Pesan dari Si Penyendiri
Tanpa musim dingin yang sepi, Bon Iver mungkin tak pernah ada. Musiknya meluruhkan kekalutan pendirinya, Justin Vernon, sekaligus membuka ruang bagi pendengar untuk bersemayam di dalamnya.
Tanpa musim dingin yang sepi, Bon Iver mungkin tak pernah ada. Musiknya meluruhkan kekalutan pendirinya, Justin Vernon, sekaligus membuka ruang bagi pendengar untuk bersemayam di dalamnya. Di Jakarta, dia menyuarakan pesan antikekerasan seksual.
Justin, kini berusia 38 tahun, bisa jadi berutang budi pada Kanye West. Kanye mengajaknya berkolaborasi di albumnya, My Beautiful Dark Fantasy, sepuluh tahun silam. Ia menyisipkan potongan suara Justin dari lagu di minialbum Bon Iver, ”Woods”.
Kanye juga mengundang Justin dalam pesta peluncuran albumnya di klub The Bowery Ballroom di Manhattan, New York, Amerika Serikat. Acara itu dihadiri selebritas papan atas.
Justin sebenarnya tak terlalu asing dengan atmosfer The Bowery. Dia pernah manggung di sana pada musim panas 2008, beberapa bulan setelah Bon Iver meluncurkan album debut For Emma, Forever Ago. Kala itu, posisi Justin agak ke belakang panggung, duduk dikelilingi keyboard, amplifier, dan gitar.
Ketika tampil di acara Kanye, Justin sudah lebih percaya diri. Pesonanya bisa mengimbangi empunya hajat. Seusai membawakan lagu ”Lost in The World”—lagu Kanye yang memakai potongan lagu ”Woods”—Justin dan Kanye berangkulan, dan barengan turun panggung. Justin telah berada di lingkaran selebritas.
Justin DeYarmond Edison Vernon, nama lengkapnya, lahir dan besar di kota berpopulasi 65.000 jiwa di Eau Claire, Wisconsin, AS. Posturnya yang tinggi besar memberinya posisi bergengsi di klub sepak bola sekolah. Tapi dia lebih menekuni musik.
Di bangku kuliah, Justin mengambil jurusan kajian perempuan di Universitas Wisconsin. Dia beberapa kali bikin band di sana, salah satunya beraliran jazz, Mount Vernon. Pemain saksofon band itu, Sara Jensen, cinta pertama Justin. Mereka putus, tetapi tetap berteman baik.
Di band itu, Justin bermain gitar. Dia emoh mengambil jurusan musik meski punya minat besar. ”Aku enggak mau jadi pakar (musik). Sebab, orang akan menilaimu dari kemampuan teknis, bukan rasa,” katanya kepada Joe Caramanica dari The New York Times.
Band yang ia bentuk berikutnya adalah DeYarmond Edison—diambil dari nama tengahnya—bercorak rock alternatif seperti Wilco. Justin memperlakukan band ini lebih serius. Bersama tiga rekannya, ia memutuskan pindah ke Raleigh di North Carolina demi berada di kancah yang lebih dinamis.
Keputusan itu berdampak besar bagi Justin. Dia mengalami kebuntuan kreativitas. Pada saat yang nyaris berbarengan, dia menderita mononukleosis, dan livernya infeksi. Dunianya seperti runtuh ketika ia kehilangan sisa uangnya di permainan poker online.
Band itu lalu bubar. Terasingkan dari teman band—yang merupakan kawan lama—makin membuatnya terpuruk. Dia berkemas, lalu menyetir Honda CRV tua selama 18 jam menuju kampung. Alih-alih tinggal di rumah orangtuanya, Justin menyendiri ke kabin yang biasa disinggahi ayahnya kala berburu di tepi hutan. Dia berniat melewati musim dingin di sana.
Menyembuhkan
Hawa dingin dan sepinya hutan memengaruhi situasi mentalnya. Kepalanya mulai diisi melodi yang meminta untuk segera diwujudkan. Di kabin itu, Justin membawa peralatan bermusik; beberapa gitar, mikrofon, dan laptop. Nama Bon Iver tercetus untuk proyek baru ini. Nama itu adalah pelesetan dari bahasa Perancis bon hiver yang kira-kira berarti ’selamat menikmati musim dingin’.
