Menelisik Ide Menulis Puisi
Pengalaman menulis puisi bagi setiap orang bermula dari momen yang berbeda-beda. Namun, setiap ide yang dituangkan dalam puisi bisa berasal dari ide yang sama.
Pengalaman menulis puisi bagi setiap orang bermula dari momen yang berbeda-beda. Namun, setiap ide yang dituangkan dalam puisi bisa berasal dari ide yang sama. Satu ide bisa diinterpretasikan berbeda-beda oleh beberapa penulis puisi.
Diskusi mengenai ide menulis puisi mengemuka pada acara Beranda Sastra #16 yang bertema ”Kelas Menulis Puisi: Ide Sama Itu Biasa?”, yang digelar di Bentara Budaya Jakarta, Kamis (30/1/2020).
Di tengah kesibukannya, Esha Tegar Putra menyempatkan diri berdiskusi bersama komunitas puisi di Jakarta. Penyair dari Padang, Sumatera Barat, ini membagikan pengetahuan, pengalaman, dan proses kreatifnya dalam menulis puisi dengan menggunakan ide yang sama, tetapi akan menghasilkan karya yang berbeda.
”Ide dalam menulis puisi itu wajar kalau sama, tetapi kosakata setiap orang melalui puisi tersebut pasti berbeda,” katanya.
Menurut Esha, kebanyakan orang cenderung takut dalam menulis puisi karena merasa memiliki ide yang sama. Padahal, menulis puisi adalah proses ulang-alik dari membaca dan mengalami suatu peristiwa.
Ide dalam menulis puisi dapat dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal. Eksternal (luar diri) berasal dari pemilihan kata, imaji, citraan, dan tipografi. Sementara dari faktor internal (dalam diri) ialah ide atau gagasan, tema, dan suasana.
Penggunaan ide dalam penulisan puisi merupakan hal yang patut diperhatikan. Pemetaan idenya pun dapat berasal dari sumber yang sama. Ketika seseorang menulis sebuah puisi, puisi yang ditulis akan memiliki gaya bahasa yang sama sesuai dengan referensi sumber bacaan penulis.
Esha mencontohkan, ketika menulis puisi yang bertema ”hujan”, seketika teringat pada puisi Sapardi Djoko Damono yang berjudul Hujan Bulan Juni dan puisi yang bertema Celana akan terpikirkan puisi milik Joko Pinurbo. Maka, wajar jika dalam menulis puisi, referensi bacaan sang penulis sangat memengaruhi isi puisi.
Bisa jadi, lanjut Esha, sebuah ”kata” identik dan melekat pada seorang penulis puisi. Hal itu tidak dapat terlepas dari proses ”menemukan” dan ”menemui”. Ketika seorang penulis menemui kata yang pernah digunakan dalam puisi lain yang pernah dibacanya, hal tersebut akan memengaruhi hasil puisi yang ditulis. Beda halnya dengan proses menemukan kata yang bisa bersumber dari hasil pemikiran ataupun formula dari seorang penulis sehingga puisinya memiliki ciri khas unik.
”Setidaknya ide dalam menulis puisi adalah hasil atas membaca karya orang lain dan sangat mustahil sebuah ide turun dari langit,” kata Esha.
Esha mengambil contoh salah satu puisi miliknya yang berjudul Ubai. Dalam penulisannya, ia mencoba untuk merespons fenomena sehari-hari yang ia alami untuk dikembalikan dalam bentuk puisi kepada orang lain.
Faktor internal, seperti ide, tema, dan suasana, kental dalam puisi Ubai. Metode pertama adalah merespons peristiwa yang sering ia alami, yakni bertemu dengan sosok yang bernama Ubai, Dia menggambarkan Ubai yang terkena gejala prostat dan sering bepergian ketika malam hari. Selanjutnya, Esha juga menambahkan latar waktu malam hari ketika dia masih tinggal di tempat indekos di samping sebuah apartemen.
Suasana menjadi makin antusias ketika sesi pertanyaan dibuka, beberapa peserta Beranda Sastra #16 yang penasaran pun satu per satu bertanya. Salah satunya adalah seorang editor puisi. Ia bertanya apakah seorang penulis akan marah atau tidak jika kata-kata yang dalam puisinya diganti karena banyak puisi-puisi yang dikirim dan akan diterbitkan tersebut terdapat kesalahan kata dan ejaan.
Atas pertanyaan tersebut, Esha menjawab, kesalahan dalam penulisan puisi merupakan hal yang sangat mungkin terjadi, terutama penulisan diksi, ejaan, dan tanda baca. Editor sangat membantu dalam menerbitkan puisi yang rapi dan benar. Di samping itu, seorang penulis akan terus belajar supaya lebih jeli dalam menulis puisi.
Esha menambahkan, proses dari sebuah berkarya adalah bertumbuh dan jangan cepat puas. Ketidakpuasan tersebut menjadi hal yang patut dipertahankan. Pasalnya, jika seorang seniman telah merasa puas dengan karyanya, ia tidak akan ingin untuk mencoba hal-hal baru.
