Simbol maskulinitas banyak muncul di film Milea: Suara dari Dilan, alih-alih mengumbar rayuan segar seperti pada dua film sebelumnya. Di antara kemunculan film remaja lain yang lebih berani mengambil tema spesifik, film
Oleh
Herlambang Jaluardi
·5 menit baca
Simbol maskulinitas banyak muncul di film Milea: Suara dari Dilan, alih-alih mengumbar rayuan segar seperti pada dua film sebelumnya. Di antara kemunculan film remaja lain yang lebih berani mengambil tema spesifik, film ketiga dari seri Dilan ini terasa ”lembek”.
Mari berkunjung ke kamar Dilan (diperankan Iqbaal Ramadhan), sang penutur cerita. Dindingnya berwarna abu-abu, dihiasi poster band rock seperti The Rolling Stones dan Led Zeppelin. Lalu ada kutipan dari mantan Presiden AS Ronald Reagan yang berbunyi, ”Barang siapa ingin damai, bersiaplah untuk perang”.
Istilah ”perang” bagi Dilan mungkin terlalu besar. Dia punya pertempurannya sendiri. Seperti yang dijabarkan dalam versi novel karangan Pidi Baiq, Dilan adalah ”panglima tempur” dari sebuah geng motor.
Dilan sendiri penunggang motor jenis CB 100 berkelir krem dengan lis biru. Motor itulah kendaraan sehari-harinya. Di atas joknya, dia biasa mengumbar rayuan gombal kepada pujaan hatinya, Milea Adnan Hussein (Vanesha Prescilla).
”Menikahi kamu,” jawab Dilan ketika Milea bertanya balik tentang cita-cita Dilan, sambil berpelukan di atas motor. Padahal, cita-cita Milea adalah jadi pilot. Asmara memabukkan mereka.
Dengan motor itu pula, Dilan memimpin teman-temannya (posisinya di baris depan) berkeliling jalanan Kota Bandung, latar lokasi film ini, untuk menuntut balas atas pengeroyokan dirinya. Sekilas terlihat ”pasukan” Dilan menyembunyikan pedang atau golok di balik jaket mereka. Dilan tak bawa pedang. Tetapi, ketika digeledah di bagian saku belakang celana, polisi menemukan pistol! Ya, ampun, dia masih SMA!
Kebengalannya adalah sumber konflik dalam percintaan Dilan-Milea, yang justru tersaji amat menggemaskan ini. Milea menggugat alasan Dilan memilih jalan pedangnya. Gugatan ini berpotensi memberi dasar kuat bagi penokohan Dilan yang sedemikian rupa. Sayang, skenarionya tak bekerja demikian.
”Kalau nggak ada anak nakal, reuni nggak bakal rame,” jawab Dilan berusaha melucu dengan ekspresi datar. Milea bersikukuh pada keputusannya: mereka harus putus. Dilan resah. Dia memacu motornya menembus hujan, lalu menepi di sebuah halte bus.
Dia melamun dilatari narasi panjang yang menggambarkan kegundahan hatinya. ”…aku seperti kehilangan arah.”
Bangunan karakter
Penyajian motif dalam film ini kurang meyakinkan. Sebagai sumber konflik, motif keterikatan Dilan pada geng motor sudah sepantasnya diterangkan. Motif ini yang mengokohkan bangunan karakter tokoh utama. Terlebih lagi, sudah ada dua film sebelumnya yang selalu menggambarkan kebengalan Dilan. Namun, dari manakah sumber kedekatannya dengan kekerasan?
Keluarga Dilan relatif hangat. Dilan, adiknya, ibu, dan ayahnya bisa sarapan bersama dan saling melontarkan guyonan. Bunda (diperankan Ira Wibowo dengan rambut palsu yang agak janggal) adalah kepala sekolah. Komunikasinya dengan Dilan dan adiknya sangat cair, bahkan Milea pun bisa bermanja-manjaan dengannya.