Di sini, Justin menemukan metode baru dalam menulis lagu. Dia memainkan manipulator vokal Auto Tune, merekam gumaman tanpa kata, dan menumpuknya hingga menyerupai paduan suara. Iringan gitar akustik seperti menegaskan bahwa lagu yang terkesan sepi-tapi-ramai ini adalah warna baru dalam jenis musik folk.
Sembilan lagu yang dia rekam itu tak ia niatkan jadi album utuh. Statusnya adalah demo. Namun, reaksi pendengar di MySpace mengubah nasibnya. Banyak temannya suka. Dia bahkan menerima banyak komentar bahwa lagu-lagu itu menyembuhkan mereka. Justin pun nyengir.
Kelak kepada Pitchfork, Justin mengatakan, proses pembuatan lagu-lagu untuk album debut For Emma, Forever Ago itu adalah kemenangannya atas keterpurukan mental. Dia keluar dari kabin dan menghelat acara peluncuran album itu. Ulasan media mempertemukan Justin dengan label indie Jagjaguwar yang bersedia mendistribusikan album itu ke seantero AS, sekaligus label legendaris 4AD untuk wilayah Eropa.
Bon Iver jadi idola baru di kancah indie. Mereka juga mengisi soundtrack untuk film hit The Twilight Saga: New Moon lewat lagu ”Roslyn” yang ditulis bareng St Vincent. Setahun kemudian, Justin dikontak Kanye West, diajak rekaman bareng. Justin bersedia karena menyukai musik bikinan Kanye. Pada 2012, Bon Iver diganjar dua Piala Grammy di kategori pendatang baru terbaik, dan album musik alternatif terbaik atas album kedua Bon Iver, Bon Iver.
Penyanyi alt-country Kathleen Edwards berpendapat, ada kesamaran dalam lagu-lagu ciptaan Justin. ”Kita (pendengar) justru bisa menempatkan diri di antara lagu dan musiknya karena Justin menyediakan ruang untuk kita,” kata teman dekat Justin ini.
Hampir dua jam
Ruang-ruang itulah yang ditempati ribuan kaum muda pada Minggu (19/1/2020) dalam konser di Tennis Indoor Jakarta yang dikelola Ismaya Live. Penonton menghayati—tidak lewat teriakan histeris—22 lagu dari empat album penuh yang diusung Bon Iver selama hampir dua jam.
Justin dan lima teman bandnya: Sean Carey (drum, keyboard), Matthew McCaughan (drum, vokal), Michael Lewis (bas, saksofon), Andrew Fitzpatrick (gitar, keyboard), dan Jenn Wasner (gitar, vokal), mempertontonkan produksi suara yang apik. Parade tumpukan bunyi gitar di ujung lagu ”Creature Fear”, misalnya, diiringi duel dua set drum. Bunyi-bunyi detail tertangkap telinga. Rasanya riuh, namun bisa juga menenangkan.
Tata lampunya juga luar biasa. Pada lagu lirih, seperti ”Woods” dan “Re: Stacks”, nuansa putih hanya menyorot pada sosok Justin. Di lagu yang lebih rancak, misalnya ”Lump Sum”, cahaya kuning menjingga bergerak liar. Dengan suguhan seperti itu, rasanya maklum saja kalau Justin irit menyapa penonton.
Baru setelah lagu kesembilan, ”Jelmore”, Justin mengucapkan, ”Hai, terima kasih sudah datang” kepada penonton. Tapi dia punya pesan. Dia meminta penonton untuk mendukung Hollaback! Jakarta, sebuah lembaga yang bergerak di isu antikekerasan terhadap perempuan.
Kali ini, Justin berbicara agak panjang. ”Mereka menyuarakan hak-hak perempuan, dan kita membutuhkan itu. Kita membutuhkan lebih banyak kasih sayang. Orang-orang merasa tidak berharga ketika menderita. Orang-orang bisa penuh kebencian ketika menderita,” kata Justin serius.
Salah satu gerakan Hollaback! Jakarta adalah memberikan ruang berbicara kepada penyintas kekerasan sebagai upaya penyembuhan trauma. Afeksi serupa pernah ditemui Justin berwujud musik, yang pernah mengentaskannya dari depresi.
(nytimes.com/rollingstone.com/pitchfork.com)