Menapaki Jejak Portugis di Bangkok
Bangkok seolah tak pernah kehabisan cerita untuk ditawarkan kepada wisatawan. Di tengah hiruk-pikuk ibu kota Thailand itu, tersimpan kisah tentang jejak bangsa Portugis yang menandai eratnya hubungan Thailand-Portugal.
Bangkok seolah tak pernah kehabisan cerita untuk ditawarkan kepada wisatawan. Di tengah hiruk-pikuk ibu kota Thailand itu, tersimpan kisah tentang jejak bangsa Portugis yang menandai eratnya hubungan Thailand-Portugal.
Penelusuran warisan dari Portugal tersebut bisa dilakukan di Kudi Chin, Distrik Thonburi, yang terletak di dekat tepi Sungai Chao Phraya. Di sela-sela kunjungan ke Bangkok beberapa waktu lalu, saya menyempatkan mampir ke kawasan bersejarah ini setelah diajak seorang kawan asal Thailand, Promsurin Roongnirun.
Siang itu, kami bertemu di Stasiun Saphan Taksin dan bergegas melanjutkan perjalanan dengan menumpangi perahu Sungai Chao Phraya. Setelah perahu sungai bergerak, kami dibawa menyusuri sungai dari dermaga Sathorn hingga dermaga Memorial Bridge. Kami lalu pindah menaiki feri untuk menyeberang menuju dermaga Wat Kalayanamit. Perjalanan cukup ditempuh sekitar 15-20 menit. ”Konon, bangsa Portugis pertama datang ke Thailand dengan kapal dagang di Ayutthaya (ibu kota Siam kedua setelah Sukhothai) pada awal tahun 1500-an (tepatnya 1511),” kisah Romy, panggilan akrab Promsurin, saat tiba di kawasan Kudi Chin, Rabu (7/8/2019).
Semenjak itu, aktivitas perdagangan antara bangsa Portugis dan Siam berlangsung. Seiring berjalannya waktu, bangsa Portugis dan Siam menandatangani perjanjian kerja sama perdagangan resmi pada 1518. Portugal mulai menyalurkan sejumlah rempah-rempah dan senjata untuk pengadilan Siam. Mereka juga turut menyebarkan ajaran agama Kristen.
Pada 1674, sekelompok umat Katolik, beberapa di antaranya berdarah Portugis, bermigrasi dari Ayutthaya ke Bangkok, yang berjarak sekitar 80 kilometer. Hampir satu abad kemudian, pada 1767, Raja Taksin menetapkan Thonburi sebagai ibu kota sampai tahun 1782.
Dua tahun setelah Thonburi menjadi ibu kota, ia menyediakan sebidang tanah di tepi Sungai Chao Phraya kepada bangsa Portugis untuk pembangunan Gereja Santa Cruz. Kebijakan dari Raja Taksin tersebut mendorong komunitas Kudi Chin, atau juga dikenal sebagai Kadi Chin, yang terdiri atas penduduk keturunan Portugis, berkembang di kawasan itu.
Kini, kawasan bersejarah tersebut masih terus dilestarikan dan berdiri kokoh. Jalan kaki atau naik sepeda rasanya merupakan cara paling tepat untuk menyusuri gang- gang sempit di kawasan Kadi Chin. Sehari-hari penduduk setempat pun menggunakan sepeda atau sepeda motor untuk berkegiatan di kompleks tersebut.
Gereja Santa Cruz
Destinasi pertama yang kami sambangi ialah Gereja Santa Cruz. Lokasi Gereja Santa Cruz ini bahkan berdekatan dengan sejumlah kuil Buddha terkenal, seperti Wat Prayurawongsawat Worawihan dan Wat Arun Ratchawararam.
Melihat Gereja Santa Cruz seolah melihat bangunan gereja di Eropa. Bangunan gereja itu terinspirasi arsitektur era Renaisans dan Neo-klasik. Struktur bangunan yang terbuat dari susunan batu bata itu didominasi cat berwarna krem. Sementara kubah merah yang berada di puncak struktur bangunan membuat gereja itu tampak mencolok dari kejauhan.
Sejak pertama didirikan, Gereja Santa Cruz telah mengalami beberapa kali proses renovasi. Saat pertama kali dibangun, bahan utama yang digunakan ialah kayu jati. Pada 1836, gereja tersebut selesai direnovasi dengan arsitektur yang terinspirasi kebudayaan Thailand-China. Bangunan gereja pada masa itu didekorasi dan diukir dengan kombinasi seni dari kebudayaan Cina, Thailand, dan Barat.