Ayahnya (Bucek Depp) juga bisa melucu—gaya bercandanya seirama dengan Dilan—tetapi bisa juga menampar anak sendiri. ”Aduh!” seru salah seorang penonton di bioskop Epicentrum XXI, Jakarta, Kamis (13/2/2020), ketika layar menampilkan adegan sang ayah menampar Dilan dengan keras di kantor polisi. Sang ayah tampak disegani di hadapan para polisi itu walaupun sebenarnya dia adalah tentara.
Satu karakter lain yang menonjol dari Dilan adalah kelihaian merangkai kata. Ucapan ”rindu itu berat, biar aku saja” pernah ngetren ketika seri pertama Dilan 1990 (2018) keluar. Bukan cuma Milea yang terpesona. Coba tengok betapa Bi Eem (Tike Priatna-kusumah), pemilik warung tongkrongan Dilan dan pasukannya, sering senyum-senyum sendiri setiap mendengar Dilan berbicara. Tetapi, entah apa yang membuat dia sebegitu jagonya mengolah kata.
Bisa saja ihwal karakter Dilan dijembrengkan lebih terang di dalam tiga novel, yang masing-masing judulnya berisi lebih dari 300 halaman itu. Namun, penonton yang tidak membacanya tak mendapat jawaban itu di film.
Salah satu sutradaranya, Fajar Bustomi, pernah berucap bahwa novel dan film adalah dua karya yang berbeda (Kompas, 26/1/2018). Sebagai sutradara, Fajar punya kuasa merumuskan apa yang terjadi di filmnya. Sang pengarang novelnya, Pidi Baiq, adalah tandem Fajar di kursi sutradara.
Tumpuan tema
Film Milea: Suara dari Dilan berdurasi 102 menit. Adegannya dibuka dengan suara narasi dari Dilan yang sedang mengetik di komputer. Di mejanya ada novel Dilan: Dia adalah Dilanku Tahun 1990 dan Dilan: Dia adalah Dilanku Tahun 1991, juga wafer sponsor film. Cerita yang sedang diketik itu adalah tanggapan Dilan atas dua novel tadi, yang merupakan ”suara” dari Milea.
Jadi, kisah film ini bisa diibaratkan sebagai ”hak jawab” Dilan atas apa yang dituturkan Milea sebelumnya. Adegan-adegannya banyak menggunakan adegan dari film sebelumnya, dengan diimbuhi sedikit adegan lanjutan. Penggunaan kembali adegan lama itu cenderung mendominasi.
Adegan yang benar-benar baru hanya segelintir dan baru muncul kira-kira sejak 30 menit terakhir. Contohnya adalah adegan Dilan mendampingi ayahnya menghadapi sakaratulmaut di rumah sakit. Di sini, Iqbaal memunculkan akting menangis, ekspresi paling emosional dari karakter Dilan yang cenderung datar di sepanjang film.
Agak sulit merumuskan tumpuan tema film ini karena sebaran problematikanya. Entah film ini mau bercerita tentang agresivitas remaja atau manisnya cinta masa SMA. Masalah atau konflik tak digali lebih dalam. Urusan kematian Akew, salah satu sahabat Dilan, misalnya, seolah-olah selesai dengan pernyataan ”korban salah sasaran”. Penguasaan Dilan atas pistol juga tak diperbincangkan.
Kelemahan itu terasa mencuat ketika disandingkan dengan beberapa film remaja lain dengan fokus tema yang lebih spesifik. Film Posesif (2017), misalnya, sangat tegas mengulas problem hubungan percintaan remaja yang tak sehat. Film Dua Garis Biru (2019) bisa menguliti drama keluarga yang masalahnya berpangkal dari kehamilan dini.
Film Milea ini mengemban beban sebagai penutup trilogi. Alih-alih menuntaskan rasa penasaran para penggemarnya, banyak tanya justru tetap tak terjawab. Inilah babak akhir dari film yang dua seri sebelumnya meraup total 11,5 juta penonton ini.