Perlindungan data pribadi dilakukan masyarakat untuk menghindari ancaman kebocoran data. Hingga kini, Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi masih dibahas pemerintah.
Oleh
Sekar Gandhawangi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Alih-alih berharap kepada negara dan pemerintah, sebagian masyarakat kini melindungi data pribadinya secara mandiri di dunia maya. Ini dilakukan sebagai upaya meminimalkan ancaman kebocoran data ke ruang publik.
Karyawan perusahaan teknologi, Dea (24), mengaku khawatir terhadap keamanan data pribadinya yang ada di internet. Untuk menyiasatinya, ia membuat tiga akun surat elektronik (e-mail) untuk tujuan yang berbeda-beda. Setiap surel digunakan untuk membuat akun media sosial, urusan pekerjaan, dan keperluan pribadi.
”Aku tidak pernah menghubungkan akun media sosial dengan e-mail pribadi agar aman. Selain itu, aku juga mengganti password (kata sandi) semua e-mail dan akun media sosial secara berkala,” kata Dea di Jakarta, Selasa (18/2/2020).
Dea telah mengganti kata sandinya beberapa kali. Ia mengikuti anjuran internet untuk membuat kata sandi yang kuat. Kriteria kata sandi yang kuat antara lain mengandung sedikitnya delapan karakter serta menggunakan kombinasi angka, huruf besar, dan huruf kecil.
Kekhawatirannya akan keamanan data pribadi tumbuh sejak Dea masih duduk di bangku sekolah. Kekhawatiran itu meningkat ketika ia menerima surel yang menyatakan bahwa seseorang mencoba masuk ke akun media sosialnya. Setelah itu, ia langsung mengganti kata sandi semua akun digital miliknya.
Dea juga berhati-hati dalam membuat sebuah akun di pelantar digital. Sebelum menekan tombol setuju, ia mempelajari syarat dan ketentuan yang diajukan pelantar. Ia batal membuat akun jika syarat dan ketentuan tersebut dinilai membahayakan privasinya.
”Aku berencana membuat akun sebuah media sosial. Tapi, salah satu ketentuannya menjustifikasi akses platform itu terhadap kontak-kontak pribadiku. Akibatnya, aku tidak jadi membuat akun media sosial itu,” kata Dea.
Mahasiswa Universitas Negeri Jakarta, Salsa (20), juga pernah melindungi data pribadinya dengan mengganti kata sandi akun digital. Hal itu langsung ia lakukan setelah seseorang mengetahui kata sandi akunnya.
Selain itu, ia juga menyetel akun-akun digitalnya menjadi terbatas bagi orang lain (private). Ia juga berhati-hati untuk membagikan data pribadinya kepada pihak lain.
”Ada banyak tawaran membuat kartu kredit dan akun lainnya di mal. Bikin seperti itu, kan, butuh mengisi data pribadi. Aku tidak akan beri dataku ke sembarang orang,” kata Salsa.
Aku berencana membuat akun sebuah media sosial. Tapi, salah satu ketentuannya menjustifikasi akses platform itu terhadap kontak-kontak pribadiku. Akibatnya, aku tidak jadi membuat akun media sosial itu.
Kendati telah menjaga data pribadinya, nomor telepon seluler Salsa masih tersebar ke ruang publik. Ia berulang kali menerima gangguan pesan singkat (spam) berisi tawaran peminjaman uang dari nomor tidak dikenal.
Potensi gangguan
Menurut hasil riset Center for Digital Society Universitas Gadjah Mada, rata-rata gangguan spam berupa telepon dari nomor asing mencapai 28 kali per bulan pada 2019. Rata-rata penerimaan spam berupa pesan singkat adalah 46 kali per bulan. Adapun 8.389 aduan iklan via surel tanpa persetujuan (Kompas.id, 7/2/2020).
Association of Internet Industry, seperti dikutip The Atlantic, menyatakan, hampir 90 persen surel yang dikirim ke alamat personal berasal dari sumber komersial. Di beberapa kasus yang sering terjadi, surel komersial tersebut diperoleh dari individu yang tidak pernah berlangganan.
Untuk melindungi diri, mahasiswa Universitas Trisakti, Yeni (20), mengaku tidak pernah membagi data pribadi dan kata sandi akun digitalnya kepada orang lain. Ia juga membuat akunnya terbatas bagi orang lain.
Pegawai swasta, Gio (27), mengaku tidak pernah mengalami kebocoran data. Kendati demikian, ia tetap melakukan upaya pencegahan dengan mengganti kata sandi akun digitalnya beberapa kali.
Peraturan pemerintah
Kementerian Komunikasi dan Informatika telah menyerahkan draf Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi kepada DPR. Draf itu diserahkan pada 24 Januari 2020. Ada 15 bab dengan 72 pasal pada draf tersebut (Kompas.id, 14/2/2020).
RUU Perlindungan Data Pribadi penting sebagai payung hukum untuk menyusun peta jalan kedaulatan data Indonesia. Penyusunan akan mencontoh General Data Protection Regulation (GDPR) Uni Eropa.
GDPR berlaku sejak 25 Mei 2018. Aturan ini mengartikan, data pribadi sebagai setiap informasi akan seseorang yang membuatnya bisa diidentifikasi secara langsung ataupun tidak langsung.
Prinsip GDPR diadopsi oleh sejumlah negara di luar kawasan Uni Eropa yang kini memiliki UU Perlindungan Data Pribadi. Hingga kini, sedikitnya ada 132 negara yang memiliki undang-undang tersebut.