Studio Ghibli memang sudah cukup lama tak lagi memproduksi film animasi terbaru. Terutama sejak sutradara senior sekaligus salah satu pendirinya, Hayao Miyazaki, menyatakan diri pensiun di tahun 2014.
Oleh
·4 menit baca
Studio Ghibli memang sudah cukup lama tak lagi memproduksi film animasi terbaru. Terutama sejak sutradara senior sekaligus salah satu pendirinya, Hayao Miyazaki, menyatakan diri pensiun di tahun 2014.
Namun, keberadaan film-film Studio Ghibli rupanya masih punya tempat di hati penggemar mereka di seluruh dunia. Kekhasan film-film animasi studio asal Jepang ini terutama dari sisi alur cerita, tokoh-tokoh, plot, hewan magis, dan kisah tentang tempat-tempat rahasia. Semua itu masih mampu menyihir orang untuk betah menonton, bahkan sampai berkali-kali.
Film-film animasi produksi Studio Ghibli punya reputasi menarik. Sebut saja sejak film pertama yang dibuat ketika belum bernama Studio Ghibli, Nausicaä of the Valley of the Wind (1984) hingga film terbaru, When Marnie Was There (2014).
Pengakuan dunia juga terlihat dari sejumlah penghargaan dan nominasi internasional, seperti yang diperoleh tahun 2002. Saat itu, salah satu film animasinya yang fenomenal, Spirited Away (2001), memenangi Academy Award untuk kategori Best Animated Feature di tahun 2002.
Dua tahun berselang, film Howl’s Moving Castle (2004) juga mendapat nominasi Oscar. Film Spirited Away bahkan tercatat menjadi salah satu film animasi berpendapatan kotor terbesar dunia. Total perolehannya mencapai 275 juta dollar Amerika Serikat, setara lebih dari Rp 3,7 triliun.
Setelah sekian lama hanya ditayangkan sebatas layar lebar, per 1 Februari lalu, katalog film-film Studio Ghibli bisa dinikmati secara streaming. Terutama di beberapa kawasan Asia Pasifik, termasuk di negara-negara Asia Tenggara, seperti Indonesia.
Hal itu dimungkinkan pascakerjasama Studio Ghibli dengan perusahaan penyedia jasa tayangan streaming Netflix. Dengan diperantarai perusahaan distribusi film Wild Bunch International, sebanyak 21 film Studio Ghibli akan tayang, lengkap dengan terjemahan lewat subtitle dan sulih suara.
Proses subtitle akan dilakukan ke dalam 28 bahasa, sementara sulih suara dilakukan ke 20 bahasa. Pihak Studio Ghibli berharap penggunaan pendekatan lokal semacam itu akan memudahkan para penonton mereka di kawasan Asia Pasifik, Eropa, Afrika, Amerika Latin, dan Timur Tengah.
Pendekatan lokal untuk pasar di wilayah tertentu, menurut produser senior sekaligus salah seorang pendiri, Toshio Suzuki, sangat penting. Hal itu disampaikan Toshio saat bersama Netflix berbincang dengan sejumlah jurnalis dari beberapa negara, termasuk Kompas dari Indonesia, melalui konferensi video dari Tokyo, Jepang, beberapa waktu lalu.
Ragam reaksi
Menurut Toshio, setiap negara punya apresiasi dan interpretasi sendiri-sendiri saat menonton film-film animasi mereka. Dia membebaskan dan membuka lebar segala kemungkinan tentang itu. Menurut dia, reaksi penonton memang bisa berbeda-beda, setidaknya sesuai kondisi di setiap negara.
Dia juga mencontohkan pengalamannya sendiri saat mengamati reaksi penonton di negara lain, dalam hal ini Taiwan. Di Jepang, anak-anak yang menonton menangis ketakutan melihat karakter hantu No Face, tetapi hal sama tak terjadi di kalangan penonton Taiwan.
”Saat sedang berada di Taiwan, saya melihat penonton justru malah tertawa melihat karakter yang sama. Saya coba tanyakan hal itu ke staf lokal, walau jawabannya kurang bisa menjelaskan,” ujar Toshio.
Namun, Toshio mengakui, hal itu membuat dirinya semakin yakin, pendekatan berbeda memang harus dilakukan kepada audiens di negara-negara berbeda. Termasuk dalam urusan promosi dan pemasaran.
”Interpretasi dan reaksi penonton di beberapa negara bisa jadi sangat terbuka dan berbeda. Oleh karena itu perlu ada semacam local approach di setiap area pasar tertentu,” ujarnya.
Toshio mengatakan, ia tak khawatir platform berbeda, terutama terkait cara menonton atau menikmati film, bakal menimbulkan persoalan. Menurut dia, cara baru menonton via streaming daring bisa memberi pilihan bagi para penonton.
Selain itu, para kreator atau pembuat film juga bisa menarik manfaat dari sana. Pilihan menikmati tontonan tak lagi sebatas menyaksikan secara luring di layar lebar ataupun layar kaca. Setiap pilihan cara menonton, baik di layar lebar, layar kaca, maupun daring, punya kelebihan masing-masing.
”Dengan teknologi streaming ini, tak hanya (film) layar lebar, tetapi juga tayangan-tayangan televisi bisa jadi lebih baik, padat, dan kreatif. Buat saya, itu hal baik. Yang saya lihat sekarang juga adanya perubahan pola distribusi (konten), baik dari bioskop, terestrial (TV), maupun paket DVD,” ujarnya.
Meski begitu, kondisi tersebut tak lantas membuat orang akan meninggalkan pengalaman menonton layar lebar di bioskop. Masing-masing memberi pengalaman berbeda dan semua pilihan bisa saling mendapat tempat.
”Ada banyak cara untuk menikmati film. Saya selalu percaya, harus ada cara lain lagi. Saya sendiri berlangganan Netflix walau bukan yang premium karena menurut saya mahal,” katanya sambil bergurau.
Sementara itu, Aram Yacoubian, Director of Original Animation Netflix, meng-
klaim kehadiran katalog film-film animasi Studio Ghibli seolah mimpi yang menjadi kenyataan, terutama bagi para penggemar setianya.
”Film-film animasi legendaris Studio Ghibli telah memikat penggemar di seluruh dunia selama lebih dari 35 tahun. Kami sangat berbahagia dapat menyuguhkannya ke dalam beragam bahasa sehingga lebih banyak orang dapat menikmatinya,” ujar Aram.
Untuk gelombang pertama, mulai 1 Februari 2020, film animasi Studio Ghibli yang bisa diakses antara lain Castle in the Sky (1986), My Neighbor Totoro (1988), Kiki’s Delivery Service (1989), Only Yesterday (1991), Porco Rosso (1992), Ocean Waves(1993), dan Tales from Earthsea (2006).
Adapun di gelombang kedua, per 1 Maret 2020, film yang bisa ditonton antara lain Princess Mononoke (1997) dan Spirited Away (2001).
Pada gelombang ketiga, per 1 April 2020, beberapa film juga akan bisa diakses, yaitu Pom Poko (1994), Whisper of the Heart (1995), dan When Marnie Was There (2014).