Berkah Multikultur
Lingkungan multikultur Jakarta menjadi berkah. Masyarakat kota ini bisa menghidupi dan dihidupi oleh seni tradisi dari beragam kultur berbagai wilayah di Nusantara. Di sisi lain, kelindan suka-dukanya pun tak terkira.
Mengunjungi tiga sanggar seni tradisi di Jakarta dan sekitarnya terbayang sudah prestasi gemilang yang bisa diraih. Ketiganya itu Rumah Budaya Nusantara (RBN) Puspo Budoyo, Sanggar Tari Indra Kusuma, dan Sanggar Bapontar.
RBN Puspo Budoyo yang berdiri sejak 2003 telah berulang kali menjadi duta seni tradisi Nusantara dan pentas di sejumlah negara, seperti Belanda, Italia, Spanyol, dan Chile. Sanggar Tari Indra Kusuma melahirkan ribuan penari tradisi yang mewarnai berbagai perhelatan nasional di Jakarta sejak berdiri dari tahun 1974 sampai sekarang.
Sanggar Bapontar pun tak kalah uniknya. Ini sebuah sanggar berbasis seni musik kolintang asal Sulawesi Utara yang cukup aktif pentas di Jakarta. Setidaknya, dalam rentang 2015 hingga 2019 sudah tujuh kali sanggar ini diminta Istana Kepresidenan tampil memainkan kolintang, musik kayu tersebut. Selain pentas untuk peringatan kemerdekaan 17 Agustus, Sanggar Bapontar juga pernah diminta pentas untuk jamuan makan siang tamu kenegaraan, seperti Perdana Menteri Denmark, India, dan Perancis.
Pementasan
Hujan rintik senja itu masih saja enggan reda. Tak ayal Drama Tari Roro Jonggrang tak jadi pentas di arena terbuka. Pementasan hasil produksi ke-94 itu pun digeser ke pendopo RBN Puspo Budoyo, Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, Minggu (16/2/2020).
”Kami berusaha supaya pementasan produksi ke-100 nanti juga bisa berlangsung pada 2020. Dalam setahun ini diupayakan akan ada enam pementasan drama tari berikutnya,” ujar pendiri RBN Puspo Budoyo, Luluk Sumiarso (69).
Ketika itu Luluk seraya merekam video pementasan. Seperti yang sudah-sudah, hasil rekaman itu akan diunggah ke kanal Youtube.
”Ini rumah budaya Nusantara. Kami mengajarkan seni tradisi tak hanya dari Jawa, tetapi juga dari wilayah lainnya di Nusantara,” ujar Luluk, yang sekarang dipercaya menjadi staf ahli Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral.
Luluk Sumiarso kelahiran Ponorogo, Jawa Timur, ini lebih dikenal sebagai pemain ketoprak, yaitu seni tradisi yang berbasis seni drama berbahasa Jawa. Lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB) dan University of Pennsylvania, Amerika Serikat, Jurusan Kebijakan dan Manajemen Energi, ini mengaku, selama hidupnya ia tak pernah secara khusus diajari bermain ketoprak atau seni tradisi lainnya.
Setelah cukup lama menjadi birokrat, barulah Luluk tertarik mengembangkan seni tradisi dengan mendirikan RBN Puspo Budoyo pada 2003.
Pengurus RBN Puspo Budoyo, Rani D Sutrisno (64), mengatakan, pentas drama tari perdana RBN Puspo Budoyo tahun 2005 di Gedung Kesenian Jakarta. Tajuk pergelarannya ”Ken Arok-Ken Dedes: Mbahe Gnaro Ngalam”. Kata gnaro ngalam itu gaya orang Malang untuk membahasakan kata orang Malang secara terbalik. Lies Luluk Sumiarso atau istri Luluk Sumiarso yang berasal dari Malang, Jatim, memimpin produksinya.
”Selama hampir dua dekade ini kami bertahan dengan seni tradisi di tengah modernisasi,” ujar Rani.
Pengurus RBN Puspo Budoyo lainnya, Siti Sindarini (70), menuturkan perihal suka-duka pentas. Suatu ketika, RBN Puspo Budoyo diminta sebuah BUMN untuk mementaskan suatu lakon kolosal drama tari. ”Kami menampilkan penabuh gamelan dan penari jumlahnya sampai 300 orang dan mendapatkan dana Rp 250 juta. Tahu, enggak... keesokan harinya, diundang pentas seorang artis dari mancanegara dengan biaya Rp 1,2 miliar,” ujar Sindarini.
Itu sebuah ironi. Ia mengindikasikan, seni tradisi di negeri sendiri belum diperhitungkan. Menurut dia, orang asing jauh lebih memperhitungkan seni tradisi kita. ”Pementasan tari tradisi di luar negeri pernah sampai dihadiri 1.000 orang lebih. Ini jarang terjadi di negeri kita sendiri,” ujar Sindarini.
Beralih ketika mengunjungi Sanggar Tari Indra Kusuma di Jatiwaringin, Bekasi, Jawa Barat, banyak kisah menarik dipaparkan pasangan Nursyamsu (81) dan Mariawati (76), pendiri sanggar tersebut. Nursyamsu mendirikan sanggar itu tahun 1974 di sebuah rumah petak kecil di Utan Kayu, Jakarta Timur, yang ditinggali bersama istrinya. Nursyamsu kala itu bekerja di sebuah BUMN.
