti dengan ayam agar penikmatnya makin banyak
Oleh
Sekar Gandhawangi/Sharon Patricia
·4 menit baca
Ingatan Firman (60) kembali ke tahun 1970-an saat ia menyusuri jalanan Bogor, Jawa Barat untuk berjualan ngohiang. Makanan khas Tionghoa itu dijajakan dengan gerobak yang dipikul seorang pekerja dewasa. Ia yang saat itu masih anak-anak punya tugas lain, yakni melayani pembeli.
Tugas ini ia lakukan saban hari setelah pulang sekolah. Pemikul gerobak yang berjalan bersamanya adalah orang yang dipekerjakan orangtua Firman. Sementara mereka berdagang, orangtua Firman bertugas meracik ngohiang di rumah.
Ngohiang dibuat dari daging babi yang dipotong kecil-kecil, dibumbui, dan dicampur tepung. Adonan kemudian digulung dan ditim selama sekitar 30 menit. Ngohiang yang telah ditim harus dibiarkan dingin sebelum diproses lebih lanjut. Jika tidak, ngohiang akan jadi lembek.
Ngohiang yang telah dingin lantas dibalur adonan tepung, digoreng, dan dipotong-potong. Sekilas proses dan bentuknya seperti roulade, daging cincang gulung khas Eropa. Bedanya, ngohiang disajikan bersama tahu, kentang rebus, acar lobak, dan saus kental dari kacang. Makanan ini bak batagor versi oriental.
Kendati demikian, ngohiang bukan makanan khas Imlek. Ngohiang diadaptasi dari daratan China dan disajikan dengan beragam cara di Nusantara.
Di Jakarta, ngohiang dibuat dengan balutan kulit tahu sebelum digoreng. Menurut beberapa penggemar ngohiang, teksturnya lebih keras dibandingkan ngohiang yang digoreng dengan adonan terigu. Sementara itu, ngohiang dimakan sebagai lauk pendamping nasi di Medan.
Hanya ngohiang di Bogor yang disajikan dengan saus kacang. Tekstur ngohiang garing di luar dan lembut di dalam. Rasanya gurih sekaligus manis. Rasanya berbeda akibat paduan cita rasa daging babi dan bumbu-bumbu rahasia di dalamnya.
“Resep ini bikinan orangtua saya. Keluarga kami sudah jualan ngohiang selama sekitar 50 tahun. Saya adalah generasi kedua,” kata Firman di kedai miliknya di Jalan Surya Kencana, Bogor, Selasa (21/1/2020).
Selama lima dekade, resep ngohiang racikan orangtua Firman tidak pernah diubah. Satu-satunya perubahan yang dilakukan adalah mengganti daging babi dengan ayam. Ngohiang ayam ini hanya tersedia di hari-hari tertentu.
Ngohiang ayam dibuat agar penikmatnya semakin banyak. Selama ini, mayoritas konsumen ngohiang adalah warga keturunan Tionghoa. Warga muslim tidak bisa memakannya karena tergolong makanan non-halal.
“Walaupun sudah diganti dengan ayam, jujur saja, saya tidak bisa jamin kehalalannya. Saya selalu beri tahu pelanggan soal ini,” kata Firman.
Rowan (55) dan Yenny (50) adalah salah satu penggemar setia ngohiang. Pasangan suami-istri dari Jakarta tersebut tidak pernah absen menyantap ngohiang setiap berkunjung ke Bogor. Kata mereka, belum lengkap rasanya ke Bogor tanpa makan ngohiang.
“Kami sudah pernah cicipi ngohiang versi Jakarta, Pontianak, hingga Medan. Menurut kami, ngohiang Bogor rasanya jauh lebih enak. Acar lobak, saus, dan ngohiangnya klop sekali di mulut,” kata Yenny.
Lima wewangian
Ngohiang pada dasarnya ialah makanan yang diadopsi dari daratan China. Dalam bahasa Hokkien, ngo berarti lima dan hiang berarti wewangian. Secara umum, ngohiang berarti lima wewangian yang aromanya diperoleh dari rempah-rempah.
Ada yang berkata bahwa di negara asalnya, ngohiang bukanlah makanan. Ngohiang berupa bumbu-bumbu yang diracik yang dijual di pasar. Bumbu serupa bisa ditemukan di pasar tradisional hingga pasar modern dalam bentuk kemasan botol.
Merangkum dari berbagai sumber, bumbu ngohiang terdiri antara lain dari kayu manis, cengkeh, adas manis, andaliman, dan bunga lawang. Beberapa orang menyebut bumbu tersebut sebagai five spice powder.
Adapun bumbu ini digunakan juga untuk membuat sekba, semacam semur babi berbahan dasar kecap dan bawang putih. Bumbu yang dipakai tidak identik, namun cita rasa yang dihasilkan membangkitkan memori atas ngohiang.
Pembeli bisa memilih sendiri isi semangkuk sekba. Beragam pilihan ada di kuali sang penjual, seperti daging, samcan, dan jeroan. Mangkuk kemudian disiram kuah panas berwarna coklat. Kuah tersebut merupakan air dan bumbu yang digunakan untuk merebus daging dan jeroan babi.
“Sekba bukan makanan Imlek. Ini juga bukan tipe makanan yang dikonsumsi sehari-hari karena ada jeroan. Jika dimakan setiap hari, bisa-bisa pembelinya sakit,” kata penjual sekba di Bogor, Lie Tjoe Beng (49).
Selain sekba dan ngohiang, martabak manis juga merupakan makanan akulturasi China-Indonesia. Nama lain dari martabak manis adalah hok lo pan.
Beberapa orang percaya bahwa martabak manis di Indonesia mulanya dibuat oleh orang Tionghoa di Bangka Belitung. Seiring berjalannya waktu, martabak manis tersebar di Indonesia dan diberi julukan beragam, seperti terang bulan, kue bulan, dan apam pinang.
Resep dan cara memasak terang bulan kini bervariasi. Ayun (58) adalah salah satu penjual martabak manis di Bogor yang masih memasak dengan arang. Kendati lebih sulit dibandingkan memasak dengan kompor, martabak manis dagangannya selalu dicari pelanggan.
“Rasa dan wanginya berbeda dengan yang dimasak dengan kompor biasa. Saya pernah coba masak dengan kompor, tapi pelanggan lebih suka martabak manis yang dimasak dengan arang,” katanya.
Kini, martabak manis tidak hanya disajikan dengan taburan keju, coklat, dan kacang yang klasik. Masyarakat pun berkreasi dengan menambahkan topping premium, bahkan membuat martabak versi pizza. Apapun hasil kreasinya, jejak akulturasi sesungguhnya bisa ditemukan di meja makan. Makanan yang kita cecap sekarang adalah sejarah panjang yang mewujud dalam makanan favorit.