Gereja yang saat itu dikenal juga dengan sebutan Wat Kadeejeen sempat terbakar hebat. Barulah struktur bangunan itu direnovasi menggunakan batu bata sekitar tahun 1913.
Melangkah ke dalam, mata akan dimanjakan dengan kemegahan interior gereja tersebut. Langit-langit bagian dalam dihiasi ukiran-ukiran tradisional khas Thailand berwarna emas dan biru. Bagian dalam gereja terasa begitu terang dengan dinyalakannya dua lampu kristal yang menggantung di langit-langit. Belum lagi cahaya yang masuk lewat kaca patri di kanan-kiri gedung seolah ingin memperlihatkan keindahan interiornya secara lebih tegas.
Santa Cruz sendiri berasal dari istilah Portugis yang memiliki arti ”salib suci”. ”Gereja Santa Cruz adalah simbol utama yang mengingatkan penduduk keturunan Portugis untuk terus menjaga warisan persahabatan antara Thailand-Portugal,” ucap Romy.
Museum Baan Kudichin
Tak sampai 100 meter dari Gereja Santa Cruz terdapat sebuah museum yang melestarikan sejarah dan budaya komunitas Portugal-Thailand di Thonburi. Museum Baan Kudichin berada di ujung gang utama kawasan Kudi Chin.
Museum ini berdiri di bangunan kayu bercat putih yang sebelumnya merupakan kediaman seorang umat Katolik dari komunitas Kudi Chin. Keturunan dari keluarga tersebut kemudian memutuskan menjadikannya museum.
Terdiri atas tiga lantai, lantai pertama berfungsi sebagai kafe, tempat suvenir, dan taman kecil. Lantai kedua menjadi pintu masuk untuk mempelajari sejarah masuknya bangsa Portugis pada era Ayutthaya dan Thonburi.
Sebelum masuk ke ruang ekshibisi, pengunjung diwajibkan melepas alas kaki. Di dalamnya, selain penjelasan tentang berbagai potongan peristiwa, ditampilkan juga koleksi replika senjata dan rempah-rempah yang dibawa bangsa Portugis.
Di lantai teratas, sejumlah koleksi barang turun-temurun dari keluarga pemilik museum, seperti perkakas makan dan foto hitam, turut dipajang untuk menggambarkan kehidupan komunitas Kudi Chin dari waktu ke waktu.
”Museum ini diharapkan bisa menjadi sumber pembelajaran budaya lokal, termasuk di antaranya tradisi, bahasa, dan agama. Kami juga berupaya melestarikan resep masakan dari keturunan Siam-Portugis yang masih tinggal di daerah ini”, seperti tertera dalam laman resmi Museum Baan Kudichin. Museum ini dibuka untuk umum pada Selasa-Minggu mulai pukul 09.30-16.00.
Resep khas Portugal
Warisan bangsa Portugis tak hanya berupa bangunan. Mereka juga meninggalkan jejak kuliner yang masih bisa dinikmati hingga sekarang. Di kafe Museum Baan Kudichin, misalnya, pengunjung dapat menyantap menu andalan mereka, yakni sappayak bun. Suguhan gurih itu merupakan roti tradisional asal Portugal yang diisi daging babi cincang, kentang, dan cabai.
Sebelum kembali menyeberang ke pusat kota Bangkok, saya kembali menyusuri gang untuk mencicipi hidangan pencuci mulut yang terkenal dengan nama farang kudeejeen. Hidangan berbahan utama tepung terigu, telur bebek, dan gula itu dipanggang secara tradisional. Hasilnya, renyah di luar dan lembut di dalam!
Resep yang diwariskan keturunan Portugis itu masih dilestarikan beberapa keluarga komunitas Kudi Chin. Di toko roti Pa Lek, sebagai contoh, resep tersebut telah diberikan secara turun-temurun ke lima generasi. Hingga saat ini, menu itu bisa didapatkan setidaknya di tiga tempat lainnya di kawasan bersejarah itu, yaitu toko roti Lan Mae Pah, Thanusingha, dan Pah Aum Phan.
Upaya melestarikan jejak-jejak Portugis oleh komunitas Kudi Chin ini seolah ingin mengingatkan pengunjung untuk jangan pernah melupakan sejarah.