Mereka mengajarkan ragam tarian tradisi di sanggar itu. Berselang lima tahun kemudian, ada ratusan murid belajar menari di sanggar mungil itu. Sanggar lalu pindah ke Jatiwaringin yang lebih luas sampai sekarang. Berbagai tari tradisi diajarkan, termasuk beberapa tarian tradisi Betawi tercipta melalui sanggar ini.
”Mempertahankannya sama sekali tidak mudah. Pernah demi pementasan, kami terpaksa sampai harus menjual mobil,” ujar Deviana Nur Indrawati (38), putri bungsu Nursyamsu dari tiga anak yang kini diserahi tanggung jawab memimpin Sanggar Tari Indra Kusuma.
Devi lulusan Strata 2 Teknik Elektro Universitas Indonesia. Ia mengikuti jejak kedua orangtuanya tetap setia menghidupi seni tradisi melalui sanggarnya. Saat ini Devi juga berprofesi sebagai dosen teknik di Universitas Negeri Sultan Ageng Tirtayasa, Banten. Kedua kakaknya, Wisnu Indra Kusumah (45) dan Desiana Nur Indra Kusumawati (45), tetap terlibat mengelola sanggar tersebut. Mereka masih turut mengajar menari bagi murid-muridnya.
Sanggar Tari Indra Kusuma saat ini dikenal sebagai pencipta Tari Candrabhaga, sebuah tarian yang mengisahkan asal-usul Kota Bekasi. Tari Candrabhaga menjadi salah satu materi tari wajib yang diajarkan di dalam kurikulum pendidikan dasar di Bekasi.
Kolintang
Ketika singgah di Sanggar Bapontar, pendirinya, Beiby Luana Sumanti (60), mengajak untuk mengunjungi latihan kelompok musik kolintang Bapontar Ladies. Lokasinya di kompleks perumahan Bank Indonesia di belakang Hotel Bidakara, Pancoran, Jakarta Selatan.
Sayup-sayup dari kejauhan terdengar suara kolintang mengalun syahdu. Kelompok Bapontar Ladies sedang berlatih di bawah asuhan pelatih Fatli Rompis. Kelompok ini memiliki anggota pemain meliputi Dwi Purwati Yuliani, Siti Badriyah, Dara Berlianti, Amidawati, Melati Emasari, Liestiowati, dan Lisa Luniarti. Mereka awalnya dari grup kolintang Nandayu, di bawah asuhan Persatuan Istri Pegawai Bank Indonesia (Pipebi).
Ketika itu mereka sempat menawarkan permainan musik kolintang dengan komposisi lagu yang termasuk paling sulit, yaitu ”Bohemian Rhapsody” milik kelompok musik Queen. Ini benar-benar menakjubkan.
Satu pemain memegang alat musik kolintang dengan notasi berbeda-beda. Harmoni notasi lagu ”Bohemian Rhapsody” yang rumit mengalun sempurna. ”Lagu ini notasinya paling sulit,” bisik Andre Sumual, pelatih kolintang yang cukup ternama dari Sanggar Bapontar asuhan Beiby Sumanti.
Setelah ”Bohemian Rhapsody”, mereka menawarkan lagu berikutnya. Kali ini, lagu instrumental karya Kitaro berjudul, ”Matsuri”. Sungguh tak terduga. Mereka begitu antusias memainkan komposisi lagu itu. Setidaknya, durasi lagu itu panjang sehingga butuh penghafalan notasi yang sulit.
”Kami pernah turut diundang memainkan kolintang untuk pembukaan Asian Games 2018,” ujar Dwi Purwati Yuliani, yang memimpin Bapontar Ladies.
Sanggar Bapontar asuhan Beiby Sumanti ini ternyata terbentuk dari sebuah rumah singgah. Beiby pada 1984 membuat rumah singgah di sebuah rumah kontrakan di Bendungan Hilir, Jakarta Pusat.
Kami pernah turut diundang memainkan kolintang untuk pembukaan Asian Games 2018.
Beiby sendiri kelahiran Tondano, Minahasa, Sulut. Ia datang ke Jawa pertama kali untuk studi di Bandung tahun 1979, lalu bekerja di Jakarta mulai 1983. Tahun 1986, Beiby bergabung ke perusahaan Ciputra Group sambil mengelola rumah singgah.
Beiby menampung anak- anak jalanan yang telantar dan menyalurkan pekerjaan untuk mereka. Pengusaha Ciputra pada waktu itu tertarik dengan upaya Beiby tersebut, lalu meminjamkan lahan yang lebih luas untuk rumah singgah Beiby.
Kadang kala Beiby menampung orang-orang kampung di Sulut ketika datang ke Jakarta dan tak memiliki tempat singgah. Beiby selalu terngiang pesan Ciputra untuk menciptakan lapangan kerja. Ia sempat memiliki tujuh kantin di beberapa perkantoran yang berbeda.
Pekerja kantin itu dari penghuni rumah singgahnya. Pada 2002 Beiby menyediakan alat musik kolintang di rumah singgah. Sejak itulah, rumah singgahnya diberi nama Sanggar Bapontar dengan salah satu kegiatan rutin latihan musik kolintang.
Beiby kerap mengajak para pemain untuk pentas musik kolintang di tempat-tempat publik, termasuk di ruang komunitas masyarakat marjinal Jakarta, seperti di kolong jembatan tol atau tempat pembuangan sampah di Bantar Gebang, Bekasi.
Musik kolintang Sanggar Bapontar mewarnai denyut seni tradisi masyarakat urban Jakarta. Pemain Sanggar Bapontar pun dari beragam suku. Dengan begitu, sanggar ini turut menghidupi dan dihidupi seni tradisi di Jakarta.