”Kita merasa karya kita jelek. Memang harus begitu, yang penting adalah proses belajar terus-menerus dan terus membandingkan karyamu dengan karya orang-orang yang, menurutmu, lebih baik,” ucapnya.
Dalam kesempatan tersebut, peserta diberi kesempatan membacakan puisinya. Empat peserta tampil ke depan panggung dan membacakan puisi karya mereka masing-masing. Salah satu puisi yang menarik perhatian adalah yang berjudul Sepi Lah Sepi. Puisi itu identik dengan puisi Sutardji Calzoum Bachri yang berjudul Sepisaupi. Walau dengan gaya bahasa yang hampir mirip, puisi yang dibawakan tetap memiliki kosakata dan ciri khas yang berbeda.
Mencari ide
Menemukan sebuah ide untuk menulis puisi adalah gampang-gampang susah. Kadang, saat kita melamun bisa muncul sebuah ide. Begitu pula dengan waktu yang dibutuhkan untuk menulis puisi. Bisa satu jam, satu hari, atau sampai bertahun-tahun.
Beberapa anak muda menyampaikan pengalamannya menulis puisi. Terlibat aktif dalam komunitas teater di kampusnya, Khairani Fitri Kananda (22), mahasiswa Universitas Gadjah Mada Program Studi Sastra Indonesia, mengungkapkan, ide menulis puisi biasanya ia dapat dari peristiwa-peristiwa yang dekat dengan kehidupannya sehari-hari. Misalnya, suasana hangat ketika berbincang-bincang, suasana pulang malam dari kampus, dan bahkan kritiknya terhadap hal-hal yang tak disenanginya.
Hany, panggilan Khairani, menambahkan, ide-ide dalam menulis puisi pun tak jarang juga berawal dari membaca karya orang lain. ”Biasanya aku baca puisi-puisi karya orang lain sebelumnya. Ini bukan persoalan bagus atau jelek. Tetapi, ketika aku nemuin kata-kata yang menurut aku pas, itu baru jadi inspirasi aku bikin puisi,” kata penggemar puisi Joko Pinurbo tersebut.
Beda halnya dengan Fajar Yudha Sentana atau Ajay (23). Mahasiswa Universitas Padjadjaran Program Studi Ilmu Pemerintahan ini memiliki pengalaman sendiri dalam menulis puisi. Ajay biasanya menulis berdasarkan keresahan yang ia rasakan. ”Nulis puisi biasanya berangkat dari hal-hal yang jadi keresahan pribadi, elegi, anomali, dan ironi,” ujarnya.
Mulai menekuni kegiatan menulis puisi setelah menamatkan buku Catatan Seorang Demonstran karya Soe Hok Gie, Ajay kerap menulis puisi bergenre kritik sosial. Tanpa harus diberi tahu maksud puisinya ke mana, Ajay lebih memilih pembaca memiliki interpretasi sendiri dari puisi yang ia tulis. ”Bagi saya, puisi itu adalah bunyi, dan segala hal pun bisa bersifat puitis,” ungkapnya.
Sementara itu, seorang karyawan di Jakarta, Shelly Fw, mengaku menulis puisi sejak duduk di bangku SMA. Berawal dari sekadar berbalas puisi dengan teman sebangku, lama-lama ia ketagihan dan menulis puisi untuk diri sendiri.
”Sebenarnya aku jarang nulis puisi ketika benar-benar emosional. Tapi, biasanya ideku lancar ketika aku bahagia atau merasa sangat senang,” kata Shelly.
Bagi Shelly, ide dalam menulis puisi sering hadir dari pemikirannya sendiri. Namun, tak jarang dengan ide yang ditentukan pun, ia tetap bisa menulis puisi. Contohnya, pada beberapa kesempatan, ia mengikuti tantangan membuat puisi dengan tema yang sudah ditentukan sebelumnya, dan kesamaan ide, menurut dia, bukanlah suatu masalah.
”Sebenarnya jarang terinspirasi dari ide penulis puisi lain, kadang malah terinspirasi dari lagu,” ujarnya.
Shelly yang biasa memuat puisi-puisinya di media sosial, seperti Twitter dan Instagram, tahun lalu sempat mengikuti kegiatan komunitas puisi dan menulis puisi dengan menggunakan tema yang sama. Puisi yang ditulis bercerita tentang sosok bernama Paijo, tentunya para penulis puisi pun memiliki interpretasi sendiri-sendiri di dalam kepalanya terkait dengan sosok Paijo.
”Pengalamanku menulis puisi sebenarnya membiarkan ide-ide itu mengalir saja. Alih-alih banyak membaca puisi, aku lebih sering mendengarkan dan menghayati lagu-lagu karena biasanya ide-ide berhamburan setelah aku merenungkan lirik-lirik lagu, he-he-he,” ucap Shelly.
Siapa saja bisa belajar menulis puisi. Bahkan, kini banyak komunitas yang bisa menjadi wadah untuk belajar puisi. Selain bisa belajar bersama-sama, juga bisa saling bertukar pikiran untuk melahirkan sebuah karya. (*)